ilustrasi diam (pexels.com/MART PRODUCTION)
Michel Foucault menekankan bagaimana kekuasaan bekerja bukan hanya dengan hukuman fisik, tetapi juga melalui disiplin yang membatasi ruang bicara. Di Indonesia, politik ketakutan ini hadir dalam berbagai bentuk ancaman hukum bagi pengkritik pemerintah, stigma terhadap aktivis, hingga tekanan sosial di lingkungan kerja. Ketakutan membuat orang memilih diam, dan lama-lama diam berubah menjadi sikap abai.
Budaya diam ini kemudian menormalisasi tone deaf. Banyak orang lebih memilih aman ketimbang kritis, bahkan ketika hak-hak dasar dilanggar. Ketakutan membuat solidaritas melemah, dan melemahnya solidaritas membuka jalan bagi penguasa untuk bertindak sewenang-wenang. Dalam jangka panjang, tone deaf bukan sekadar masalah moral, tetapi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia itu sendiri.
Apa yang terjadi di Indonesia hari ini jelas memperlihatkan jurang yang begitu dalam antara mereka yang peduli dan mereka yang memilih zona nyaman dengan menjadi tone deaf. Menjadi orang tone deaf saat negara sedang kacau bukanlah sikap netral, tetapi bentuk keberpihakan pada status quo yang menindas. Selama masih banyak orang yang nyaman dalam privilese dan pura-pura 'tuli', krisis akan terus berulang, dan korban baru akan terus berjatuhan tanpa pernah ada perubahan nyata.
Referensi:
""Bourdieu on social capital – theory of capital". Tristan Claridge. Diakses pada Agustus 2025.
"Cultural Capital Theory Of Pierre Bourdieu". Simply Psychology. Diakses pada Agustus 2025.
"Survival of the fittest". Britannica. Diakses pada Agustus 2025.
"Shoshana Zuboff: ‘Surveillance capitalism is an assault on human autonomy’". The Guardian. Diakses pada Agustus 2025.
"Gramsci and the Theory of Hegemony" Bates, Thomas R. Diakses pada Agustus 2025
"Foucault's theory of power" Lynch, Richard A. Diakses pada Agustus 2025