Telisik Efektivitas Infrastruktur Kendaraan Listrik di Indonesia

Kesiapan infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia

Kendaraan berbahan bakar fosil merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) dan emisi karbon terbesar di dunia. Sumber energi fosil yang merupakan energi tak terbarukan juga terus menipis lantaran penggunaannya yang sangat masif.

Dengan cadangan minyak yang terus berkurang dan mengingat level kenaikan suhu dan polusi akibat emisi GRK dan karbon yang sudah sangat mengkhawatirkan, transisi energi mutlak dilakukan sesegera mungkin. 

Hingga 2020 saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penggunaan kendaraan bermotor di Indonesia sudah mencapai 136,32 juta unit. Dengan didominasi oleh pengguna  sepeda motor (115,023 juta unit), kemudian disusul dengan mobil berpenumpang, mobil barang, dan bis. 

Masifnya penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil ini, jika perlahan dialihkan menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan, tentu dampaknya akan sangat signifikan terhadap lingkungan.

Sejalan dengan hal ini, Presiden RI telah menetapkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. 

Program elektrifikasi kendaraan pun sudah cukup marak disosialisasikan, dengan didukung oleh Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 65 Tahun 2020 tentang Konversi Sepeda Motor dengan Penggerak Motor Bakar Menjadi Sepeda Motor Listrik Berbasis Baterai. 

Inisiasi dari Kemenkeu untuk memberikan tarif bea masuk sebesar 0 persen untuk kendaraan listrik pun sudah diterapkan. Namun, bea masuk sebesar 0 persen ini hanya berlaku untuk kendaraan listrik yang diimpor dalam kondisi belum jadi dan tidak lengkap (incompletely knocked down). 

Hal tersebut bertujuan agar Indonesia dapat menjadi basis produksi dan export hub kendaraan listrik, dan mendorong para automaker dalam negeri untuk memanfaatkan komponen yang sudah diproduksi dalam negeri, sehingga harganya pun akan lebih terjangkau.

Penulis, yang bekerja dalam pengurusan hak kekayaan intelektual, pun telah mendapati cukup banyak permohonan paten terhadap kendaraan listrik dari luar negeri, khususnya sepeda motor listrik. 

Sosialisasi sudah dilakukan, kerangka regulasi pun sudah ditetapkan, dan kendaraan listrik juga sudah banyak mulai mengaspal di jalanan, namun apakah penggunaan kendaraan listrik benar-benar memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi penggunaan sumber energi fosil? Apakah Indonesia sudah siap untuk beralih energi jika dilihat dari sisi pendukung infrastrukturnya? 

Skema pengisian daya untuk satu mobil listrik

Untuk mempermudah penjelasan, kita ambil satu contoh mobil listrik yaitu Hyundai Kona Electric. Daya listrik yang diperlukan untuk mengisi dayanya adalah sebesar 2.640 watt (12 ampere arus listrik dari charger portable x 220 volt tegangan listrik rumah). Sementara, rata-rata penggunaan listrik rumahan di Indonesia adalah 1.300 watt - 2.200 watt. Otomatis, seluruh perangkat listrik dalam rumah tidak dapat digunakan jika kita hendak mengisi daya mobil ini. 

Anggaplah kita akan mengisi daya di SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum), dan bukan di rumah. Hal ini mungkin saja dilakukan tapi akan sulit dalam praktiknya, sebab kuantitas SPKLU masih belum memadai, apalagi di daerah kabupaten dan daerah terpencil. Lain halnya dengan mobil bensin, ketika kita mogok di jalan, SPBU mudah ditemukan dimana saja, sehingga kehabisan bahan bakar bukan kendala yang besar. 

Jika kita dihadapkan pada situasi darurat, misalnya mogok di luar kota atau di hutan, tentunya akan sangat merepotkan untuk sekedar mengisi daya, bukan? 

Kemudian, bayangkan jika satu kecamatan memiliki 500 unit mobil listrik dimana satu mobilnya memerlukan 2500 watt untuk charging dan semuanya diasumsikan charging bersamaan saat malam hari. Maka akan membutuhkan daya listrik hingga 1.250.000 watt, sangat fantastis!

Ilustrasi di atas hanya untuk satu kecamatan. Bayangkan untuk skema konsumsi daya listrik satu provinsi atau satu negara. 

Listrik yang dibutuhkan sangat besar, apalagi jika sumber listrik masih diperoleh dari batu bara atau minyak bumi, alih-alih ramah lingkungan, hal ini justru malah menambah dampak buruk emisi GRK dan emisi karbon. Konsumsi listrik yang besar tidak akan menjadi masalah yang begitu besar jika listriknya juga dihasilkan dari sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti PLTS dan PLTA.

Lalu, bagaimana dengan sepeda motor listrik?

Dilansir Antaranews Otomotif, sepeda motor listrik GESITS besutan PT Wika Industri Manufaktur (WIMA) diklaim membutuhkan daya 450 watt saja untuk fast charging selama tiga jam, sedangkan normal charging adalah 250 watt selama lima jam.

Tentu daya listrik ini cenderung jauh lebih kecil dibandingkan mobil listrik. Ditambah lagi, jumlah SPLU (Stasiun Pengisian Listrik Umum) untuk charging sepeda motor listrik sudah mencapai 7.000 unit di seluruh Indonesia, sangant kontras dengan jumlah SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) yang hingga saat ini baru mencapai 267 unit di 195 lokasi. 

Namun, kendalanya adalah kesiapan mekanik dan kesediaan suku cadang sepeda motor listrik. Pengguna sepeda motor didominasi oleh kalangan menengah kebawah yang tentu sangat 'sensitif' dengan harga. Komponen paling penting pada sepeda motor listrik adalah baterai. Sementara, harga baterainya sendiri bisa mencapai setengah dari harga motornya, dan tahan hanya 3--5 tahun. 

Selain itu, kendaraan sepeda motor biasanya merupakan kendaraan sehari-hari yang intensitas pemakaiannya cukup sering. Tentu perawatannya akan memakan biaya yang tidak sedikit dan cukup merepotkan, mengingat jumlah mekanik penyedia jasa perawatan motor listrik belum banyak tersebar, khususnya di daerah selain kota besar.

Elektrifikasi kendaraan bukan solusi mutlak untuk peningkatan kualitas lingkungan

Pada dasarnya, konversi bahan bakar kendaraan bermotor akan berdampak secara signifikan terhadap lingkungan dan akan membuka banyak kesempatan kerja baru. Namun, untuk masa transisi energi sebagai masa penyesuaian, kendaraan dengan kombinasi bensin dan listrik (kendaraan hybrid) dirasa lebih efektif digunakan. 

Kendaraan hybrid dapat tetap menggunakan bahan bakar fosil setelah energi listriknya habis. Sehingga bensin berperan sebagai cadangan energi saja. Perlahan namun pasti, dengan kendaraan jenis ini, penggunaan bensin tetap dilakukan akan tetapi dengan kuantitas yang minim. 

Sebagai alternatif lainnya, kendaraan solar juga sangat sedikit menghasilkan emisi karbon. Polusinya tinggi, tetapi mesin diesel modern saat ini yang telah menggunakan Catalytic Converter (CC) ataupun Diesel Particulate Filter (DPF) akan menghasilkan polusi lebih rendah lagi.

Infrastruktur penunjang kendaraan listrik pun belum siap untuk transisi massal 100 persen konversi dari kendaraan berbahan bakar bensin menjadi kendaraan listrik. SPLU dan SPKLU belum begitu banyak ditemukan dan masih jarang dimanfaatkan. Infrastruktur jenis ini tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit untuk dikembangkan. 

Kemudian, isu banjir masih merupakan isu tahunan di Indonesia, khususnya Jakarta. Meskipun banyak teknologi pelindung air pada mesin kendaraan, kita tidak pernah benar-benar yakin sampai titik mana air dapat menyebabkan kerusakan mesin, apalagi mesin kendaraan sepeda motor listrik. 

Selain itu, banyak yang mengklaim jarak tempuh kendaraan listrik yang jauh setelah satu kali siklus charging, namun dapatkah kita bayangkan bagaimana jadinya jika jalanan macet? Bayangkan daya listrik yang dikonsumsi oleh komponen lain pada kendaraan misalnya AC, lampu, dan audio. Saat kendaraan tidak bergerak pun, listrik masih akan terus terserap.  Terlebih di Indonesia, isu macet khususnya di kota-kota besar sepertinya sulit sekali untuk ditangani dengan maksimal.

Dan yang terpenting, sumber listrik saat ini masih didominasi oleh batu bara dan minyak bumi, jika kendaraan di elektrifikasi namun sumber energi yang digunakan masih belum diperbarui, maka akan sama saja dampaknya terhadap lingkungan, bahkan bisa jadi lebih buruk karena ditambah dengan limbah baterai kendaraan.

Urutannya adalah, prioritaskan rencana pengembangan PLTS atau energi terbarukan lainnya sebagai sumber listrik utama terlebih dahulu, setelah itu lakukan elektrifikasi kendaraan masal untuk menunjang target bauran energi terbarukan di Indonesia. 

Selama Presidensi G20 Indonesia, jadikan momentum KTT G20 ini, sebagai penyalur 1000 Aspirasi Indonesia Muda yang berkomitmen untuk terus mengembangkan transisi energi di Indonesia, tentunya dengan implementasi dan aksi nyata.

Bersama-sama pulihkan keadaan dunia dari berbagai aspek, dengan slogan Recover Together Recover Stronger, sebagai penguat dan cita-cita yang benar-benar dilakukan dengan komitmen bersama dengan aksi pemulihan yang nyata, dan tidak hanya berakhir sebagai narasi semata.

Baca Juga: Sel Surya sebagai Sumber Listrik Alternatif ketika Listrik Mati

Tamara Puspita Ayu Photo Verified Writer Tamara Puspita Ayu

I write what i know & know what i write

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ananda Zaura
  • Cynthia Kirana Dewi

Berita Terkini Lainnya