Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Rahasia Gelap Bisnis Kuliner yang Sustainable

Ilustrasi cafeshop (pexels.com/River He)
Ilustrasi cafeshop (pexels.com/River He)
Intinya sih...
  • Bisnis "sustainable" tidak selalu berarti sukses dari inovasi, tapi bisa disokong oleh dana gelap untuk mencuci uang.
  • Restoran mewah yang sepi pengunjung bisa jadi praktik pencucian uang karena sistem kasnya longgar dan laporan keuangannya dapat disesuaikan.
  • Restoran dibuka bukan hanya untuk mencari keuntungan, tapi juga membangun citra sebagai pengusaha sukses melalui branding dan narasi palsu.

Istilah sustainable atau berkelanjutan sering digunakan untuk menggambarkan bisnis yang kuat, inovatif, dan tangguh di tengah persaingan. Dalam dunia kuliner, kata ini menjadi semacam simbol prestasi: restoran yang terus buka meski krisis, berkembang cepat, dan tampak sukses dari luar. Namun, tidak semua keberlanjutan dibangun dari resep yang bersih.

Beberapa restoran yang mengklaim diri “sustainable” ternyata tak hanya mengandalkan strategi pemasaran atau inovasi menu. Ada yang bertahan bukan karena laris manis, tapi karena disokong oleh dana gelap — baik untuk mencuci uang, maupun mencuci nama.

1. Bisnis kuliner yang sepi pelanggan tapi tetap hidup, patut dicurigai

Ilustrasi restoran (pexels.com/Maria Orlova)
Ilustrasi restoran (pexels.com/Maria Orlova)

Tidak sedikit restoran atau kafe yang tampak mewah, memiliki cabang di mana-mana, namun selalu kosong dari pengunjung. Meski dari luar tampak elegan dan profesional, publik kerap bertanya-tanya: bagaimana tempat seperti itu bisa bertahan?

Jawabannya bisa jadi adalah praktik money laundering alias pencucian uang. Industri kuliner memang cukup ideal sebagai saluran cuci uang karena sistem kasnya longgar, jumlah transaksi bisa dimanipulasi, dan arus masuk dana tunai tidak mudah ditelusuri. Laporan keuangan bisa disesuaikan, dan dana yang awalnya “kotor” bisa tampil seolah berasal dari penjualan makanan.

2. Tempat makan yang jadi tempat cuci: bersih tampilannya, keruh isinya

Ilustrasi cafeshop (pexels.com/irwandaade)
Ilustrasi cafeshop (pexels.com/irwandaade)

Banyak tempat makan sekarang bukan cuma menjual rasa, tapi juga menjual narasi. Dalam beberapa kasus, restoran dibuka bukan untuk mencari keuntungan dari pelanggan, tapi untuk membangun citra sebagai pengusaha sukses. Cerita “merintis dari nol” bisa jadi cuma bagian dari strategi branding. Tempat makan menjadi semacam “panggung” agar sosok di baliknya terlihat sah, bersih, dan layak diajak kolaborasi oleh pihak manapun.

Branding restoran dibuat menarik, gaya visualnya dirancang agar viral, dan narasi seputar “perjuangan bisnis dari nol” dipoles sedemikian rupa. Padahal, yang menopang keberlangsungan bisnisnya bukanlah konsumen, melainkan dana yang tak dicatat di laporan publik.

3. Sustainable itu baik, tapi....

Ilustrasi Cafeshop (pexels.com/Mizuno K)
Ilustrasi Cafeshop (pexels.com/Mizuno K)

Beberapa bisnis memang bukan bangkrut karena gagal bersaing, tapi karena gagal “memanipulasi laporan” dengan cukup elegan. Di sisi lain, yang berhasil “tahan lama” justru karena pintar menutupi aroma amisnya dengan wangi parfum mahal dan tagline inspiratif.

Keberlanjutan sebuah bisnis bukan hanya soal bisa bertahan lama. Bisnis yang benar-benar sehat juga perlu transparansi dan etika. Ketika kelangsungan usaha justru bergantung pada praktik ilegal atau rekayasa pencatatan, istilah sustainable menjadi ironi.

Lebih parah lagi, bisnis semacam ini justru sering mendapat panggung besar: tampil di media, jadi pembicara UMKM, atau bahkan digandeng oleh brand besar untuk kerja sama. Semua ini menciptakan persepsi sukses yang keliru, seolah keberlanjutan bisa dibeli dengan uang, bukan dibangun dengan nilai dan integritas.

4. Konsumen juga perlu peka, jangan hanya tergoda feed instagram

Ilustrasi Cafeshop (pexels.com/Alesia Talkachova)
Ilustrasi Cafeshop (pexels.com/Alesia Talkachova)

Masyarakat kekinian suka hal yang estetik. Tapi sayangnya, estetika kadang menipu. Restoran yang tampil bersih belum tentu bersih secara operasional. Apalagi kalau menunya lebih sering dijadikan properti konten ketimbang dijual sungguhan.

Tidak semua bisnis kuliner punya sisi gelap. Banyak pelaku usaha yang jujur, bekerja keras, dan merintis usaha dari bawah dengan dedikasi. Tapi, bukan berarti publik harus menutup mata terhadap praktik-praktik yang menyimpang.

Keberlanjutan bisnis kuliner bisa menjadi tanda strategi yang matang, manajemen yang rapi, dan adaptasi yang baik terhadap pasar. Hal yang sah-sah saja dan patut diapresiasi. Apalagi dengan pasang surutnya pasar yang tidak menentu dan kesulitan ekonomi saat ini membuat para pelaku bisnis mampu menghalalkan segala cara untuk mempertahankan bisnis dan usahanya. Ini menjadi bukti nyata bahwa, kita perlu membuka mata jika tidak ada bisnis yang benar-benar bersih. Semua itu hanya karena mau atau tidaknya kita memanfaatkan segala peluang dan kesempatan yang ada. 

Menjadi konsumen yang sadar bukan berarti menjadi skeptis terhadap semua restoran. Tapi penting untuk memahami bahwa apa yang tampak sukses di permukaan, tidak selalu dibangun dari hal-hal yang baik. Kembali lagi, baik atau tidaknya itu hanyalah sebuah perspektif. Karena ini juga tentang membangun, mempertahankan dan memanfaatkan kesempatan yang ada.

Dan ingat, yang paling bersinar belum tentu bintang… bisa jadi lampu sorot dari sidang pengadilan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Abigail Dumola
EditorAbigail Dumola
Follow Us