Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Lapak UMKM (sumber: foto pribadi)

Pagi cukup cerah di pinggiran Surabaya. Harapan dan perjuangan bertemu dalam ritme hidup yang kian keras. Di pinggir sebuah jalan, seorang ibu paruh baya, sebutlah Sri, sedang menata kiosnya yang kecil. Menyiapkan segala sesuatu untuk membuka lapak jajanan dan kue basah, usaha yang ditekuninya dalam 5 bulan terakhir. Sebelumnya, ia dan suaminya adalah karyawan sebuah pabrik tekstil yang kemudian terdampak pemutusan hubungan kerja. Dengan tabungan yang nyaris habis dan sisa-sisa harapan yang masih tersisa, Sri memutuskan untuk beranjak membuka usaha jajanan dan kue basah. Di balik tekadnya untuk menghidupi keluarga, terselip bayang-bayang keraguan, akankah usaha kecil ini mampu mengubah nasibnya? 

Cerita Sri adalah gambaran nyata kondisi ekonomi Indonesia saat ini, di mana ribuan usaha mikro, kecil, dan menengah muncul sebagai respons atas menipisnya lapangan kerja formal.

Di balik riuhnya glorifikasi kewirausahaan semacam ini, tersembunyi ironi pahit yang tak bisa diabaikan. Banyak warga, seperti Sri, terpaksa beralih ke sektor informal tanpa adanya jaminan sosial yang memadai dan daya beli masyarakat yang terus menurun. Sementara pasar premium, macam boneka labubu beberapa waktu lalu, sold-out dalam kemewahan dan kecepatan transaksi. Ironi ini menimbulkan pertanyaan mendalam: bagaimana mungkin di satu sisi usaha kecil tumbuh dari ke-apa boleh buat-an, sedangkan di sisi lain produk-produk mewah laris manis terjual? Ironi ini seolah mencerminkan jurang tak terlihat antara realitas kehidupan sehari-hari dengan gambaran pertumbuhan ekonomi yang kerap kali hanya tampak dalam statistik makro.

Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik dan Poverty and Inequality dari World Bank mengungkapkan bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia masih sangat mencolok. Gini Ratio yang mendekati angka 0,4 menggambarkan distribusi pendapatan yang timpang; sebagian kecil masyarakat menguasai sebagian besar kekayaan, sedangkan mayoritas hanya mendapatkan sisanya. Hampir 45 persen pendapatan terakumulasi pada 20 persen masyarakat teratas yang merupakan top 20 persen layer

Kondisi ini secara langsung menekan daya beli, khususnya pada 60 persen layer di tengah, sehingga meskipun usaha kecil semakin bermunculan, tidak bisa diimbangi dengan pendapatan yang didapatkan oleh pelakunya.

Diskursus sektor informal dan formal yang belakangan mengemuka bisa jadi kongruen dengan teori Dual Sector Model (Lewis, 1954). Sektor formal mewakili industri manufaktur, yang diasumsikan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebuah negara dengan cepat. Dalam konteks waktu sampai akhir tahun 90an, teori ini diamini mengingat dunia sedang pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia Kedua. Namun, disrupsi teknologi dan informasi dan kondisi geopolitik terkini mengubah pola dan hipotesa ini.

Laporan Future of Jobs 2025 oleh WEF malah memprediksikan sektor pertanian kembali akan menjadi tujuan kerja dalam 5 tahun ke depan. Hipotesa lain yang bisa dikritisi adalah konsep Trickle Down Economics (TDE) yang menyatakan bahwa jika kelas paling atas mendapat distribusi lebih akan mendorong investasi dan kesempatan kerja. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Meski sekitar 45 persen pendapatan terkumpul di  20 persen kelas paling atas, ternyata tidak mampu mendorong secara signifikan pertumbuhan dan kesejahteraan kelas di bawahnya.

Pertumbuhan usaha mikro dan kecil kerap dianggap sebagai simbol kreativitas dan semangat kewirausahaan. Namun, di balik sorotan media sosial dan headline bisnis, tersimpan kisah pahit jutaan pekerja yang berduyun memasuki sektor informal ini karena terpaksa meninggalkan pekerjaan formal, tidak mampu mengakses kesempatan pekerjaan formal atau harus mencari sumber pemasukan tambahan diluar upah pekerjaan formal yang tidak memadai. 

Walhasil, keputusan untuk membuka usaha sendiri bukanlah hasil dari peluang yang terbuka lebar, melainkan lebih pada sebuah pilihan dan keharusan untuk bertahan hidup. Tanpa adanya skema perlindungan sosial seperti asuransi kesehatan, pensiun, dan perlindungan hukum kerja, mereka harus menghadapi ketidakpastian ekonomi setiap hari. Akibatnya, kelas menengah yang selama ini menjadi penopang stabilitas ekonomi mulai tergerus. Jangan lupa, lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi kita ditopang dari konsumsi.

Dampak sosial dari dinamika ini terasa sangat nyata. Kisah Sri dan jutaan orang lainnya tidak hanya menggambarkan paradoks ekonomi, tetapi juga mencerminkan krisis sosial yang perlahan menimbulkan pertanyan terhadap sistem ekonomi yang ada. Gelombang PHK dan kurangnya lapangan kerja yang bisa diakses telah menciptakan gelombang pengangguran yang meruntuhkan stabilitas ekonomi keluarga, memaksa banyak di antara mereka untuk mengandalkan sektor informal, usaha mikro dan kecil dengan risiko tinggi dan pendapatan yang tidak pasti. Sementara itu, konsentrasi pendapatan pada segelintir orang semakin tampak melalui kesibukan pasar barang premium, berbanding terbalik dengan sepinya kios dan lapak-lapak UMKM yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan banyak orang.

Merenungkan kisah Sri, kita dihadapkan pada realitas yang mengharukan. Di balik setiap usaha kecil yang muncul tersimpan harapan dan perjuangan yang tak tampak oleh sorotan gemerlap pemengaruh di FYP TikTok. Pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak hanya berupa angka di atas grafik, melainkan sebuah perjalanan yang memungkinkan setiap individu menikmati hasil kemajuan. Saat kita menyaksikan flexing di layar gawai, kita juga harus mengingat bahwa di sudut-sudut lain, masih banyak jiwa-jiwa yang berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Waktu terus berjalan, membawa setiap detik peluang untuk memulai kembali. Kondisi ekonomi yang diwarnai ketimpangan ini seharusnya menjadi cermin bagi kita untuk mengevaluasi sistem yang ada dan mencari solusi yang lebih adil. Harapan akan ekonomi yang inklusif bukan hanya impian, melainkan panggilan untuk bertindak. Kemenangan sejati suatu bangsa terukur dari sejauh mana setiap warganya dapat merasakan manfaat kemajuan berkeadilan.

Senja mulai merona, Sri dibantu suaminya membereskan lapaknya. Kita diingatkan bahwa perubahan tidak datang dengan sendirinya. Kisah Sri dan jutaan cerita lainnya harus menjadi inspirasi untuk mengubah paradigma ekonomi yang timpang. Paradigma Ekonomi Donat dari Kate Raworth salah satunya. Sudah saatnya membuka mata, mendengar sunyi yang riuh, dan bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam setiap langkah kecil tersimpan potensi besar untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur, di mana pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dari angka, melainkan dari seberapa dalam keadilan sosial dirasakan oleh setiap insan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team