TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Benarkah Sumpah Serapah Efektif Meredakan Sakit? Ini Fakta Sainsnya!

Alasan kenapa saat kesakitan, "kebun binatang" lepas...

Ilustrasi cowok marah-marah (Pexels/Andrea Piacquadio)

Kamu baru pulang kerja dan tengah memasukkan motor ke dalam garasi. Entah karena kamu kurang konsentrasi karena kelelahan, kakimu "mencium" knalpot dengan mesra. Sumpah serapah keluar semua, mulai dari "kebun binatang" hingga "kotorannya".

Antara hanya "Aduh!" atau sumpah serapah, manusia memiliki reaksi tersendiri terhadap rasa sakit. Terlihat biasa, ternyata secara ilmiah, para peneliti mengatakan kalau hal tersebut dapat meredam rasa sakit.

1. Miskonsepsi sumpah serapah memperburuk rasa sakit

Unsplash/Hello I'm Nik

Sebelum mengetahui fakta dan penjelasan ilmiah tentang rasa sakit yang diredam lewat sumpah serapah, mari ketahui terlebih dahulu, kenapa sumpah serapah dan kata keluhan lainnya keluar saat sakit.

Dalam bukunya yang berjudul "Swearing Is Good for You" pada 2017, ilmuwan dan jurnalis asal Inggris, Emma Byrne, mengatakan bahwa sebenarnya mayoritas psikolog zaman dulu menganggap sumpah serapah hanya memperburuk rasa sakit karena distorsi kognitif manusia.

Distorsi fungsi kognitif saat bersumpah serapah disebut membuat manusia merasa bahwa musibah atau kesakitan yang mereka rasakan adalah "akhir dari segalanya".

"Sumpah serapah dianggap memperkuat rasa ketidakberdayaan manusia," tulis Byrne, dilansir dari situs Wired.

Jika memang sumpah serapah adalah tidak ada gunanya jika diteriakkan saat kesakitan, kok kita bisa keterusan?

Baca Juga: 8 Efek Psikologis yang Kamu Rasakan Sehari-hari tapi Tak Kamu Sadari

2. Mematahkan distorsi kognitif dan miskonsepsi sumpah serapah atas rasa sakit

Unsplash/Aarón Blanco Tejedor

Byrne kemudian bercerita bahwa bukunya diinspirasi oleh sebuah percobaan yang dilakukan oleh Richard Stephens, seorang psikolog perilaku dari Keele University, Staffordshire, Inggris.

Intinya, Stephens penasaran pada pernyataan para psikolog zaman dulu. Jika memang sumpah serapah hanya menambah rasa sakit, mengapa manusia otomatis mengeluarkannya saat merasa sakit?

Dalam penelitian gabungan yang bertajuk "Effect of swearing on strength and power performance" pada 2009, Stephens melibatkan 67 mahasiswa/i yang bergabung secara sukarela. Sang psikolog kemudian memerintahkan mereka untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam air es selama mungkin.

Percobaan tersebut dipecah ke dalam dua sesi: sesi pertama dengan sumpah serapah dan sesi kedua dengan perkataan biasa. Jadi, jika mereka mulai merasakan sakit, mereka bisa bersumpah serapah atau hanya "aduh-aduhan".

Hasilnya, Stephens mencatat bahwa pada sesi pertama, para mahasiswa/i dapat menahan rasa sakit akibat dinginnya es lebih lama dari sesi kedua. Logikanya, jika memang sumpah serapah hanya memperburuk rasa sakit, maka seharusnya para mahasiswa/i lebih cepat menyerah pada sesi pertama.

Berdasarkan temuan tersebut, maka Stephens menyatakan bahwa sebenarnya sumpah serapah dapat meningkatkan daya tahan seseorang terhadap rasa sakit, bukan memperburuk.

3. Apa yang terjadi pada otak kita saat bersumpah serapah saat merasakan sakit?

Unsplash/ Etienne Girardet

Dilansir dari Science Daily, Stephens dan timnya mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara otak manusia dan sumpah serapah.

“Sumpah serapah telah ada selama berabad-abad dan menjadi konsep fenomena linguistik manusia yang hampir universal. Fenomena sumpah serapah menggunakan pusat-pusat emosional pada otak dan tampaknya muncul di otak kanan; padahal, sebagian besar produksi bahasa terjadi di otak kiri," tutur Stephens.

Saat mengeluarkan sumpah serapah di saat sakit, otak manusia mengeluarkan rangsangan emosional fight-or-flight dan meningkatkan detak jantung sehingga mengurangi persepsi rasa sakit.

Tidak mungkin mengeluarkan sumpah serapah di lingkungan formal? Kalau begitu, Stephens menyarankan hal-hal yang memicu rangsangan emosional.

“Selain mengurangi sengatan air es, sumpah serapah menyebabkan beragam efek pada berbagai bagian tubuh. Salah satunya meningkatkan detak jantung, sebagai efek respons fight-or-flight. Jadi, jika bersumpah serapah dapat membantu mengatasi rasa sakit karena menyebabkan rangsangan emosional, kalau begitu lakukanlah hal-hal yang menyebabkan rangsangan emosional serupa,” papar Stephens.

4. Korelasi kekerasan dengan daya tahan terhadap rasa sakit

Unsplash/ Andre Hunter

Selain Byrne, ternyata, percobaan Stephens menarik minat salah satu mahasiswinya, Claire Allsop. Penelitian Allsop, dibimbing oleh Stephens, berhasil memenangkan penghargaan dari British Psychological Society setelah menunjukkan betapa mudahnya memanipulasi emosi manusia agar dapat lebih tahan terhadap rasa sakit.

Dalam penelitiannya pada 2012 berjudul "Effect of Manipulated State Aggression on Pain Tolerance", Allsop ingin mengetahui apakah dengan membuat seseorang agresif dapat meningkatkan daya tahannya terhadap sakit.

Berbekal penelitian air es dari Stephens, Allsop membuat hipotesis bahwa jika orang yang sama dapat menahan sakit saat mengeluarkan sumpah serapah, apakah sumpah serapah meningkatkan level agresivitas, sehingga membuat individu tersebut lebih tahan terhadap rasa sakit?

Melibatkan 40 sukarelawan/ti, Allsop menyuruh mereka bermain dua jenis game: tembak-tembakan yang agresif dan golf yang menenangkan. Setelahnya, mereka melakukan tes air es yang sama dengan Stephens.

Hasilnya, mereka yang bermain game tembak-tembakan dapat bertahan lebih lama (2 - 3 menit) dibandingkan mereka yang bermain game golf (sekitar 1 menit).

Baca Juga: Efek Positif dan Negatif Memiliki Saudara Kandung dari Sisi Psikologis

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya