Pengalamanku, si Anak Katolik yang Pernah Ikut Sahur di Bulan Ramadan

#CeritaRamadan War takjil di garda terdepan

Ah Ramadan, entah kenapa aku selalu suka. Berburu takjil, nonton takbiran, kumpul keluarga, sampai dapat uang saku tambahan.

Aku memang terlahir dari keluarga multikultural, papa Kristen, mama Katolik, sementara aku dan adik-adikku memeluk Katolik sedari lahir. Keluarga besar kami lebih beragam lagi, pasalnya kakek dan nenek dari papa adalah seorang muslim. Keluarga besar dari papa dan mama pun juga banyak yang memeluk Islam.

Hal ini yang membuat aku dan sepupuku juga punya agama yang berbeda. Aku sering melihat mereka rapi pakai baju koko dan peci, sementara mereka juga melihat kami pakai baju Natal meriah di bulan Desember. Meski berbeda, tapi kami tetap main bersama.

Memiliki keyakinan yang berbeda gak lantas membuat kami saling benci, justru ada banyak hari raya yang bisa dinikmati. Di Idulfitri terhidang opor dan rendang, sementara saat Natal melimpah kue dan makanan lezat. Kalau begini, nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Sebenarnya tiap Ramadan berkesan buatku karena selalu ada momen untuk berkumpul dengan para sepupu. Namun, jika berbicara mengenai pengalaman Ramadan paling berkesan, mungkin saat aku menginjak bangku sekolah dasar, aku lupa tepatnya umur berapa.

Saat itu di rumahku memang mempekerjakan dua orang asisten rumah tangga yang menginap di rumah. Sebagaimana layaknya muslim yang berpuasa, mereka juga akan berbuka dan bersahur. Aku yang masih kecil dan selalu ingin tahu, tentu ingin ikut serta. Aku memaksa ingin dibangunkan sahur dan ikut menyantap hidangan sahur.

Mama yang mendengar ini merespons santai “Iya nanti mama bangunin.”, dan benar saja beliau membangunkanku dan mempersilakan aku ikut sahur dengan asisten keluargaku. Tentu aku gak ikut puasa setelahnya, cuma ingin menuntaskan rasa penasaranku saja.

Selesai menyantap hidangan sahur, aku juga melihat mereka melaksanakan shalat subuh. Apakah setelah ikut sahur dan shalat aku mendadak jadi ingin memeluk agama Islam? Ya tentu tidak, justru imanku jadi makin tebal. Aku juga jadi makin menghargai agama lain dan tahu sudut pandang mereka. Aku takjub dengan kegigihan mereka menahan haus dan lapar dan tetap menggenapi salat lima waktu meski terbentur dengan kesibukan.

Sampai kini aku masih setia memeluk Katolik. Pernah ikut sahur, gemar ikut bukber bareng kawan, dan selalu excited merayakan Lebaran gak lantas melunturkan imanku kepada Tuhan. Ramadan tahun lalu aku juga mengajak anak bayiku untuk merayakan Lebaran di rumah pakde. Karena aku ingin kultur ini bisa diwariskan ke generasi berikutnya. 

Supaya anakku mengakrabi fakta bahwa kita memang diciptakan gak seragam. 

Supaya anakku terbiasa dengan perbedaan dan memaknainya sebagai sesuatu yang berwarna dan membuat indah.

Supaya anakku paham kalau bumi yang bulat ini gak perlu dikotak-kotakkan dengan perbedaan agama, suku, maupun budaya. 

Selamat menjalankan ibadah puasa ya saudara-saudaraku yang muslim. Dari aku, si anak Katolik yang selalu excited kalau Ramadan tiba.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Non Muslim Coba Ikut Puasa, Keterusan Sampai 10 Tahun!

Topik:

  • Pinka Wima
  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya