Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Laut Antartika Semakin Asin, Jadi Indikasi Perubahan Iklim

ilustrasi Antartika (pexels.com/Gu Bra)
ilustrasi Antartika (pexels.com/Gu Bra)
Intinya sih...
  • Kehilangan es laut mempengaruhi keseimbangan global, cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut.
  • Penggunaan satelit dan robot bawah laut membantu pemantauan.
  • Lonjakan salinitas menunjukkan perubahan fundamental dalam sistem laut Antarktika.

Awalnya, para ilmuwan mengira mencairnya es di sekitar Antarktika akan membuat air laut jadi lebih tawar. Ini mungkin terdengar masuk akal, bukan? Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya makin segar, laut di sekitar kutub selatan justru makin asin.

Sejak 2015, Antarktika telah kehilangan lapisan es laut seluas hampir setara Greenland. Ini bukan perubahan yang kecil dan menjadi salah satu transformasi lingkungan paling drastis dalam satu dekade terakhir.

Yang mengejutkan, data satelit terbaru menunjukkan bahwa air laut di permukaan malah jadi lebih asin. Padahal, air asin punya sifat yang berbeda dari air tawar: ia menarik panas dari kedalaman laut dan membuat es laut lebih sulit untuk terbentuk kembali. Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

1. Efeknya terhadap dunia

ilustrasi benua Antartika (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi benua Antartika (pexels.com/Pixabay)

Kehilangan es laut di Antarktika bukan tidak hanya berdampak pada kutub es yang makin gundul. Dampaknya jauh lebih luas dan mengganggu keseimbangan global.

Saat es laut menyusut, habitat alami spesies seperti penguin ikut menghilang. Tapi tidak hanya itu, es yang mencair juga melepaskan panas dari laut ke atmosfer. Hasilnya? Cuaca ekstrem jadi lebih sering terjadi, badai makin ganas, dan suhu global terus merangkak naik.

Ini menciptakan lingkaran setan. Panas yang dilepaskan mempercepat mencairnya es daratan Antarktika yang kemudian menyebabkan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia. Studi terbaru bahkan mengungkapkan kemungkinan bahwa lautan di sekitar kutub selatan telah melewati titik kritis.

2. Menggunakan satelit dan robot bawah laut

Memantau Laut Selatan bukan perkara mudah. Wilayah ini adalah salah satu tempat paling terpencil dan paling ganas di planet kita. Namun, berkat teknologi canggih, kini kita bisa mengetahui apa yang terjadi di sana secara real-time.

Satelit milik European Space Agency dan robot bawah laut yang mampu mengukur suhu serta kadar garam tanpa harus naik ke permukaan menjadi mata dan telinga kita di tengah kerasnya Laut Selatan. Tim peneliti dari University of Southampton, bersama kolega di Barcelona Expert Centre, berhasil mengembangkan algoritma baru yang mampu melacak kondisi permukaan laut di wilayah kutub dari luar angkasa.

Dengan menggabungkan data satelit dan temuan dari robot bawah laut, para ilmuwan membangun gambaran perubahan Laut Selatan selama 15 tahun terakhir. Ini mencakup tren meningkatnya salinitas, suhu laut, dan menyusutnya es laut.

3. Adanya lonjakan salinitas

ilustrasi lautan luas (pexels.com/Kellie Churchman)
ilustrasi lautan luas (pexels.com/Kellie Churchman)

Temuan terbaru ini benar-benar di luar dugaan. Sekitar tahun 2015, kadar garam di permukaan Laut Selatan tiba-tiba melonjak tajam. Ini tepat di saat luas es laut mulai anjlok. Padahal, selama puluhan tahun sebelumnya, permukaan laut justru cenderung makin tawar dan dingin yang mendukung terbentuknya lebih banyak es laut.

Lonjakan salinitas ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang mendasar telah berubah dalam sistem laut Antarktika. Pola lama yang dulu membantu menstabilkan es laut kini tampaknya telah bergeser menuju kondisi baru yang lebih berisiko dan sulit dikendalikan.

4. Laut Selatan seperti kue lapis raksasa

Untuk memahami mengapa peningkatan garam ini penting, bayangkan Laut Selatan seperti kue lapis raksasa. Biasanya, air tawar dan dingin berada di atas, sementara air laut yang lebih hangat dan asin tersembunyi jauh di bawah. Susunan berlapis ini membantu menjebak panas di kedalaman laut dan menjaga permukaan tetap dingin yang memungkinkan es terbentuk.

Namun, air asin memiliki sifat yang berbeda, ia lebih padat dan berat. Ketika air permukaan menjadi lebih asin, ia lebih mudah tenggelam ke bawah yang mengaduk lapisan laut dan membawa panas dari dasar laut ke atas. Panas ini bisa melelehkan es dari bawah sehingga memperlambat proses pembentukan es baru.

Lebih parahnya lagi, sirkulasi vertikal ini juga mengangkat lebih banyak garam dari lapisan dalam untuk memperkuat siklus yang telah dimulai. Dari sini, terbentuklah sebuah feedback loop yang kuat. Semakin asin permukaan laut, semakin banyak panas naik, semakin banyak es mencair, dan semakin besar pula kemampuan laut menyerap panas dari Matahari.

5. Dampaknya tak hanya di kutub

ilustrasi perubahan iklim (pexels.com/Guillaume Falco)
ilustrasi perubahan iklim (pexels.com/Guillaume Falco)

Kehilangan es laut Antarktika adalah persoalan global. Es laut berfungsi seperti cermin raksasa yang memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa. Ketika cermin ini menghilang, lebih banyak energi matahari diserap oleh lautan dan atmosfer. Hal ini akan mempercepat pemanasan global, memperparah badai, dan mempercepat kenaikan permukaan laut yang mengancam kota-kota pesisir di seluruh dunia.

Dampaknya juga terasa langsung pada kehidupan liar di Antarktika. Penguin Kaisar, misalnya, sangat bergantung pada es laut untuk berkembang biak dan membesarkan anak-anak mereka.

Di bawah es, alga tumbuh dan menjadi makanan utama bagi krill, yaitu udang kecil yang menjadi fondasi rantai makanan di kawasan ini. Tanpa es, sumber makanan krill menghilang, dan satu per satu, ekosistem kutub mulai runtuh.

6. Dunia Sedang Berubah dari Kutubnya

Apa yang terjadi di ujung selatan dunia sedang mengirimkan gelombang dampak ke seluruh planet yang bisa mengganggu sistem cuaca, mengubah arus laut, dan memengaruhi kehidupan di darat maupun laut. Antarktika tak lagi bisa dianggap sebagai benua beku yang stabil seperti yang dulu kita percayai. Ia sedang berubah dan jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.

Selama ini, model iklim memprediksi bahwa pemanasan global akan meningkatkan curah hujan dan pencairan es, yang akan membuat permukaan laut menjadi lebih tawar. Namun, asumsi itu kini runtuh. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa salinitas air permukaan justru meningkat, lapisan laut mulai kacau, dan es laut mencair lebih cepat dari yang diprediksi.

Perubahan di Antarktika adalah alarm keras bagi seluruh dunia. Namun, upaya pemantauan yang menjadi kunci peringatan dini ini justru terancam oleh pemotongan dana. Tanpa data yang akurat dan berkelanjutan, kita akan berjalan dalam ruang gelap dan tak siap menghadapi iklim yang kian tak terduga.

Referensi

Parkinson, Claire L. “A 40-y Record Reveals Gradual Antarctic Sea Ice Increases Followed by Decreases at Rates Far Exceeding the Rates Seen in the Arctic.” Proceedings of the National Academy of Sciences 116, no. 29 (July 1, 2019): 14414–23.
"‘Completely unexpected’: Antarctic sea ice may be in terminal decline due to rising Southern Ocean salinity". Diakses pada Juli 2025. The Conversation.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us