Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Melacak Jejak Digital Bahasa: Bagaimana Internet Membentuk Linguistik Modern?

Ilustrasi ngobrol bercanda dengan teman (freepik.com/freepik)
Ilustrasi ngobrol bercanda dengan teman (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Bahasa identitas digital yang mencerminkan kepribadian dan afiliasi budaya
  • Komunitas daring memiliki kode bahasa sendiri sebagai lencana keanggotaan
  • Fenomena cancel culture menunjukkan tanggung jawab linguistik di era digital

Di era digital, bahasa turut mengalami perkembangan digitalisasi yang cukup signifikan. Sebagai seorang penutur bahasa di era digital, kita adalah pelaku dan saksi dari perkembangan bahasa yang terjadi secepat kilat. Dahulu perkembangan bahasa membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun, bergantung pada korpus teks yang terbatas, catatan sejarah, atau observasi langsung yang memakan waktu lama. Kini, perkembangan bahasa dapat terjadi dalam hitungan hari bahkan jam. Kita memiliki akses ke korpus bahasa digital raksasa yang bertumbuh tiap detik berkat adanya internet.

Jejak digital bahasa yang ditinggalkan oleh miliaran pengguna internet tiap harinya, menjadi pendorong bagi lahirnya bentuk-bentuk bahasa baru. Komentar di Youtube, percakapan di X, artikel berita daring, hingga transkrip video, semua membentuk lanskap linguistik yang makin dinamis dan beragam. Perkembangan bahasa tidak lagi hanya melalui interaksi tatap muka, tetapi juga turut dipengaruhi oleh algoritma, tren viral, dan budaya global yang saling bersilangan.

Salah satu dampak paling signikan internet dalam membentuk linguistik modern adalah munculnya linguistik komputasi sebagai salah satu disiplin ilmu linguistik yang keberadaanya cukup krusial. Dengan bantuan algoritma internet, linguis kini dapat dengan mudah menganalisis pola-pola bahasa yang kompleks dalam skala besar. Dengan bantuan linguistik komputasi, para linguis ini bahkan bisa melacak penyebaran neologisme (kata-kata baru), mengidentifikasi perubahan frekuensi penggunaan kata-kata tertentu, bahkan mampu memprediksi tren bahasa di masa mendatang.

Keberadaan internet dalam membentuk linguistik modern juga berdampak pada desentralisasi otoritas linguistik. Jika dulu lembaga seperti badan bahasa yang berwenang menentukan makna yang "benar" dan makna yang "tidak benar" dari sebuah kata, kini validasi benar dan salah tersebut justru datang dari penggunaan massal masyarakat digital. Popularitas dan frekuensi pemakaian suatu kata atau frasa di ruang digital dapat mengukuhkan legitimasi makna baru, bahkan tanpa validasi dari institusi resmi. Fenomena ini menggeser kekuasaan linguistik dari segelintir pakar ke tangan publik pengguna bahasa.

 

Bahasa sebagai Identitas Digital

Di era digital, bahasa bukan lagi hanya sebagai alat komunikasi, melainkan juga identitas. Pilihan kata hingga gaya penulisan telah mencerminkan kepribadian, generasi, hingga afiliasi budaya penggunanya. Gen Z, misalnya, dikenal dengan gaya sarkastik dan ironi digital mereka yang khas. Kemampuan Gen Z untuk menyampaikan kritik sosial atau ekspresi kompleks hanya dengan satu kata, seperti "ok" atau penggunaan emoji tertentu, menunjukkan bagaimana bahasa digital telah berkembang menjadi sebuah bentuk komunikasi yang ringkas tapi sarat makna.

Penggunaan bahasa di ranah digital ini bukan hanya sekadar tren semata, melainkan juga membentuk identitas diri yang membedakan satu generasi dengan generasi lain, menciptakan kebersamaan dalam satu komunitas, dan membentuk citra diri yang unik di ranah digital. Identitas digital ini tidak selalu identik dengan identitas di dunia nyata. Namun, seringkali merupakan representasi yang disengaja dan dikurasi. Contohnya, seorang profesional mungkin menggunakan bahasa formal dan teknis di lingkungan profesionalnya seperti LinkedIn, tetapi ia beralih ke bahasa yang lebih santai dan penuh slang di platform lain, seperti X atau Instagram. Pergeseran ini menunjukkan bagaimana kita secara sadar atau tidak sadar menyesuaikan identitas linguistik dengan konteks digital.

Munculnya berbagai komunitas daring dengan kode bahasa sendiri juga memperkuat peran bahasa sebagai identitas digital. Pecinta gim daring memiliki istilah-istilah khusus mereka, penggemar K-pop memiliki bahasa fandom yang unik, dan komunitas-komunitas niche lainnya juga mengembangkan idiolek digital mereka. Menguasai dan menggunakan bahasa-bahasa dalam suatu komunitas ini menjadi semacam lencana keanggotaan, sebuah cara untuk menunjukkan afiliasi dan identifikasi dengan kelompok tertentu. Hal tersebut tidak hanya menciptakan rasa memiliki, tetapi juga berfungsi sebagai filter, membedakan insider dan outsider dalam sebuah komunitas.

Fenomena cancel culture dan woke culture yang banyak kita temukan di media sosial juga menunjukkan bagaimana bahasa dan identitas digital saling berkaitan erat. Pilihan kata yang dianggap ofensif atau tidak sensitif dapat memicu gelombang kritik yang bahkan dapat merusak reputasi seseorang di dunia maya. Sebaliknya, penggunaan bahasa yang inklusif dan progresif dapat meningkatkan kredibilitas dan penerimaan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab linguistik di era digital menjadi makin berat, karena setiap kata yang diunggah dapat memiliki dampak yang luas dan langsung terhadap identitas digital seseorang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us