Berbuka puasa jadi waktu favorit saya setiap bulan Ramadan. Selain menjadi momentum pelepas dahaga setelah seharian menahan haus dan lapar, saat berbuka, kami sekeluarga akan menghabiskan waktu bersama di meja makan untuk bertukar cerita. Saya dan kedua orangtua saya akan berceloteh tentang hari yang kami lalui sambil menyantap es buah, kolak, gorengan, atau kue-kue kesukaan saya.
Kebersamaan kami sekeluarga mendadak berubah saat saya memutuskan merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan SMA. Saat itu, usia saya bahkan belum genap 16 tahun. Saya nekat merantau, menukar hidup saya yang serba bergantung dengan ibu dan bapak, jadi sendirian. Saya punya bayangan bahwa hidup sendiri itu seru banget sebab memungkinan saya punya kuasa penuh atas apa yang hendak saya lakukan. Maksudnya, saya boleh pilih menu makanan saya sendiri dan kegiatan akhir pekan yang saya suka.
Ibu mengantar saya ke Yogyakarta siang itu. Jaraknya 5 jam naik mobil dari kampung halaman. Sebelum kembali ke rumah, kami sempatkan makan pecel lele sambil ibu beri wejangan kalau hidup di kota orang, 'jangan neko-neko'. Malamnya, ibu pulang, meninggalkan saya di kota itu, sendirian, tanpa seorang teman.
Hari pertama saya sekolah bertepatan dengan bulan Ramadan, artinya kami semua puasa. Saya semangat bukan kepalang untuk bertemu teman baru, menikmati kehidupan putih abu-abu yang akan menyenangkan, dan masih saja isi kepala saya meromantisasi kerennya hidup mandiri di kota perantauan. Mendadak, bayangan betapa keren jadi anak SMA itu buyar di hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS) atau hari pengenalan sekolah.
Pagi itu, rasanya seperti mimpi buruk. Matahari bersinar terik, kami berdiri menunduk dengan seragam putih abu-abu yang masih bersih. Sementara itu, kakak kelas berkeliling mengecek kedisiplinan kami. Udara Yogyakarta rasanya memanas, situasinya mendebarkan, para senior berteriak bersahutan, terlebih kami sedang puasa. Saya tak habis pikir ternyata sekolah kami masih menerapkan sistem orientasi dengan gaya klasik alias dijemur di tengah lapangan sambil pengecekan ketertiban.
Semua terasa membingungkan dan berat untuk saya. Setelah orientasi selesai, kami punya sederet pekerjaan rumah yang jumlahnya tak sedikit. Lalu, ada daftar barang yang harus dibawa untuk masa orientasi esok dan beberapa tugas lainnya. Puasa pertama saya di perantauan berat luar biasa.
Sepulang sekolah saya tak punya waktu beristirahat, sekadar memusingkan urusan lapar dan haus bagi saya sudah buang waktu. Saya langsung keliling kota Yogyakarta untuk mengerjakan tugas orientasi. Sebagai pengalaman pertama puasa di tanah rantau dan serba tak kenal siapa-siapa, yang bisa saya lakukan saat itu hanya menangis di bus.
Saya kemudian akan tidur larut malam karena tugas MOS harus segera rampung dan besoknya bangun saat dini hari. Ketika sahur pun, saya masih harus melanjutkan pekerjaan yang tertunda akibat tidur beberapa jam. Saya sudah tak lagi peduli apa yang saya makan, terserahlah apa yang disajikan di piring itu.
Momen yang paling menyedihkan justru datang saat buka puasa. Saya duduk bersila di lantai sendirian, di tangan saya gunting dan kertas tengah bekerja membuat tanda pengenal, sementara di samping saya ada piring berisi nasi dan lauk yang tak saya hiraukan sejak beberapa waktu sebelumnya. Ketika perut berbunyi dan tubuh mulai lapar, saya paksakan menyuap nasi.
Sesekali, sambil menyantap makananan, air mata jatuh. Berat sekali membayangkan kalau di rumah saya akan baik-baik saja, sementara di sini saya harus berjuang seorang diri. Ada masakan ibu yang enak, suara bapak yang ramai, dan suasana keluarga yang hangat. Mendadak saya rindu es buah dan gorengan.
Hari pertama MOS sudah berat, ternyata di hari-hari berikutnya juga tak membaik. Saya masih belum punya teman tapi tugasnya banyak sekali, apalagi untuk saya yang merasa masih tak mengenal kota itu. Saya menangis setiap hari di balik majalah yang pura-pura saya baca demi menutupi wajah.
Puncaknya entah di hari keberapa, saya kirim pesan ke ibu, saya bilang, “Bu, Dina gak kuat, capek banget, tugas orientasi sekolahnya susah dan banyak.”
Ibu saya berusaha menguatkan, sebab apa lagi yang bisa dilakukan? Ia bilang, “Iya, Dina. Sabar, ya! Harus harus kuat, bertanggungjawab dengan pilihan yang yang sudah diambil.”
Memang benar saya ngotot pindah ke Yogyakarta berbekal ekspektasi hidup bebas dan menyenangkan. Tapi, saya tak pernah berpikir akan buka puasa sambil meneteskan air mata setiap malam. Mendengar jawaban ibu, saya malah makin menangis, rasanya seperti tak ada jalan keluar dari kemelut beban yang harus saya hadapi sendirian di kota yang makin hari makin asing.
Setelah membaca pesan ibu, saya pilih tak ambil pusing terlalu lama sebab masih ada tugas sekolah yang menanti untuk dikerjakan. Bulir air mata mengganggu pandangan saat harus menulis atau menggunting kertas. Lagi pula hari terus berjalan, saya harus tetap berangkat sekolah untuk kemudian pulang dengan setumpuk tugas lagi.
Untungnya, kurang dari 24 jam sejak saya kirim pesan ke Ibu, dia muncul di depan gerbang sekolah saya. Saya kaget sebab kekhawatiran ibu sampai mengantarkan ia datang menemui saya lagi, anaknya yang ternyata belum siap hidup sendirian. Saya langsung lari menghampirinya, ibu satu-satunya yang saya inginkan kala itu. Di antara orang-orang yang tak saya kenal, di tengah kota yang serba tak familiar, dan kehidupan baru yang serba sulit, akhirnya saya kembali melihat wajah ibu.
Malam itu saya baru bisa merasakan kembali nikmatnya buka puasa. Teh hangat yang terlihat sederhana jadi terasa enaknya. Takjil jadi kian menggiurkan. Ibu datang serupa penolong yang melibas habis urusan saya yang menumpuk. Semua tugas orientasi segera selesai berkat bantuannya. Saya juga masih tidak menyangka mengapa dia selalu bisa menyelesaikan semua hal yang saya khawatirkan. Selalu begitu, sejak dulu.