TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dataran Tinggi Dieng: Hidup di Atas Sistem Gunung Berapi

Dulunya malah gunung kuno yang punya kekuatan ledakan besar

pemandangan kehidupan Dieng (IDN TImes/Abraham Herdyanto)

Dataran tinggi Dieng adalah objek wisata yang menarik hati. Ada banyak candi serta tempat asyik untuk dikunjungi demi refreshing. Mulai dari pemandian air panas, savana, sampai menuju gunung Prau.

Akan tetapi, tahukah kamu kalau dataran tinggi Dieng yang berada di 2.000 mdpl ini dulunya merupakan gunung besar yang bahkan lebih tinggi dari Gunung Sindoro? Berikut ini beberapa faktanya.

1. Gunung Dieng merupakan gunung kuno yang sudah pasif

Pemandangan gunung yang bisa dilihat saat menuju ke Dieng. (IDN Times/Abraham Herdyanto)

Kalau kamu pernah berkunjung ke Dieng, kemungkinan besar kamu pernah mengunjungi kawah-kawah yang ada di sana. Mulai dari Kawah Sileri sampai Kawah Sikidang. Keberadaan kawah-kawah ini menunjukkan bahwa Dieng berada di area gunung berapi. Belum lagi masih ada aktivitas letusan di sana.

Aziz Yuliawan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dieng menjelaskan walaupun ada aktivitas gunung berapi tersebut, tidak berarti Dieng berada di kawasan gunung berapi aktif. Situasi ini bisa dilihat dari letusannya yang tak lagi berupa lava, melainkan gas.

“Gunung Dieng masuk dalam kategori gunung tua. Itu menjadikan tekanan magma di sini sudah lemah. Ia tidak ada potensi meletus seperti Gunung Merapi atau Gunung Kelud yang meletus di 2014,” terang Aziz menjelaskan aktivitas gunung berapi di dataran tersebut.

Diperkirakan pada zaman dulu, Gunung Dieng jauh lebih tinggi dan punya ledakan yang mengerikan. Jika dibandingkan dengan letusan Gunung Merapi pada 2004, yang memiliki volcanic explosion index (VE) di angka empat, kekuatan gunung Dieng jauh lebih kuat. Hal tersebut diperkirakan dengan ditemukannya spesimen batuan vulkanis milik gunung itu yang ditemukan di Semarang.

“Kalau melihat diameter bukit yang mengeliling Dieng, kamu bisa membayangkan sendiri betapa tinggi dan kuat Gunung Dieng ini. Bahkan tingginya bisa melebihi Gunung Sindoro,” terang pengawas aktivitas vulkanik Dieng tersebut.

2. Terdapat monumen bencana alam di sana

Monumen bencana alam yang terletak di Dieng. (IDN Times/Abraham Herdyanto)

Dalam artikel situs magma.esdm.go.id, Gunung Dieng masuk dalam kategori gunung api tipe A, yaitu gunung api yang punya catatan sejarah letusan sejak 1600. Tidak ada sejarah yang detail terkait hal ini, namun terdapat monumen bencana alam di sana yang memberikan catatan aktivitas letusan pada abad ke-19.

Pada monumen bencana tersebut, terdapat catatan mengenai tahun terjadinya bencana, lokasi, bentuk dari bencana tersebut, hingga jumlah korban. Berdasarkan catatan jumlah korban tewas di monumen itu, bencana paling mematikan terjadi pada 1954 di Kawah Sileri yang sampai menewaskan 450 jiwa. Hal itu disebabkan adanya longsor yang membumiratakan satu desa.

“Yang paling lama catatan bencana di monumen ini adalah 1776. Catatan itu diambil dari dokumen lama Belanda, membuktikan bahwa di masa lalu Dieng pernah meletus hebat,” ujar Dhimas Ferdhiyanto, guide dari Dieng Travel yang menemani saat menjelajahi Dieng.

Baca Juga: 11 Orang Pertama yang Sukses Mendaki Puncak Gunung Tertinggi

3. Mengenang kembali tragedi Kawah Sinila

Beberapa kawasan di Dieng yang dilarang untuk disinggahi. (IDN Times/Abraham Herdyanto)

Dari seluruh bencana yang tercatat, satu tragedi yang paling dikenang penduduk setempat adalah tragedi Kawah Sinila. Bencana alam yang terjadi pada 1979 ini menewaskan 149 orang. Bukan karena gempa, bukan karena longsor, bukan pula karena letusan lava, melainkan karena tercekik gas beracun.

Dikisahkan penduduk desa Kepucukan merasakan gempa bumi akibat letusan gunung Sinila hingga membuat mereka segera melakukan evakuasi ke arah timur yang morfologi permukaannya lebih tinggi. Saat melakukan perjalanan evakuasi, penduduk desa terjebak akibat terputusnya jembatan di sana akibat lahar Sinila yang mengalir.

Penduduk desa Kepucukan pun kembali ke desanya untuk berkumpul sementara dan terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok berisi 147 warga memilih mengungsi ke arah selatan yang merupakan pusat keramaian. Mereka tidak tahu bahwa di area tersebut terdapat lembah yang dapat menjebak gas beracun dan mengumpulkannya.

Saat tiba di lembah tersebut, para warga mulai tercekik akibat gas beracun tersebut dan tak sadarkan diri. Dua warga Batur yang bersedia menjadi relawan mencoba membantu dan menyelamatkan warga tersebut. Akan tetapi kedua orang itu juga terjebak dan meninggal di sana. Total korban tragedi Kawah Sinila menjadi 149 orang.

4. Tak adanya edukasi vulkanologi pada saat itu yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa saat bencana alam

Pemandangan dari atas Kawah Sikidang (IDN Times/Abraham Herdyanto)

Menurut pengamatan Aziz, tragedi ini terjadi akibat belum adanya edukasi akan bahaya letusan gunung berapi saat itu.

Sebelum tragedi Kawah Sinila, kejadian terakhir terjadi pada 1928. Jauh waktunya dari kemunculan penduduk Kepucukan.”

Aziz menjelaskan lebih lanjut bagaimana kemunculan gas beracun itu. Berdasarkan informasi Aziz, letusan gas keluar dari celah-celah yang ada di permukaan tanah. Saat mengalami tekanan dan panas yang tinggi, gas tersebut akan mencari celah untuk keluar. Hal ini yang menyebabkan keluarnya gas beracun.

Untuk sekarang, kita bisa mengetahui titik-titik mana saja yang celah permukaannya lemah dan kawah-kawah itu salah satunya.

Kondisi Dieng saat berkabut di petang hari (IDN Times/Abraham Herdyanto)

Seperti air, gas mengalir dari atas ke bawah. Saat berada di ketinggian, gas-gas beracun itu tentu akan menuruni lereng bukit. Dalam kasus tragedi Kawah Sinila, lembah menjebak dan mengumpulkan gas tersebut. Belum lagi tak ada sinar matahari yang sebenarnya mampu membuaikan dan menetralkan gas beracun tersebut.

Inilah alasan mengapa Dieng tak memiliki wisata malam. Tujuannya tak lain untuk menghindari jatuhnya korban jiwa akibat keracunan gas. “Sangat susah membedakan mana yang kabut, mana yang gas beracun. Secara warna pun tak ada perbedaan,” ujar anggota BMKG tersebut.

5. Masyarakat Dieng hidup di atas dua sistem gunung berapi

Diorama dataran tinggi Dieng yang menunjukkan sistem gunung berapi di sana. (IDN Times/Abraham Herdyanto)

Permasalahan bencana alam yang dialami penduduk Dieng bukanlah tanpa sebab. Tidak seperti penduduk gunung lainnya yang tinggal di lereng gunung, Aziz menjelaskan bahwa tempat tinggal penduduk Dieng berada di atas sistem gunung berapi. Itu yang menjadikan mengapa Dieng cukup sering mendapatkan letusan gas.

Sistem gunung berapi yang ditinggali warga Dieng tak hanya satu, melainkan dua sistem. Satu sistem datang dari Gunung Butak Butaran dan satu lagi dari Gunung Dieng. “Ini yang menjadikan beberapa titik di Dieng ada yang banyak mengalami letusan, sedangkan di titik lainnya tidak. Kalau dilihat, area baratlah yang lebih banyak mengalami letusan.”

Permasalahan letusan ini disebabkan oleh tidak stabilnya geotermal pada sistem gunung berapi. Untuk kasus Dieng, ada banyak faktor yang mempengaruhi. Mulai dari aktivitas tektonik (guncangan gempa yang besar), longsor (pernah terjadi pada 2009 di kawasan Sikidang dan Patak Banteng), serta aktivitas manusia (debris pembentukan kebun masuk ke kawah).

Baca Juga: 4 Gunung di Indonesia yang Letusannya Berdampak ke Seluruh Dunia 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya