TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengapa Seseorang Bisa Suka Dark Joke? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Sering dianggap tidak manusiawi...

giphy.com

Dark joke sendiri dalam artian sederhananya adalah humor atau guyonan yang didasarkan dari hal-hal tabu, nyeleneh dan kebanyakan lahir dari hal-hal negatif yang terjadi masyarakat yang di dalamnya ada unsur sarkas dan satirnya.

Dari "To be continued" hingga yang tren terbaru, "pembawa peti mati asal Ghana", dunia memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan humor di balik kedukaan atau topik tabu. Itulah asal mula "dark joke" yang juga disebut "black humor".

Apalagi, di saat dunia tengah menghadapi pandemi penyakit virus corona baru (COVID-19) yang menewaskan banyak nyawa, beberapa orang tidak ragu untuk mengeluarkan dark joke mengenai hal tersebut di media sosial.

"Iya, apakah mereka tidak punya hati nurani? Itu kan hal yang jahat!"

Tunggu dulu! Inilah sebabnya ada penelitian psikologis soal itu. Apa yang dapat membuat seseorang mengeluarkan lelucon yang sering kali dilabel "gelap"? Yang tidak kalah penting juga, kenapa beberapa orang bisa menganggap lelucon tersebut lucu?

Yuk, simak fakta ilmiahnya!

1. IQ yang tinggi dibutuhkan untuk membuat dan mengerti dark joke

giphy.com

Alasan pertama yang mencengangkan adalah, dibutuhkan IQ yang tinggi untuk membuat dan melihat aspek komedi dalam kejadian duka. Kalau perlu, hal tersebut bisa dijadikan salah satu tolok ukur di balik kepandaian seseorang.

Salah satu penelitian oleh Medical University of Vienna pada 2017 yang dimuat dalam jurnal Cognitive Processing, berjudul "Cognitive and emotional demands of black humour processing: the role of intelligence, aggressiveness and mood", menguji IQ (verbal dan non-verbal) dan sensasi agresi yang membuat seseorang toleran dengan dark joke.

Dalam penelitian tersebut, penulis utamanya, Ulrike Willinger, melakukan survei terhadap 156 orang dan melihat reaksi mereka terhadap candaan gelap yang terdapat dalam komik karya komikus Jerman Uli Stein berjudul "The Black Book".

Para responden yang memahami dark joke pada komik tersebut diketahui memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Oleh karena itu, para peneliti berpendapat bahwa dibutuhkan IQ tinggi untuk mencerna kelucuan di balik dark joke.

2. Bukan cuma IQ, tetapi EQ yang tinggi!

kickstarter.com

Selain IQ, Willinger menunjukkan bahwa memahami dark joke adalah "tugas pemrosesan informasi yang kompleks" di mana EQ (emotional quotient) tinggi juga dibutuhkan. Suasana hati yang negatif dan tingkat agresi yang tinggi dapat mengaburkan kemampuan seseorang untuk mendapatkan lelucon.

Contohnya, jika seseorang baru mengalami musibah dan suasana hatinya sedang muram, saat ditunjukkan dark joke, mereka malah tersinggung dan menganggap yang melontarkannya sebagai pribadi yang tidak sensitif.

Keadaan hati seseorang dan tingkat agresi yang ditunjukkan adalah tolok ukur bagaimana seseorang dapat menerima dark joke. Mereka yang memiliki mood jelek dan agresi tinggi memiliki tingkat apresiasi rendah terhadap dark joke.

"Mengerti dark joke sama dengan menganggap sebuah konten tabu sebagai fiksi jenaka. Agresivitas dan mood seseorang jelas mengurangi tingkat apresiasi seseorang terhadap lelucon gelap tersebut," sebut Willinger dan para peneliti.

Bedakan reaksi orang yang sedang ceria dengan mereka yang mengidap depresi atau memiliki manajemen emosi yang kurang bagus. Keadaan hati pihak-pihak kedua membuat mereka tidak "ngeh" dengan kelucuan dark joke.

Para peneliti menutup penelitian tersebut dengan kesimpulan bahwa kemampuan memahami dark joke menunjukkan ketajaman IQ dan kesehatan emosi seseorang.

Baca Juga: 7 Penjelasan Ilmiah tentang Selingkuh, Kenapa Orang Bisa Melakukannya

3. Mengapa seseorang mengeluarkan dark joke?

giphy.com

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa mereka mengeluarkan lelucon yang terkesan jahat seperti itu?

Pendapat orang mengenai dark joke pun terbagi-bagi. Beberapa orang percaya bahwa humor ofensif seperti dapat membantu meruntuhkan penghalang dan menantang prasangka. Yang lain merasa itu mengerikan.

Namun, bagi beberapa peneliti, mereka menemukan beberapa orang mengeluarkan dark joke... ya, hanya sebagai sebuah lelucon. Bukan untuk menyinggung pihak manapun. 

4. Efek negatif dark joke pada khalayak luas

tenor.com

Akan tetapi, beberapa peneliti tidak menyarankan dark joke sebagai sarana untuk memecahkan keheningan atau sebagai topik obrolan. Selain mengungkit prasangka yang telah ada, lelucon yang bersifat ofensif dapat membuat lawan bicara salah paham.

Menurut sebuah penelitian pada 2015 dari Western California University, AS, berjudul "Disparagement humor and prejudice: Contemporary theory and research", alih-alih bertindak sebagai inisiator prasangka, dark joke dapat mengungkit prasangka tabu yang sudah ada dan dihindari untuk dibicarakan.

Selain itu, dark joke dapat membuat seseorang khawatir dan kehilangan gambar dirinya. Pada sebuah penelitian gabungan oleh para peneliti di AS berjudul "Sexist humor as a trigger of state self-objectification in women", para wanita mengaku lelucon yang berbau seksis membuat mereka khawatir akan gambar diri mereka dan dianggap sebagai objek.

Kedua penelitian tersebut mengungkapkan bahwa meskipun hanya disampaikan sebagai sebuah lelucon, dark joke dapat memengaruhi lawan bicaranya secara interpersonal.

5. Efek positif dark joke pada khalayak luas

tenor.com

Di sisi lain, menyampaikan dark joke memiliki manfaat tersendiri. Percaya atau tidak percaya, dark joke dapat digunakan untuk menanggulangi rasisme dan stereotip terhadap etnis minoritas, lho! Para peneliti Inggris setuju.

Tanpa sadar, para komedian menggunakannya juga, lho! Dalam penelitian berjudul "The ‘Other’ Laughs Back: Humour and Resistance in Anti-racist Comedy" oleh Loughborough University, para komedian kulit hitam di Inggris kerap menggunakan candaan yang mengungkit etnis dan warna kulitnya agar menanggulangi rasisme dalam masyarakat.

Selain itu, komedian difabel kerap menggunakan lelucon dengan psikologi terbalik untuk menanggulangi stereotip terhadap kaum difabel. Pada 2015, peneliti dari Brunel University London dalam risetnya berjudul "From comedy targets to comedy-makers: disability and comedy in live performance" membuktikan hal tersebut.

"Meskipun bukan proses yang mudah, komedi stand-up oleh komedian difabel berpotensi menjadi media kuat untuk menentang norma-norma hegemonik seputar disabilitas," papar Sharon Lockyer, peneliti dari Brunel University London.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa hal ini hanya berlaku jika yang bersangkutan memiliki kondisi atau identitas serupa. Bayangkan orang kulit putih atau non-difabel membuat lelucon soal orang kulit hitam atau kaum difabel? Akan sulit diterima!

Baca Juga: 7 Penjelasan Ilmiah Kenapa Kamu Tidak Rela Membuang Barang

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya