Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Doolittle Raid, Aksi Heroik Balasan Pearl Harbor di PD II

potret pesawat pengebom B-26 Mitchell yang dipiloti Letkol James Doolittle sesaat menjelang take off dari kapal induk USS Hornet pada jarak 650 mil dari daratan Jepang (commons.wikimedia.org/USAF)
potret pesawat pengebom B-26 Mitchell yang dipiloti Letkol James Doolittle sesaat menjelang take off dari kapal induk USS Hornet pada jarak 650 mil dari daratan Jepang (commons.wikimedia.org/USAF)
Intinya sih...
  • Serangan pendadakan Jepang di Pearl Harbor, Hawaii pada 7 Desember 1941 memicu perang AS dan Inggris terhadap Jepang keesokan harinya.
  • Letnan Kolonel James Harold Doolittle memimpin serangan balasan pertama AS ke daratan Jepang dengan misi one-way menggunakan pesawat pengebom B-25 Mitchell.
  • Misi Doolittle Raid memberikan dampak psikologis besar bagi militer dan rakyat AS serta Jepang, meskipun secara militer hanya berdampak minor.

Pada tanggal 7 Desember 1941, Kekaisaran Jepang melakukan serangan pendadakan besar-besaran dan mematikan terhadap armada angkatan laut (AL) Amerika Serikat (AS) di Pearl Harbor, Hawaii yang akhirnya mengawali Perang Dunia (PD) II di Pasifik. Segera setelah peristiwa tersebut pihak AS dan Inggris menyatakan perang terhadap Jepang di tanggal 8 Desember 1941. Serangan armada Jepang yang dipimpin oleh Laksamana senior Chuichi Nagumo atas perintah pimpinan tertinggi armada gabungan Kekaisaran Jepang Laksamana Isoroku Yamamoto tersebut sempat meruntuhkan moral militer AS karena dampak militer besar yang ditimbulkannya. Diperkirakan belasan kapal perang tenggelam atau rusak, ratusan pesawat hancur serta ribuan pelaut dan prajurit AS tewas dalam peristiwa tersebut.

Hanya berselang sekitar 4 bulan setelah peristiwa tersebut, pada tanggal 18 April 1942, militer AS melakukan serangan balasan pertama dalam sejarah yang langsung menyasar daratan dan kepulauan Jepang. Serangan balasan tersebut merupakan sebuah aksi heroik yang out of the box karena menggunakan armada pesawat pengebom yang diluncurkan dari sebuah kapal induk. Serangan balasan tersebut dipimpin oleh seorang perwira penerbang senior bernama Letnan Kolonel James Harold Doolittle. Aksi heroik yang dikenal dalam sejarah dengan nama "Doolittle Raid" ini disebut-sebut juga sebagai salah satu momen kunci keunggulan AS dalam Perang Pasifik tersebut.

Ingin tahu lebih lanjut mengenai serangan pertama AS yang langsung menyasar daratan Jepang di era PD II ini? Simak 5 fakta menariknya berikut ini, yuk!

1. Diluncurkan dari kapal induk USS Hornet

potret kapal induk AS USS Hornet di akhir tahun 1941 (commons.wikimedia.org/U.S. Navy photo)

Doolittle Raid diluncurkan dari kapal induk (aircraft carrier) AS yang bernama USS Hornet (CV-8). Menurut laman USS Hornet, kapal induk tersebut adalah kapal AL AS ketujuh yang diberi nama Hornet, USS Hornet merupakan anggota ketiga dan terakhir dari kapal induk kelas Yorktown, bersama dengan  USS Yorktown (CV-5) dan USS Enterprise (CV-6), yang memasuki dinas operasional beberapa minggu sebelum serangan terhadap Pearl Harbor di tahun 1941. Setelah serangan Pearl Harbor, Presiden AS  Franklin D. Roosevelt mengatakan kepada petinggi militer bahwa serangan balasan terhadap Jepang harus segera dilakukan untuk meningkatkan moral militer pasukan AS yang terpuruk pasca serangan tersebut. Konsep serangan balasan muncul dari lingkungan perwira AL AS yang mengatakan bahwa pesawat pengebom bermesin ganda milik US Army Air Force secara teori dapat diluncurkan dari atas kapal induk.

Letnan Kolonel James Harold Doolittle, seorang pilot uji dan ahli penerbangan terkemuka ditunjuk untuk merencanakan serangan balasan. Doolittle mempertimbangkan sejumlah pesawat untuk melakukan misi ini namun ia akhirnya memutuskan untuk memakai pesawat pengebom berukuran medium bermesin ganda yaitu: B-25 Mitchell. Persyaratan misi ini adalah pesawat mampu menjangkau jarak 4.400 km dengan muatan 910 kg. Jangkauan B-25 Mitchell adalah sekitar 2.000-an km namun masih bisa dimodifikasi untuk membawa bahan bakar tambahan agar mencapai jangkauan yang mendekati 2 kali lipat jangkauan standarnya. Setelah sejumlah persiapan dan modifikasi akhirnya 16 unit B-25 Mitchell dimuat di USS Hornet yang segera berlayar ke lokasi misi di Samudra Pasifik. Misi membawa armada pengebom ini adalah misi pertama USS Hornet dalam PD II.

2. Merupakan "one way" mission

Misi Doolittle Raid dikenal sebagai "one way" mission karena pesawat tak bisa kembali ke pangkalan asal karena keterbatasan bahan bakar. Berbeda dengan teknologi pesawat tempur modern saat ini yang memiliki fitur pengisian bahan bakar di udara, pesawat tempur era PD II belum memiliki teknologi tersebut sehingga pesawat dibawa sedekat mungkin dengan sasaran menggunakan kapal induk. Setelah misi selesai para kru pesawat akan mendaratkan pesawatnya di wilayah China yang saat PD II menjadi musuh Jepang. Menurut CNN, Letnan Kolonel Doolittle memimpin satuan tugas untuk misi Doolittle Raid yang kekuatannya terdiri atas 16 unit pesawat pengebom B-25 Mitchell dan 80 penerbang. Setiap B-25 membawa 5 awak: pilot, kopilot, navigatorgunner dan teknisi. Untuk menghemat bahan bakar, pesawat terbang dengan kecepatan lambat pada ketinggian rendah.

Penggambaran apik misi Doolittle Raid ini digambarkan dalam 2 buah film layar lebar bergenre drama peperangan yaitu: "Pearl Harbor" karya sutradara Michael Bay yang rilis di tahun 2001 silam dan "Midway" karya sutradara Roland Emmerich yang rilis di tahun 2019 lalu. Film tersebut menggambarkan betapa menegangkannya suasana lepas landas ke-16 pesawat pengebom dari geladak kapal induk karena belum pernah dilakukan sebelumnya dan untungnya semua pesawat pengebom tersebut dapat lepas landas dengan selamat.

3. Lepas landas sebelum lokasi yang ditentukan

potret armada pesawat pengebom B-25 Mitchell di atas geladak kapal induk USS Hornet (commons.wikimedia.org/USAF)

Salah satu fakta dari misi Doolittle Raid  ini adalah misi diluncurkan sebelum mencapai lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut laman Military-History, pada pagi hari di tanggal 18 April 1942, gugus tempur kapal induk USS Hornet terlihat oleh kapal patroli Jepang Nitto Maru ketika gugus tempur kapal induk tersebut masih berada pada jarak sekitar 650 mil laut atau sekitar 1.200 km dari daratan Jepang. Kapal patroli Jepang tersebut mengirimkan peringatan serangan melalui radio ke Jepang. Kapal Jepang tersebut akhirnya ditenggelamkan oleh kapal penjelajah USS Nashville, pimpinan kapal Jepang tersebut bunuh diri dan 5 dari 11 awak kapal ditahan oleh awak kapal USS Nashville,

Agar unsur pendadakan tak hilang, Letnan Kolonel Doolittle dan pimpinan kapal induk USS Hornet memutuskan untuk meluncurkan armada pesawat pengebom B-25 Mitchell secepat mungkin. Pesawat-pesawat pengebom tersebut diluncurkan 10 jam lebih awal dari waktu yang direncanakan sebelumnya dan pada jarak yang lebih jauh sekitar 170 mil laut atau sekitar 310 km lebih jauh dari jarak peluncuran yang telah ditetapkan sebelumnya. Konsekuensi dari lepas landas prematur tersebut akan terlihat nanti di akhir misi.

4. Memberikan efek psikologis besar bagi kedua belah pihak

potret sebuah pesawat pengebom B-25 Mitchell yang take off dari geladak kapal induk USS Hornet saat misi Doolittle Raid diluncurkan (commons.wikimedia.org/U.S. Army Air Force)

Meskipun serangan balasan Doolittle Raid ini secara militer hanya berdampak minor terhadap target militer di Jepang namun serangan tersebut memberikan efek psikologis yang besar bagi kedua belah pihak baik untuk militer AS maupun militer dan rakyat Jepang. Dilansir laman Historynet, bom pertama mulai berjatuhan di Tokyo pada hari Sabtu tanggal 18 April 1942 tepat pukul 12.20 siang. Bom-bom tersebut memang tidak menimbulkan banyak kerusakan fisik namun berhasil menghancurkan mitos tentang ketangguhan militer Kekaisaran Jepang sekaligus menempatkan Tokyo dan berbagai wilayah di Jepang dalam jangkauan pesawat pengebom Sekutu. Hal tersebut meningkatkan moral militer dan rakyat AS yang terpuruk setelah serangan Pearl Harbor sekaligus obat penawar bagi sindrom kemenangan Jepang saat itu.

Untuk rakyat Jepang sendiri serangan tersebut meningkatkan keraguan mereka mengenai kemampuan para pimpinan militer mereka untuk melindungi daratan Jepang dari jangkauan pesawat pengebom AS. Kekhawatiran tersebut terbukti ketika menjelang akhir perang kekuatan superior pesawat pengebom AS tak terbendung. Salah satu contohnya adalah peristiwa pengeboman atas Tokyo yang terjadi pada tanggal 9 hingga 10 April 1945 ketika grup pesawat pengebom B-29 yang dijuluki "algojo Pasifik" melancarkan operasi pengeboman besar bertajuk "Meeting House" yang membakar Kota Tokyo secara mengerikan. Doolittle Raid juga menjadi titik awal yang mendorong para panglima militer Jepang melakukan kesalahan militer strategjs yang mengubah arah jalannya Perang Pasifik, termasuk kekalahan paling menentukan Jepang dalam Pertempuran Midway.

5. Satu pesawat mendarat di wilayah Uni Soviet setelah misi

potret B-25 Mitchell yang dipiloti Kapten York yang terpaksa mendarat di wilayah Uni Soviet setelah misi (commons.wikimedia.org/United States Army Air Force)
potret B-25 Mitchell yang dipiloti Kapten York yang terpaksa mendarat di wilayah Uni Soviet setelah misi (commons.wikimedia.org/United States Army Air Force)

Laman Air and Space Forces melansir, setelah melakukan misi pengeboman di atas daratan Jepang, ke-16 pesawat pengebom B-25 Mitchell berhasil meninggalkan wilayah udara Jepang tetapi konsekuensi dari lepas landas prematur di awal misi mulai menimpa mereka. Disebabkan jarak terbang yang lebih jauh, B-25 akan kehabisan bahan bakar 200 mil (sekitar 300 km) sebelum mencapai wilayah pantai China jika tidak ada angin kencang yang mendorong mereka selama 7 jam dan memberi mereka jarak tempuh tambahan sekitar 250 mil. Meski begitu, 15 pesawat pengebom tersebut akhirnya jatuh atau crash landed di wilayah China atau di sekitar pantainya.

Hanya terdapat 1 pesawat yang tidak mencapai wilayah China dan mendarat darurat di wilayah Uni Soviet yaitu pesawat no. 8 yang mendarat darurat di ladang dekat Vladivostok. Pesawat yang dipiloti oleh Kapten Edward J. York tersebut mengalami masalah mesin dan kehilangan banyak bahan bakar. Uni Soviet menyita pesawat tersebut dan menahan awaknya karena Uni Soviet tidak sedang berperang dengan Jepang, namun dalam kurun waktu 1 tahun, para awaknya diam-diam diizinkan meninggalkan Uni Soviet dengan kedok pelarian dan kembali ke unit Amerika melalui Iran dan Afrika Utara yang diduduki Sekutu saat itu. Dari 80 awak pesawat yang terlibat dalam serangan, 3 orang tewas dalam misi, 8 orang ditangkap dan 3 orang dieksekusi Jepang dalam tawanan.

Aksi heroik Doolittle Raid terus bergema sebagai bagian sejarah militer AS. Peristiwa tersebut menjadi inspirasi untuk sebuah nama yang diberikan kepada pesawat pengebom siluman terbaru dan tercanggih yang akan segera dimiliki oleh AU AS: B-21 Raider. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan kamu mengenai salah satu episode paling menarik dari Perang Dunia II di palagan Pasifik, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dodi Wijoseno
EditorDodi Wijoseno
Follow Us