Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Agroforestri, Solusi Masalah Ekonomi Tanpa Mengorbankan Hutan

ilustrasi memanen berbagai jenis tanaman (pexels.com/Gustavo Fring)

Pernahkah kamu membayangkan ada cara bercocok tanam yang enggak cuma menguntungkan petani, tapi juga menjaga hutan tetap hijau? Di tengah tekanan ekonomi dan ancaman deforestasi, muncul solusi cerdas bernama agroforestri yang juga dikenal dengan wanatani. Sebuah konsep yang menggabungkan pertanian dan kehutanan, agroforestri menjanjikan jalan keluar dari dilema, antara memenuhi kebutuhan manusia dan melindungi alam.

Tapi, apa sebenarnya yang membuat agroforestri begitu istimewa? Bagaimana metode ini bisa menjadi jawaban atas masalah lingkungan sekaligus ekonomi? Yuk, kita bahas lebih dalam bagaimana praktik ini membawa manfaat yang enggak hanya untuk hari ini, tapi juga untuk generasi mendatang!

1. Melacak jejak sejarah agroforestri

ilustrasi lahan agroforestri (pexels.com/M D Fahmi)

Sistem bertani yang menggabungkan pohon dengan tanaman pangan dan hewan sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Romawi, loh! Tapi, melansir britannica.com, istilah agroforestri baru muncul secara resmi pada awal abad ke-20. Ide ini pertama kali digagas oleh seorang ahli geografi ekonomi asal America, J. Russell Smith, dalam bukunya Tree Corps: A Permanent Agriculture (1929). Smith mengusulkan permanent agriculture berbasis pohon sebagai solusi untuk mengatasi erosi tanah yang sering terjadi akibat pengolahan lahan miring. Sayangnya, meskipun idenya visioner, gagasan ini kurang mendapat perhatian.

Semangat untuk agroforestri kembali muncul pada tahun 1977, setelah Canadian International Development Research Centre merilis laporan berjudul Trees, Food and People yang menyoroti peran penting pohon dalam mendukung produksi pertanian di daerah tropis.

Laporan ini membuka jalan bagi pembentukan International Council for Research in Agroforestry (ICRAF) di Nairobi, Kenya. ICRF kemudian meluncurkan jurnal Argoforestry System (1982) untuk mendalami lebih lanjut bidang ini. Lalu, pada tahun 2002, ICRAF berganti nama menjadi World Agroforestry Centre untuk menegaskan perannya dalam mempromosikan agroforestri sebagai solusi pertanian berkelanjutan secara global.

2. Bagaimana agroforestri jadi kunci untuk masa depan hijau?

ilustrasi deforestasi (pexels.com/Tom Fisk)

Sekarang ini, banyak banget masalah lingkungan, kayak penebangan pohon liar, pembukaan ladang secara masif di area perhutanan, komersialisasi yang gak terkendali, ditambah praktik pertanian enggak berkelanjutan telah menyebabkan dampak serius pada lingkungan. Deforestasi itu enggak cuma bikin hutan hilang, tapi juga mengancam habitat banyak spesies tanaman dan satwa liar. Akibatnya, keanekaragaman hayati kita makin terancam.

Selain itu, kerusakan ekosistem juga bikin kualitas tanah, air, dan udara makin buruk, serta enggak jarang malah mempercepat perubahan iklim yang akhirnya menyebabkan bencana alam. Ditambah lagi, sumber daya alam kita semakin menipis, dan kalau enggak segera ditangani, ya bisa-bisa mengancam hidup kita dan planet ini.

Nah, di tengah krisis ini, agroforestri menawarkan harapan. Sistem agroforestri bisa bantu perbaiki kualitas tanah, mengurangi erosi, jaga keseimbangan air, dan serap karbon dioksida di udara. Selain itu, sistem ini mendukung keanekaragaman hayati dengan menyediakan habitat bagi berbagai spesies tanaman dan hewan, sekaligus membantu mitigasi perubahan iklim untuk masa depan yang lebih hijau.

3. Ekonomi tercukupi, hutan tetap lestari

ilustrasi menjual hasil pertanian (pexels.com/Hugo Armando Beltran Sojo)

Agroforestri bisa jadi solusi pintar untuk meningkatkan ekonomi tanpa harus mengorbankan hutan. Dengan menanam berbagai jenis tanaman, mulai dari tanaman tahunan hingga tanaman kehutanan, petani bisa mendapatkan banyak hasil sekaligus. Jadi, mereka enggak cuma bergantung pada satu jenis tanaman yang rawan gagal karena cuaca atau harga pasar. Selain lebih aman, lahan juga jadi lebih produktif sepanjang tahun.

