Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Banyak Perempuan Kehilangan Identitas Setelah Menikah?

ilustrasi menikah (pexels.com/Danu Hidayatur Rahman)
ilustrasi menikah (pexels.com/Danu Hidayatur Rahman)
Intinya sih...
  • Budaya menempatkan nama suami sebagai identitas perempuan
  • Harapan sosial membatasi peran perempuan di ranah domestik
  • Media menyuarakan citra perempuan ideal yang seragam
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak perempuan merasa identitas pribadinya perlahan memudar setelah menikah, seolah dirinya hanya dilihat dari status sebagai istri atau ibu. Di masyarakat, nama mereka sering digantikan oleh nama suami, bahkan ketika diperkenalkan atau disebut dalam percakapan sehari-hari. Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang sosial, tetapi juga merembes hingga ke lingkup keluarga, lingkungan kerja, dan bahkan dokumen resmi. Padahal, identitas personal adalah bagian penting dari harga diri yang tidak seharusnya hilang hanya karena perubahan status pernikahan.

Ketika identitas perempuan direduksi menjadi bagian dari pasangan, makna peran mereka dalam masyarakat ikut terpinggirkan. Hal ini menciptakan pertanyaan besar mengenai bagaimana sistem budaya, kebiasaan, dan pola pikir kolektif memandang posisi perempuan. Berikut beberapa alasan mengapa kondisi ini terus terjadi dan jarang disoroti secara serius.

1. Budaya menempatkan nama suami sebagai identitas perempuan

ilustrasi nama suami (pexels.com/El gringo photo)
ilustrasi nama suami (pexels.com/El gringo photo)

Dalam banyak budaya di dunia, perempuan setelah menikah sering diperkenalkan dengan nama suami, bukan menggunakan nama dirinya sendiri. Misalnya, seseorang baru dikenali setelah disebut sebagai “istrinya si A” atau “Bu B dari keluarga C.” Praktik ini terlihat sederhana, tetapi menyiratkan bahwa identitas perempuan dianggap kurang penting dibandingkan identitas laki-laki. Akibatnya, nama asli perempuan makin jarang disebut dan perlahan terlupakan dalam kehidupan sosial.

Kebiasaan ini menandakan adanya pandangan patriarki yang masih kuat di masyarakat. Nama suami menjadi simbol utama, sedangkan perempuan dianggap sekadar bagian dari rumah tangga. Bagi sebagian orang, ini terlihat wajar, tetapi bagi perempuan yang ingin tetap dihargai sebagai individu, praktik ini terasa mengekang. Identitas pribadi tidak lagi berdiri sendiri, melainkan melekat pada seseorang yang dianggap lebih dominan.

2. Harapan sosial membatasi peran perempuan di ranah domestik

ilustrasi peran domestik perempuan (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi peran domestik perempuan (pexels.com/RDNE Stock project)

Setelah menikah, banyak perempuan menghadapi ekspektasi sosial bahwa tugas utama mereka adalah mengurus rumah, suami, dan anak. Label sebagai “istri baik” atau “ibu teladan” sering kali lebih dipentingkan daripada pencapaian pribadi. Hal ini menimbulkan tekanan besar karena perempuan dipaksa menyesuaikan diri dengan standar yang ditentukan orang lain. Akhirnya, identitas pribadi yang sebelumnya aktif di dunia kerja atau komunitas perlahan terpinggirkan.

Situasi ini membuat banyak perempuan kesulitan untuk mempertahankan ruang bagi dirinya sendiri. Bukan berarti peran domestik tidak penting, tetapi pembatasan hanya pada satu ruang membuat kontribusi lain yang mereka miliki seakan tidak diakui. Padahal, perempuan mampu menjalankan banyak peran sekaligus tanpa harus kehilangan jati dirinya. Masalah muncul ketika masyarakat tidak memberi ruang bagi keberagaman itu.

3. Media menyuarakan citra perempuan ideal yang seragam

ilustrasi keluarga kecil (pexels.com/Anastasiya Gepp)
ilustrasi keluarga kecil (pexels.com/Anastasiya Gepp)

Citra perempuan setelah menikah sering dibentuk oleh media melalui gambaran istri yang penurut, lembut, dan selalu mendahulukan keluarga. Representasi ini diulang dalam iklan, sinetron, bahkan berita, sehingga membentuk standar yang tidak realistis. Banyak perempuan akhirnya merasa gagal jika tidak sesuai dengan gambaran itu, seolah identitas dirinya salah atau kurang layak. Hal ini memperkuat tekanan untuk melebur menjadi sosok yang diharapkan, bukan diri yang sebenarnya.

Dampaknya, perempuan kesulitan menunjukkan sisi personal yang berbeda dari gambaran umum. Jika mereka terlalu vokal atau mandiri, sering dianggap tidak sesuai dengan peran tradisional. Media yang seharusnya bisa memberikan ruang alternatif justru mempersempit citra perempuan. Identitas yang unik akhirnya tereduksi menjadi stereotip yang seragam dan membatasi kebebasan individu.

4. Lingkungan kerja mengurangi pengakuan identitas perempuan menikah

ilustrasi bekerja (pexels.com/Jopwell)
ilustrasi bekerja (pexels.com/Jopwell)

Banyak perempuan yang setelah menikah merasa diperlakukan berbeda di tempat kerja. Mereka dianggap tidak lagi sepenuhnya berkomitmen karena harus membagi waktu dengan keluarga. Dalam beberapa kasus, peluang karier berkurang hanya karena status sebagai istri atau ibu, seakan identitas profesional mereka berhenti setelah pernikahan. Hal ini menciptakan dilema besar antara mempertahankan pekerjaan atau menyesuaikan diri dengan ekspektasi sekitar.

Padahal, identitas perempuan di dunia kerja tidak seharusnya hilang karena perubahan status pribadi. Kemampuan, pengalaman, dan prestasi tetap ada, tetapi pengakuannya melemah akibat stigma sosial. Banyak perempuan akhirnya memilih menyingkir dari ruang publik karena merasa tidak dihargai sebagaimana mestinya. Identitas profesional yang sudah dibangun bertahun-tahun bisa runtuh hanya karena status pernikahan.

5. Internalisasi peran membuat perempuan kehilangan ruang pribadi

ilustrasi ibu (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi ibu (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Selain tekanan dari luar, banyak perempuan yang secara tidak sadar menginternalisasi peran baru mereka. Mereka merasa harus selalu mengutamakan keluarga hingga lupa menanyakan apa yang sebenarnya diinginkan diri sendiri. Waktu untuk hobi, pengembangan diri, atau sekadar istirahat dianggap mewah dan tidak prioritas. Akibatnya, identitas pribadi makin sulit dikenali karena larut dalam rutinitas domestik yang berulang.

Proses kehilangan identitas ini sering berjalan diam-diam dan tanpa disadari. Perempuan merasa dirinya sudah seharusnya berkorban, meski dalam hati ada kerinduan untuk tetap menjadi diri sendiri. Ketika situasi ini berlangsung lama, perempuan bisa merasa asing dengan dirinya sendiri. Identitas yang dulu kuat melebur hingga sulit ditemukan kembali.

Perempuan tidak seharusnya kehilangan identitas hanya karena menikah, sebab pernikahan seharusnya menjadi ruang saling mendukung, bukan menghapus jati diri salah satu pihak. Identitas perempuan perlu tetap diakui sebagai individu yang utuh, bukan sekadar melekat pada peran istri atau ibu. Selama masyarakat masih memandang identitas perempuan dari sudut pandang sempit, ketidakadilan ini akan terus berulang tanpa disadari.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us