Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi zombie
ilustrasi zombie (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Ilmu saraf mengungkap karakteristik khas zombie, seperti gangguan pada otak dan impulsif.

  • Penyakit menular tertentu mampu mengubah perilaku makhluk hidup, tetapi hanya terjadi pada hewan.

  • Virus dapat memodifikasi sel, tetapi tidak menciptakan mayat hidup. Selain itu, upaya ilmiah menghidupkan jaringan mati belum sampai menciptakan zombie.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sejak awal kemunculannya di layar kaca, zombie selalu digambarkan sebagai mayat hidup yang berjalan lambat, lapar daging/otak manusia, dan tak memiliki kesadaran. Imajinasi tentang makhluk ini begitu kuat hingga menimbulkan pertanyaan: apakah zombie itu nyata? Rasa penasaran ini wajar karena manusia cenderung ingin memahami segala sesuatu yang mengancam kehidupan, termasuk fenomena yang diceritakan dalam film horor.

Konsep zombie memang lekat dengan budaya pop, tetapi sejumlah ilmuwan mencoba menelaah kemungkinan biologis di baliknya. Simak penjelasan berikut untuk mengetahui seberapa jauh sains menjawab rasa ingin tahu kita tentang zombie.

1. Ilmu saraf mengungkap karakteristik khas zombie

ilustrasi zombie (pexels.com/cottonbro studio)

Para peneliti saraf menilai zombie dalam film memiliki ciri khas yang bisa dijelaskan secara medis. Dr. Steven Schlozman, psikiater dari Harvard Medical School yang dikenal sebagai “Dr. Zombie”, menjelaskan bahwa gangguan pada otak bagian serebelum dapat menimbulkan langkah terseret dan keseimbangan tubuh yang buruk, sebagaimana terlihat pada zombie dalam film klasik. Gangguan pada lobus frontal bisa memicu tindakan impulsif, sedangkan amigdala yang terlalu aktif dapat membuat seseorang lebih agresif.

Dari perspektif ilmiah, ciri-ciri itu memang dapat dijelaskan secara neurologis, tetapi tidak ada bukti nyata bahwa satu penyakit dapat memunculkan seluruh gejala khas zombie sekaligus. Sebaliknya, karakter zombie dalam film hanyalah penggabungan berbagai gangguan saraf yang benar-benar ada dalam dunia medis. Penjelasan ini menunjukkan bahwa film memanfaatkan gejala-gejala penyakit otak untuk menciptakan figur fiksi yang tampak realistis.

2. Penyakit menular tertentu mampu mengubah perilaku makhluk hidup

ilustrasi seorang pria yang mengalami rabies (commons.wikimedia.org/CDC)

Beberapa infeksi di dunia nyata terbukti dapat memengaruhi otak dan perilaku organisme yang terinfeksi. Rabies, misalnya, dapat mengubah hewan menjadi agresif dan menular melalui gigitan, sifat yang kerap diasosiasikan dengan zombie. Ada pula kasus jamur Ophiocordyceps yang menginfeksi semut hingga mengendalikan perilaku serangga tersebut untuk memanjat dan mati di tempat tinggi agar spora jamur bisa menyebar lebih luas. Ini yang menginspirasi wabah zombie dalam game/serial TV The Last of Us.

Fenomena serupa juga ditemukan pada beberapa spesies laba-laba yang dikendalikan larva tawon parasit hingga meninggalkan koloni untuk membuat sarang bagi parasit itu. Kendati demikian, kasus-kasus ini hanya terjadi pada hewan, bukan manusia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kendali biologis atas perilaku makhluk hidup memang mungkin terjadi, tetapi belum pernah ada bukti yang menjadikannya dasar keberadaan zombie seperti dalam film.

3. Virus dapat memodifikasi sel, tetapi tidak menciptakan mayat hidup

ilustrasi virus (pexels.com/CDC)

Game/film fiksi seperti Resident Evil kerap menggambarkan virus yang mampu mengubah DNA manusia hingga menimbulkan mutasi fisik drastis. Dalam sains, memang ada virus seperti retrovirus yang bisa menyisipkan materi genetiknya ke dalam sel manusia, contohnya HIV atau virus hepatitis. Bahkan, sekitar 8 persen genom manusia mengandung sisa DNA virus kuno yang telah lama tidak aktif.

Walau virus dapat menimbulkan perubahan genetik jangka panjang, tidak ada satu pun yang mampu menghidupkan kembali jaringan mati atau memicu sifat khas zombie. Proses yang digambarkan dalam film hanya fiksi karena sel dan organ manusia yang sudah mati tidak dapat diaktifkan kembali secara alami. Artinya, ancaman virus yang membuat seseorang menjadi mayat hidup hanyalah konsep cerita, bukan realitas ilmiah yang sebenarnya di dunia nyata.

4. Upaya ilmiah menghidupkan jaringan mati belum sampai menciptakan zombie

ilustrasi penelitian (pexels.com/Chokniti Khongchum)

Beberapa penelitian biomedis memang mencoba menghidupkan kembali fungsi sel pada organ yang sudah mati untuk keperluan transplantasi. Tim peneliti dari Universitas Yale pernah mengembalikan fungsi sel pada jantung dan ginjal babi yang telah mati lebih dari 1 jam dengan metode khusus untuk memperpanjang kelayakan organ. Penelitian ini menunjukkan bahwa sains berfokus pada mempertahankan fungsi biologis organ, bukan membangkitkan keseluruhan makhluk hidup.

Walau percobaan tersebut membuka peluang dalam dunia medis, tidak ada indikasi bahwa sel yang diaktifkan kembali dapat menciptakan kesadaran atau kehidupan baru. Upaya ini semata-mata untuk menjaga kualitas organ bagi pasien yang membutuhkan transplantasi. Fakta ini menegaskan bahwa kemampuan ilmiah untuk menghidupkan kembali jaringan mati sangat terbatas dan sama sekali tidak berkaitan dengan terciptanya zombie.

5. Ketertarikan manusia pada zombie dipicu faktor budaya dan psikologis

ilustrasi zombie (pexels.com/cottonbro studio)

Popularitas zombie tidak lepas dari cerminan ketakutan masyarakat terhadap ancaman tertentu pada zamannya. Pada era Perang Dingin, zombie digambarkan lahir akibat radiasi nuklir. Sementara, pada masa pandemik, cerita zombie sering dikaitkan dengan wabah penyakit. Tren ini menunjukkan bahwa zombie menjadi simbol ketakutan kolektif manusia terhadap kehancuran sistem sosial dan ancaman dari luar diri.

Selain itu, fenomena budaya seperti parade zombie atau zombie walk juga memperlihatkan keinginan manusia untuk kembali berinteraksi tanpa distraksi teknologi modern. Dalam kegiatan tersebut, orang-orang berkumpul dan berkomunikasi langsung tanpa gawai, seolah zombie menjadi simbol keterhubungan sosial yang hilang. Jadi, keberadaan zombie lebih merupakan produk budaya pop dan psikologi sosial ketimbang fenomena biologis.

Berdasarkan bukti ilmiah hingga saat ini, tidak ada alasan untuk percaya bahwa zombie benar-benar ada di dunia nyata. Makhluk yang sering digambarkan dalam game/film horor hanyalah kombinasi gejala medis, infeksi tertentu, dan kreativitas budaya pop yang dipadukan untuk tujuan hiburan. Meski begitu, pertanyaan apakah zombie itu nyata tetap menarik karena mendorong kita untuk memahami sains di balik penyakit, parasit, hingga perilaku manusia.

Referensi
"Dead Serious". University of Delaware. Diakses pada Oktober 2025.
"Diagnosis Zombie: The Science Behind the Undead Apocalypse". Live Science. Diakses pada Oktober 2025.
"Is the Zombie Apocalypse a Real Possibility?". Kent State University. Diakses pada Oktober 2025.
"The Science Behind Zombie Viruses and Infections". Cleveland Clinic. Diakses pada Oktober 2025.
"What are the real zombies?". Medical News Today. Diakses pada Oktober 2025
"Zombies – Do they exist in real life?". Virox Animal Health. Diakses pada Oktober 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorYudha ‎