Fenomena ini adalah yang paling toxic dari beberapa yang sudah dibahas. Kenapa toxic?
Self-diagnosis adalah perilaku menyimpulkan suatu penyakit atau gangguan yang kita mungkin alami tanpa melalui proses diagnosa profesional dari dokter, psikiater, psikolog atau profesional lainnya. Perilaku ini toxic karena merugikan dua pihak, diri sendiri dan orang lain. Orang yang melakukan self-diagnosis sering berujung pada kesimpulan yang salah terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Tentu kesimpulan yang salah ini membuat orang gagal memperbaiki sesuatu yang ada dalam dirinya. Di lain pihak, orang lain yang dekat dengan kita akan terkena dampak negatif pula, apalagi kalau kesimpulan yang muncul dari perilaku self-diagnosis itu sampai ke gangguan mental. Orang terdekat kita akan kesulitan untuk mengerti apa yang menjadi masalah kita dan pada level tertentu, seseorang yang melakukan self-diagnosis bisa jadi menggunakan diagnosanya yang tidak jelas tersebut sebagai pembenaran atas hal-hal buruk yang dia lakukan. Tentu ini sangat merugikan hubungannya dengan orang lain.
Budaya mendiagnosa diri sendiri disebabkan dengan kemudahan akses informasi yang didapatkan sehingga tidak perlu ada appointment dengan dokter, psikiater atau profesional lainnya. Semuanya hanya sejauh jari kita menyentuh layar gadget. Orang-orang akan melakukan riset sendiri terhadap apa yang dia rasakan di internet, dan tidak jarang, sampai ke kesimpulan yang sepenuhnya salah. Saya adalah orang yang berpendapat bahwa gejala gangguan apapun yang terjadi pada diri kita, baik fisik maupun mental, harus dikonsultasikan kepada profesional alih-alih melakukan riset sendiri di internet. Yah, mungkin ada baiknya dicari untuk sekedar informasi dasar saja bukan sebagai kesimpulan sampai ada diagnosa langsung. Karena bagaimanapun juga, informasi diagnosa yang bertebaran di internet (sekalipun ditulis oleh profesional) harus diakui sudah di simplifikasi. Faktor-faktor teknis diagnosa dan variabel-variabel kasus per kasus itu dikesampingkan demi artikel yang ramah pembaca awam.
Kembali ke perilaku self-diagnosis. Kita persempit konteksnya ke gangguan mental. Orang-orang yang melakukan self-diagnosis itu biasanya terbagi menjadi dua tipe yaitu: 1. Orang yang tidak punya waktu untuk konsultasi dengan profesional sampai harus ‘tersesat’ dengan informasi yang dibaca di internet, dan 2. Orang yang mengklaim dirinya mengalami gangguan mental karena termakan glorifikasi.
Kasus yang pertama sudah jelas. Orang tersebut hanya tidak memiliki waktu saja dan terbawa dengan informasi-informasi ‘dini’ yang dia dapatkan. Ada suatu fenomena yang dinamakan Barnum Effect. Ini adalah fenomena psikologis dimana seseorang diberikan deskripsi yang sangat akurat tentang dirinya, membuatnya percaya bahwa deskripsi itu benar-benar berlaku padanya padahal sebenarnya deskripsi itu sangat umum bisa berlaku ke banyak orang. Contoh dari fenomena ini adalah yang terjadi pada ramalan astrologi, pembacaan aura sampai pada tes-tes kepribadian. Melakukan riset sendiri di internet terhadap masalah yang kita alami akan sangat mungkin melahirkan fenomena ini. Deskripsi tentang diri kita akan sangat mudah kita terima dan setujui begitu ada saja beberapa hal yang cocok dengan keadaan kita. Padahal metodologi diagnosa itu sendiri sangat rumit dan luas cakupannya, apalagi berbicara tentang kesehatan mental. Psikiater dan psikolog adalah orang-orang yang berkualifikasi mendiagnosa gangguan mental seseorang. Mereka sudah melalui pelatihan, pendidikan serta pengalaman yang luas dan tak terhitung lagi. Sangat tak masuk akal orang-orang ini mengambil pendidikan, pelatihan dan uji yang begitu rumit kalau masalah kesehatan mental bisa dengan mudah didiagnosa dengan 5-10 menit berselancar di internet. Kalau pembaca adalah tipe orang yang ini, langkah yang tepat memang cuma meluangkan waktu dan seek professional help.
Tipe orang yang melakukan self-diagnosis yang kedua adalah yang termakan glorifikasi.
Seperti yang tadi sudah dibahas, glorifikasi adalah perilaku meninggikan suatu hal karena terlihat keren bagi orang yang melakukannya. Subjek yang dibawa dalam hal ini adalah gangguan mental. Gangguan mental dianggap keren sehingga seseorang berusaha mencap dirinya sendiri mengalami masalah itu. Riset yang dilakukan orang-orang ini di internet hanya untuk mendukung dan membenarkan cara berpikir ini. Pada kasus-kasus tertentu, orang-orang yang terbawa glorifikasi ini akan membenarkan perilaku-perilaku buruk mereka atas nama gangguan mental. Inilah fase paling toxic dari self-diagnosis. Secara umum juga ini mungkin terjadi diluar konteks gangguan mental. Pembenaran perilaku buruk karena mengidap suatu penyakit tertentu sering terjadi di masyarakat.
Anak-anak muda yang dalam masa-masa labil mereka mungkin adalah yang paling mudah terjangkit perilaku ini. Hijaunya pengalaman hidup seringkali membuat mereka menolak untuk menerima keburukan dalam diri mereka dengan segala macam cara. Rasionalisasi, denial, blaming dan banyak mekanisme pertahanan ego lainnya diluncurkan demi menjaga kedamaian pikiran. Self-diagnosis dalam konteks glorifikasi adalah bentuk penipuan diri sendiri yang sangat toxic. Mereka akan semakin jauh dari fakta yang ada. Orang-orang disekitar mereka akan dirugikan dengan pembenaran-pembenaran mereka. Orang tua, teman-teman, pasangan, atas dasar kasih sayang, harus terpaksa menerima alasan pembenaran tersebut karena terlalu takut menyentuh hal se-sensitif gangguan mental. Bagi pembaca yang mungkin dalam posisi mengenal atau bahkan dekat dengan orang yang seperti ini, beri mereka saran untuk segera ke profesional. Jangan mencap mereka pembohong. Jangan-jangan mereka memang mengalami masalah. Agar lebih jelas, bantu mereka ke profesional agar mendapat penanganan dan tidak berkutat dengan masalah tersebut atau bahkan memperluas masalah itu menjadi masalah-masalah baru.
Penting bagi kita mendiskusikan tentang persoalan kesehatan mental ini. Isu ini benar-benar real dan perlu diperhatikan baik publik maupun para pengambil kebijakan, sama saja seperti isu perubahan iklim, pencemaran lingkungan atau isu-isu publik yang lain. Ruang publik sekarang sedang ‘tercemari’ dengan fenomena-fenomena yang tidak substansial dan masih jauh dari pembicaraan yang mengorek inti permasalahannya. Topik-topik saintifik, medis dan psikologis tentang kesehatan mental sedang tertutup dengan stigma dan glorifikasi. Makanya sangat krusial bagi kita membongkar blokade itu untuk mulai bisa berdiskusi secara lebih komprehensif. Stigma adalah akar permasalahan. Karena stigmalah, glorifikasi lahir. Dari glorifikasi, orang-orang yang terpropaganda dengan ‘keindahan bunuh diri’, ‘kecantikan depresi’, dan ‘kekerenan rasa cemas’ bermunculan. Dengan meluruskan pandangan publik soal masalah ini, menepis stigma-stigma yang selama ini terbentuk, dan mengkampanyekan gerakan anti-glorifikasi. Tentu aksi kolaboratif dari semua pihak diperlukan, mengesampingkan ego, menyingkirkan bias dan melihat permasalahan kesehatan mental ini dari sudut pandang yang objektif.