'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan Psikologis

Dituntut menjadi kuat, tidak semua lelaki sekuat itu...

"Aku bukanlah Superman. Aku masih bisa nangis!"

Itulah kata Al, El, dan Dul 11 tahun lalu lewat lagu "Superman". Terdengar lucu, apalagi waktu itu mereka masih imut-imut! Namun, sekarang, jika mendengarnya, liriknya terasa... berbeda dan relatable.

Laki-laki identik dengan konsep maskulinitas dan kekuatan, tidak menyisakan ruang untuk kelemahan dan air mata. Padahal, di setiap sanubari terdalam kaum Adam, terdapat kelemahan tersendiri yang mereka tutupi dan tidak berani umbar demi mencapai konsep "lelaki sejati". Apakah laki-laki sejati memang dituntut jadi seorang Superman?

https://www.youtube.com/embed/0pX4W-Rj8BA

1. Mengetahui masalah adalah kunci untuk menyelesaikannya

'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan PsikologisIlustrasi Bunuh Diri (IDN Times/Arief Rahmat)

AKUILAH! Pria tidak terlahir dengan hati baja. Pria pun juga memiliki sisi rapuhnya sendiri yang ia tutupi demi mendapat pengakuan dari sekitarnya. Hal tersebut berakibat fatal bagi beberapa orang di penjuru dunia.

Pada 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan bahwa di negara-negara maju, jumlah kaum Adam yang meninggal karena bunuh diri tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan kaum Hawa. WHO juga menyatakan bunuh diri sebagai "pembunuh" tertinggi kedua pada kaum pria dewasa muda di negara berkembang.

Dengan statistik setinggi itu, seharusnya lumrah bagi pria untuk mencari pertolongan psikologis, kan? Salah! Dilansir dari National Institute of Mental Health (NIMH), pria dengan gangguan psikologis justru memiliki kemungkinan kecil mendapatkan pertolongan psikologis dibandingkan wanita. Mengapa demikian?

2. "Cowok kok cengeng?", stigma maskulinitas yang mencekik kaum Adam di seluruh dunia

'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan Psikologisunsplash.com/tompumford

WHO melanjutkan penemuannya dengan mengatakan bahwa "stigma budaya" yang beredar di dunia terhadap pria membuat mereka merasa malu untuk meminta pertolongan psikologis.

"Laki-laki enggak boleh nangis"? "Pria harus kuat menghadapi segala hal"? Stigmatisasi itulah yang menjadi penghalang para pria untuk bebas dari beban psikologis mereka.

Menurut sebuah penelitian gabungan di Kanada pada 2016 berjudul "Stigma in Male Depression and Suicide: A Canadian Sex Comparison Study", dari 541 responden yang tidak memiliki gangguan psikologis, mayoritas pria mengatakan bahwa gangguan psikologis adalah "tanda kelemahan, kejahatan, hingga kecacatan rohani".

Lebih mengerikannya lagi, dari 360 responden pria dan wanita dengan gangguan psikologis, mayoritas pria merasa malu untuk berkonsultasi mengenai masalah mereka.

Baca Juga: 8 Efek Psikologis yang Kamu Rasakan Sehari-hari tapi Tak Kamu Sadari

3. Kaum komunitas orang "kulit berwarna" memiliki beban yang lebih berat

'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan Psikologispinterest.com

Apa lagi yang bisa memberatkan gangguan psikologis selain tekanan rasisme dari lingkungan sekitar.

Dilansir dari Dr. Octavio Martinez Jr., Direktur Eksekutif Hogg Foundation for Mental Health, mengatakan bahwa efek rasisme dan tekanan lingkungan terhadap gangguan psikologis adalah ibarat "sudah jatuh, tertimpa tangga pula".

"Ditambah lagi stigmatisasi saat pria mencari bantuan psikologis dari semua ras dengan tekanan yang dihadapi oleh pria dan anak laki-laki kulit berwarna. Tidak heran pria dan anak laki-laki kulit berwarna memiliki risiko lebih tinggi terhadap masalah isolasi dan gangguan mental," papar dr. Martinez.

4. Kaum Adam memiliki potensi gejala gangguan psikologis yang "sedikit" berbeda

'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan PsikologisPixabay/geralt

Selain rasisme dan stigmatisasi, ternyata letak permasalahannya juga ada pada sisi pria. Seperti yang ditekankan pada poin sebelumnya, dikarenakan ingin mencapai konsep maskulinitas, maka pria harus terlihat kuat dan tangguh meskipun menanggung depresi dan gangguan psikologis lainnya.

Hal tersebut juga dikarenakan pandangan yang bertolak belakang pada pria dan wanita. NIMH memberi contoh, pria menutupi depresinya dengan bersikap defensif dan agresif, sementara wanita lebih bisa mengutarakan depresinya dalam bentuk air mata.

Selain itu, pria juga lebih khawatir pada gejala fisik dari gangguan psikologis seperti pusing, mual, jantung berdebar, dan gejala lainnya. Dengan kata lain, mereka lebih memilih menyelesaikan gejala fisik, bukan mental. Jadi, dengan cara apakah kaum Adam dapat lebih terbuka mengenai kondisi psikologisnya? 

5. Putus mata rantai, edukasi psikologis yang lebih baik

'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan PsikologisPsikiater mendengarkan keluhan pasien COVID-19 yang dikarantina di Rusunawa IAIN Tulungagung, Dok, Tagana Tulungagung

Hal yang disarankan utama untuk menanggulangi bungkamnya kaum Adam soal gangguan psikologis adalah dengan menyuluhkan edukasi psikologis lebih lagi.

Menurut sebuah penelitian di Kanada pada 2016 berjudul "Men’s mental health", merobohkan stigmatisasi bantuan psikologis untuk pria sebagai sebuah "kelemahan" dan mengubah cara pikir mereka terhadap depresi serta gangguan psikologis lainnya adalah jalan satu-satunya. Caranya adalah dengan kampanye nasional edukasi psikologis yang lebih baik, terutama untuk pria.

Langkah selanjutnya adalah "mengubah lanskap" perawatan kesehatan mental dengan menawarkan program berbasis komunitas (seperti di tempat ibadah) yang membantu melawan faktor penyebab gangguan mental.

Dr. Martinez setuju program berbasis komunitas amat membantu menjangkau kaum etnis minoritas pria dewasa yang juga mengalami gangguan psikologis. Dengan program tersebut, pria etnis minoritas dengan gangguan psikologis dapat terjangkau hingga ke ranah pribadi tanpa merasa malu.

"Stigma memudar ketika pria dan anak laki-laki melihat ketahanan dan kesehatan mental yang ditunjukkan oleh ayah, saudara lelaki, guru, pemimpin agama, dan teman-teman sebaya. Oleh karena itu, carilah cara untuk menghubungkan kesehatan mental individu dengan tradisi populer mengenai bimbingan, kebanggaan terhadap budaya sendiri, emansipasi diri, dan aksi komunitas di antara para pria,” tandas dr. Martinez.

'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan Psikologisreddit.com

Gangguan psikologis pada pria tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Terlihat dari statistik WHO, dikarenakan stigmatisasi dan diskriminasi ras (pada sebagian orang), para pria menjadi malu dan takut untuk mencari pertolongan. Hal tersebut berakibat fatal!

Mengakui beban psikologis dan mencari pertolongan bukanlah kelemahan! Itulah yang seharusnya ditanamkan pada benak setiap orang.

Pria juga manusia biasa dengan kapasitas yang terbatas, bisa nangis dan rapuh di saat-saat tertentu. Lumrah, kok, untuk meminta pertolongan untuk kedamaian dirimu. Laki-laki juga manusia!

Jika itu adalah kamu, jangan malu untuk mencari pertolongan. Semangat, kamu pasti bisa bangkit dari kondisimu!

Baca Juga: Jangan Takut, Ini 7 Fakta dan Solusi Trauma Psikologis

Topik:

  • Bayu D. Wicaksono

Berita Terkini Lainnya