Mengenal De-Extinction, Menghidupkan Kembali Spesies yang Sudah Punah

apakah dengan cara ini kita seolah-olah menjadi tuhan?

Selama beberapa dekade terakhir, kita telah menyaksikan peningkatan signifikan dalam tingkat kepunahan yang diakibatkan oleh krisis lingkungan yang menghadirkan ancaman serius terhadap keseimbangan alam. Namun, sebagai respons terhadap tantangan ini, manusia telah aktif terlibat dalam berbagai upaya, salah satunya melalui pengembangan teknologi rekayasa bioteknologi yang dikenal sebagai de-extinction. Tujuan utama de-extinction adalah untuk menghidupkan kembali hewan yang telah punah. De-extinction dapat membantu memulihkan ekosistem yang telah rusak dan meningkatkan keanekaragaman hayati.

De-extinction diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan alam, seperti meningkatkan keanekaragaman hayati dan meningkatkan kesadaran akan krisis lingkungan. Artinya, upaya ini bukan hanya langkah teknologis, tetapi juga langkah etis dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian ekosistem kita. Tanpa berlama-lama lagi, mari kita telusuri lebih dalam mengenai bagaimana perpaduan antara teknologi dan tanggung jawab lingkungan dapat membuka jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, sehingga kita dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melindungi lingkungan kita.

1. Apa itu de-extinction?

Mengenal De-Extinction, Menghidupkan Kembali Spesies yang Sudah Punahilustrasi de-extinction (reviverestore.org)

De-extinction adalah proses menghidupkan kembali hewan yang telah punah. Upaya ini dulunya dianggap sebagai ide yang fantastis, tetapi dengan kemajuan dalam pembiakan selektif, genetika, dan teknologi kloning reproduksi, peluang untuk menghidupkan kembali spesies telah menjadi lebih besar. Teknik transfer nuklir sel somatik (SCNT) yang dikembangkan pada tahun 1990-an merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan de-extinction. Teknik transfer nuklir sel somatik (SCNT) yang dikembangkan pada tahun 1990-an merupakan salah satu kemajuan penting dalam perkembangan teknologi de-extinction. Teknik ini digunakan untuk menghasilkan Dolly si domba, yang merupakan mamalia pertama yang dikloning dari sel dewasa. Dolly lahir pada tahun 1996 dan hidup selama 6,5 tahun

Pada tahun 2009, menggunakan metode SCNT, para ilmuwan hampir berhasil menghidupkan kembali spesies yang telah punah untuk pertama kalinya. Mereka mencoba membawa kembali ibex Pyrenean (atau bucardo, Capra pyrenaica pyrenaica) yang telah punah, serta beberapa spesies lain, seperti mammoth Siberia dan kuda nil berbulu. Meskipun seorang klon berhasil dihasilkan dari jaringan yang diawetkan, sayangnya, ia meninggal karena cacat paru-paru yang parah hanya beberapa menit setelah dilahirkan. Keberhasilan yang hampir tercapai dari upaya tersebut memicu perdebatan tentang etis atau tidaknya de-extinction, efektivitasnya dalam memulihkan ekosistem, dan kemungkinan dampak negatif yang tidak terduga. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa de-extinction adalah hal yang etis karena dapat membantu memulihkan ekosistem yang telah rusak. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa de-extinction adalah hal yang tidak etis karena dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak terduga, seperti persaingan dengan spesies lain atau penyebaran penyakit.

2. Bagaimana cara kerja dari de-extinction?

Mengenal De-Extinction, Menghidupkan Kembali Spesies yang Sudah Punahcara kerja de-extinction (besjournals.onlinelibrary.wiley.com)

Kunci untuk menghidupkan kembali spesies adalah DNA-nya. Sayangnya, DNA cenderung mengalami degradasi seiring waktu, dan ketika hilang secara keseluruhan, sulit untuk memulihkannya. Para peneliti memperkirakan bahwa DNA akan terdegradasi hingga 50% dalam waktu sekitar 6,8 juta tahun. Oleh karena itu, setelah melewati rentang waktu sekitar 6,8 juta tahun, diyakini bahwa DNA tersebut akan hilang seluruhnya. Inilah mengapa spesies seperti dinosaurus hampir tidak memiliki peluang untuk dihidupkan kembali secara sempurna.

Dodo, yang punah sekitar 400 tahun yang lalu, memiliki peluang lebih besar untuk dihidupkan kembali daripada spesies lain yang telah punah secara sempurna. Hal ini karena DNA-nya masih relatif utuh dan tidak memiliki kerabat dekat yang masih hidup. Karena masa degradasi DNA yang lebih singkat, peluang untuk melestarikan DNA dari spesies yang belum lama punah masih terbuka lebar. Hal ini menawarkan peluang menarik untuk menggali kembali informasi genetik yang berharga dan mempertimbangkan upaya konservasi yang lebih lanjut.

Dalam hal menghilangkan kepunahan, ada tiga teknik utama yang telah dikembangkan:

  1. Kloning:
    Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat salinan DNA yang tepat dari sesuatu.
    Namun, genom yang lengkap diperlukan untuk hal ini, sehingga bentuk penyelamatan genetik ini paling efektif pada spesies yang baru hilang atau spesies yang hampir punah.
  2. Pengeditan Genom:
    Pengeditan genom adalah manipulasi DNA untuk meniru DNA yang punah. Ada beberapa cara untuk melakukan hal ini, namun secara umum, prosesnya melibatkan peneliti memanipulasi genom spesies hidup untuk membuat spesies baru yang mirip dengan spesies punah. Karena DNA tersebut bukan merupakan salinan persis dari DNA spesies yang telah punah, metode ini akan menghasilkan spesies hibrida yang hanya menyerupai hewan yang telah punah.
  3. Pembiakan Kembali:
    Suatu bentuk perkembangbiakan di mana ciri pembeda dari spesies punah (seperti tanduk atau pola warna) dikembangbiakkan kembali ke dalam populasi hidup.
    Hal ini mengharuskan sifat tersebut tetap ada dalam frekuensi tertentu pada spesies serupa, dan sifat tersebut secara selektif dikembangbiakkan kembali hingga menjadi populer. Seperti penyuntingan genom, metode ini tidak menghidupkan kembali spesies yang punah, namun menghidupkan kembali DNA dan keragaman genetik yang memberikan ciri khas pada spesies yang punah.

3. Manfaat de-extinction

Mengenal De-Extinction, Menghidupkan Kembali Spesies yang Sudah Punahilustrasi mammoth yang berhasil dihidupkan kembali (atmos.earth)

Menghidupkan kembali hewan yang telah punah dapat memberikan manfaat penelitian yang besar. Ilmuwan percaya bahwa mempelajari hewan yang telah punah dapat membantu kita memahami lebih baik tentang evolusi dan fungsi ekosistem. Penelitian tentang hewan yang telah lama punah dapat memberikan wawasan baru yang berharga tentang evolusi. Selain itu, upaya mengembalikan spesies yang punah dapat memiliki dampak positif terhadap lingkungan. Ketika suatu hewan punah, absennya dalam ekosistem dapat menyebabkan ketidakseimbangan flora dan fauna dalam jaring makanan yang terlibat. Oleh karena itu, dengan mengembalikan spesies yang telah punah ke dalam lingkungan mereka yang semula, kita dapat membantu memulihkan dan menyeimbangkan ekosistem yang mungkin telah rusak.

Tak hanya itu, ada potensi bahwa de-extinction dapat berkontribusi dalam upaya memperlambat perubahan iklim. Menurut ilmuwan Sergey Zimov, reintroduksi hewan seperti mamut berbulu ke wilayah tundra dapat membantu memulihkan dataran kuno, yang mungkin berdampak pada pencairan lapisan es, dan secara keseluruhan dapat memberikan efek positif terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, upaya de-extinction tidak hanya melibatkan kembali spesies yang punah, tetapi juga memiliki dampak potensial yang luas terhadap ekologi global dan perlindungan lingkungan.

4. Apakah mengembalikan spesies hewan yang telah punah benar-benar dibutuhkan?

Mengenal De-Extinction, Menghidupkan Kembali Spesies yang Sudah Punahhewan-hewan yang sudah punah (publicdomainreview.org)

Meskipun ada banyak spekulasi dan potensi seputar gagasan de-extinction, beberapa kritikus berpendapat bahwa sumber daya kita dapat digunakan dengan lebih efisien untuk tujuan-tujuan lain. Penelitian tentang ekonomi de-extinction menunjukkan bahwa dana yang diinvestasikan dalam program konservasi spesies hidup dapat memberikan dampak yang lebih besar, yaitu sekitar dua hingga delapan kali lipat lebih banyak spesies dapat diselamatkan, dibandingkan dengan mengalokasikan dana untuk proyek de-extinction

Penting untuk mempertimbangkan berbagai pendekatan dan prioritas dalam upaya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Meskipun potensi ilmiah dan teknologi de-extinction menarik, keputusan tentang alokasi sumber daya harus dipandu oleh pertimbangan etika, keberlanjutan ekosistem, dan efisiensi dalam mencapai tujuan konservasi. Sebuah dialog yang mendalam dan inklusif tentang cara terbaik untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati kita menjadi kunci untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil dapat memberikan dampak positif yang maksimal bagi lingkungan dan masyarakat.

Dalam sebuah artikel di Science, Joseph Bennett, ahli biologi di Universitas Carleton di Ottawa, mengatakan

“jika [seorang] miliarder hanya tertarik untuk menghidupkan kembali suatu spesies dari kematian, maka kekuasaan ada di tangannya.” ujar Bennet

“namun, jika miliarder tersebut menyatakan bahwa hal tersebut adalah konservasi keanekaragaman hayati, maka hal tersebut tidak jujur. Saat ini ada banyak spesies di ambang kepunahan yang dapat diselamatkan dengan sumber daya yang sama.” kata Bennet menambahkan

5. Apakah teknologi ini membuat kita pura-pura menjadi Tuhan?

Mengenal De-Extinction, Menghidupkan Kembali Spesies yang Sudah Punahilustrasi manusia yang memegang kepala mammoth (nbcnews.com)

Pertanyaan apakah de-extinction membuat kita pura-pura menjadi Tuhan merupakan suatu perdebatan etis yang kompleks. Beberapa orang berpendapat bahwa upaya menghidupkan kembali spesies yang telah punah menunjukkan tingkat kontrol manusia yang tinggi terhadap alam dan kehidupan. Namun, pendapat ini dapat berbeda-beda tergantung pada sudut pandang kita masing-masing. Ada yang berpendapat bahwa keputusan untuk menghidupkan kembali spesies yang telah punah merupakan bentuk intervensi manusia yang tidak alami, seperti halnya ketika manusia memperkenalkan spesies invasif ke ekosistem baru. Menempatkan diri sebagai penentu hidup dan matinya suatu spesies dapat dianggap sebagai upaya untuk memainkan peran yang seharusnya hanya dimiliki oleh kekuatan alam, atau dengan kata lain, "bermain Tuhan". Di sisi lain, beberapa orang berpendapat bahwa teknologi de-extinction adalah respons etis terhadap kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Melibatkan diri dalam upaya de-extinction dianggap sebagai cara untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan menjaga keanekaragaman hayati.

Pada akhirnya, meskipun kepunahan menimbulkan tantangan dan kerugian bagi keanekaragaman hayati, tidak dapat disangkal bahwa hal ini juga telah menjadi pendorong penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Khususnya, dalam bidang biologi perkembangan dan genetika, kepunahan telah memberikan wawasan yang berharga. Tak hanya itu, dampak kepunahan telah menghidupkan kembali minat terhadap spesies yang terancam punah. Teknologi de-extinction yang awalnya dikembangkan untuk mengatasi kehancuran spesies yang telah punah, kini juga dapat digunakan sebagai sarana konservasi. Misalnya rekonstruksi gen yang telah punah dapat menjadi kunci untuk memulihkan keragaman genetik pada spesies atau subspesies yang menghadapi ancaman kepunahan.

Dengan demikian, sambil kita merenungkan konsekuensi kepunahan, kita juga membuka pintu untuk pengembangan solusi inovatif yang dapat memberikan dampak positif pada pelestarian kehidupan di Bumi. 

Baca Juga: 8 Spesies Ubur-ubur dengan Jumlah Tentakel Paling Sedikit di Dunia

Achmat Amar Fatoni Photo Verified Writer Achmat Amar Fatoni

seorang berusia 20 tahun yang suka menulis terutama tema sains. Saya mencoba menuangkan hobi menulis dan ketertarikan terhadap sains di platform ini. Semoga kamu suka artikel buatanku. Enjoy :)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ane Hukrisna

Berita Terkini Lainnya