Dilansir ugm.ac.id, Dr. Sonya Dewi, koordinator regional ICRAF, menyatakan agroforestri punya peran besar buat bantu masalah ketahanan pangan, baik di tingkat lokal maupun global. Selain kasih hasil panen langsung yang bisa mengurangi malnutrisi, sistem ini juga terbukti menyumbang pendapatan 38-76 persen buat keluarga petani di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Lumayan banget, kan?

Yang lebih keren, manfaat agroforestri enggak cuma soal ekonomi. Petani juga bisa mendapatkan makanan, bahan bakar, pakan ternak, kayu hingga obat-obatan. Plus, meningkatkan ketahanan masyarakat, memperkuat keadilan gender, dan memberikan fleksibilitas dalam penguasaan lahan. Membuktikan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

4. Monokultur vs agroforestri, mana yang lebih menguntungkan?

ilustrasi lahan monokultur (pexels.com/Pok Rie)

Jika dibandingkan, monokultur dan agroforestri jelas beda banget. Melansir britannica.com, monokultur dalam pertanian, fokus pada satu jenis tanaman di satu lahan, yang sering digunakan dalam pertanian modern karena bisa menghasilkan panen besar dengan cepat. Tapi, sistem ini punya kelemahan besar, yaitu tanah jadi cepat kehilangan kesuburan, apalagi tanpa rotasi tanaman, dan butuh pupuk kimia untuk terus produktif. Belum lagi, kalau ada hama atau penyakit, seluruh tanaman bisa kena dampaknya.

Jadi, mana yang lebih unggul? Kalau bicara keuntungan jangka pendek, monokultur memang bisa kasih hasil lebih cepat. Tapi, agroforestri jauh lebih unggul secara sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk jangka panjang. 

5. Agroforestri belum merata, apa tantangan yang dihadapi?

ilustrasi bertani sistem agroforestri (pexels.com/Zen Chung)

Sistem agroforestri punya tantangan yang kompleks. Dalam buku berjudul Ketika kebun berupa hutan—Agroforest khas Indonesia—Sumbangan masyarakat bagi pembangunan berkelanjutan, de Foresta dkk., menyebutkan bahwa banyak ahli agronomi dan kehutanan masih memandang sistem ini kurang produktif dibandingkan monokultur, padahal manfaatnya jauh lebih beragam. Ditambah lagi, agroforestri sering dianggap metode kuno yang ketinggalan zaman, meskipun sebenarnya sudah banyak inovasi baru yang bikin sistem ini lebih modern dan relevan.

Masalah lainnya adalah soal kepemilikan lahan. Banyak petani enggan mengadopsi agroforestri karena mereka enggak yakin dengan status tanah yang mereka garap, apalagi kalau tanahnya milik pemerintah. Tanpa kepastian hak lahan, mereka jadi kurang termotivasi untuk berinvestasi jangka panjang. Belum lagi, akses terhadap modal, pengetahuan, dan bantuan teknis juga masih terbatas, bikin mereka makin kesulitan untuk menjalankan agroforestri dengan optimal.

Selain itu, faktor sosial juga berpengaruh besar. Banyak petani kecil yang keputusan tanamannya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh lokal. Di sinilah peran pemerintah dan komunitas lokal jadi penting. Dukungan berupa kebijakan kredit yang fleksibel dan edukasi tentang manfaat agroforestri bisa membantu petani lebih percaya diri untuk mencoba sistem ini, tanpa harus takut merugi.

Agroforestri bukan cuma soal teknik bertani atau menanam pohon, tapi juga tentang cara kita menjaga harmoni antara manusia dan alam. Dengan memadukan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, pendekatan ini menawarkan solusi yang berkelanjutan tanpa harus memilih salah satu. Jadi, kenapa nggak mulai sekarang kita dukung praktik agroforestri? Entah itu lewat edukasi, kebijakan, atau sekadar mendukung produk-produk lokal yang ramah lingkungan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Euis Istikomah Khoirunnisa
EditorEuis Istikomah Khoirunnisa
Follow Us