Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret Harimau Sumatra (commons.wikimedia.org/Smudge 9000)
potret Harimau Sumatra (commons.wikimedia.org/Smudge 9000)

Intinya sih...

  • Populasi Harimau Sumatra terus menyusut, hanya tersisa sekitar 600 ekor di alam liar.
  • Habitat harimau terancam oleh deforestasi, perkebunan kelapa sawit, dan konflik dengan manusia.
  • Harimau Sumatra menjadi target perburuan ilegal yang dilakukan secara diam-diam dan terorganisir.

Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) adalah salah satu makhluk paling ikonik yang pernah menginjakkan kaki di hutan Indonesia. Namun, keberadaannya kini seperti bayang-bayang masa lalu, kian tersudut oleh laju peradaban dan ketamakan manusia. Populasinya yang terus menyusut membuat hewan ini masuk ke dalam daftar satwa kritis menurut IUCN. Ironisnya, meskipun statusnya sudah sangat mengkhawatirkan, masih banyak orang yang belum sadar betapa seriusnya situasi yang dihadapi predator puncak ini.

Hutan Sumatra yang dulunya menjadi kerajaan bagi spesies ini kini perlahan berubah menjadi lahan sawit, pemukiman, dan industri. Dalam beberapa dekade terakhir, habitat mereka terpangkas secara brutal. Bahkan, konflik antara harimau dan manusia jadi makin sering terjadi karena ruang gerak si raja hutan semakin terbatas. Artikel ini bakal membahas lima fakta menyedihkan tentang Harimau Sumatra yang mungkin bisa menggugah rasa peduli sebelum semuanya benar-benar terlambat.

1. Populasinya tinggal sekitar 600 ekor di alam liar

potret Harimau Sumatra (commons.wikimedia.org/Pełnik)

Menurut data terbaru dari lembaga konservasi, populasi Harimau Sumatra di alam liar diperkirakan hanya tersisa sekitar 600 ekor. Jumlah ini jauh dari kata aman, bahkan termasuk kategori sangat kritis. Penurunan ini terjadi secara drastis dalam 50 tahun terakhir, seiring dengan masifnya deforestasi dan perburuan liar. Angka tersebut bisa lebih rendah karena data ini pun hanya estimasi konservatif.

Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar dari populasi tersebut tersebar secara terpisah-pisah di beberapa kantong hutan yang tidak saling terhubung. Fragmentasi habitat ini membuat harimau makin sulit mencari pasangan dan mempertahankan garis keturunannya. Akibatnya, risiko inbreeding atau perkawinan sedarah meningkat, yang bisa memicu penurunan kualitas genetik. Situasi ini menjadi bom waktu bagi kelangsungan spesies tersebut.

2. Habitatnya dirusak secara masif oleh manusia

potret Harimau Sumatra (commons.wikimedia.org/NasserHalaweh)

Pembukaan lahan secara besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan industri menjadi penyebab utama rusaknya habitat Harimau Sumatra. Setiap tahunnya, ribuan hektar hutan alami dibabat habis tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap satwa liar. Padahal, harimau butuh wilayah jelajah yang luas untuk bertahan hidup sekitar 100 km² untuk satu individu jantan dewasa.

Selain itu, aktivitas pembalakan liar dan pembangunan infrastruktur seperti jalan juga memecah habitat yang tersisa menjadi petak-petak kecil. Hal ini memicu konflik antara harimau dan manusia karena hewan ini terpaksa keluar dari zona amannya demi bertahan hidup. Ketika harimau masuk ke permukiman atau ladang, sering kali mereka dianggap sebagai ancaman dan diburu. Padahal, penyebab utamanya tetaplah perusakan habitat oleh manusia.

3. Masih jadi target perburuan ilegal

potret Harimau Sumatra (commons.wikimedia.org/Clément Bardot)

Meski sudah dilindungi secara hukum, Harimau Sumatra tetap jadi incaran perburuan ilegal. Kulit, taring, dan bagian tubuh lainnya masih laku keras di pasar gelap, baik untuk koleksi maupun praktik pengobatan tradisional. Ironisnya, permintaan tertinggi justru datang dari dalam negeri dan negara tetangga di Asia Tenggara. Perburuan ini dilakukan secara diam-diam dan sangat terorganisir.

Banyak pemburu yang menggunakan jerat atau racun, yang bukan hanya mematikan bagi harimau, tapi juga mengancam satwa lain yang tak sengaja tertangkap. Hukum yang lemah dan minimnya pengawasan di lapangan membuat praktik ini terus berlangsung. Bahkan, beberapa oknum petugas kehutanan pun terlibat dalam jaringan ilegal ini. Kalau dibiarkan, perburuan bisa menjadi penyebab utama hilangnya spesies ini dari alam liar.

4. Konflik harimau dan manusia meningkat drastis

potret Harimau Sumatra (commons.wikimedia.org/Sergei ~ 5of7)

Karena habitat makin sempit, Harimau Sumatra sering kali terdorong ke wilayah yang dekat dengan permukiman warga. Konflik antara manusia dan harimau pun jadi makin sering terjadi, terutama di wilayah Sumatra Selatan, Riau, dan Aceh. Dalam kondisi terdesak, harimau bisa menyerang ternak atau bahkan manusia, yang akhirnya memicu upaya balas dendam dari warga.

Sayangnya, banyak dari kasus ini berujung pada kematian harimau yang seharusnya bisa diselamatkan. Sebagian besar masyarakat masih minim edukasi tentang bagaimana menghadapi konflik satwa liar. Padahal, ada banyak pendekatan damai dan sistem mitigasi yang bisa dilakukan untuk menghindari pertumpahan darah. Solusi butuh dukungan semua pihak, dari masyarakat lokal hingga pemerintah dan LSM konservasi.

5. Upaya konservasi masih minim dan terbatas

potret Harimau Sumatra (commons.wikimedia.org/Smudge 9000)

Meskipun beberapa organisasi seperti WWF dan BKSDA sudah berupaya melakukan konservasi, upaya tersebut belum cukup kuat untuk menandingi kecepatan kerusakan habitat dan perburuan. Sumber daya yang terbatas dan kurangnya koordinasi antar lembaga menjadi kendala utama. Ditambah lagi, perhatian publik terhadap isu ini belum menyeluruh.

Banyak program konservasi yang sifatnya hanya jangka pendek atau sekadar proyek seremonial tanpa dampak nyata. Padahal, harimau butuh perlindungan jangka panjang dengan pendekatan ekosistem dan sosial yang terpadu. Tanpa intervensi yang serius dan berkelanjutan, eksistensi Harimau Sumatra bisa tinggal sejarah dalam waktu dekat. Kita gak bisa hanya berharap dari satu-dua program saja, perlu gerakan kolektif yang melibatkan semua kalangan.

Harimau Sumatra kini berada di titik kritis yang sangat memprihatinkan. Fakta-fakta di atas bukan sekadar data kering, tapi cerminan dari situasi nyata yang terjadi di lapangan. Kalau gak segera ada langkah nyata dan kolaborasi yang kuat, maka generasi mendatang hanya bisa mengenal Harimau Sumatra lewat buku dan dokumenter. Saatnya sadar dan bergerak sebelum semuanya benar-benar terlambat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team