Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Taiwan (pexels.com/Alix Lee)

Intinya sih...

  • Kekuasaan internasional mengatur pengakuan negara

  • Sengketa wilayah menyebabkan status negara tidak jelas

  • Referendum sepihak menimbulkan polemik internasional

Fakta mengenai negara yang tidak diakui dunia sering kali luput dari perhatian khalayak, padahal eksistensi negara tersebut nyata dan juga punya andil dalam dinamika politik internasional. Keberadaan mereka bukan sekadar bayangan dalam peta, melainkan entitas yang memiliki pemerintahan, wilayah, bahkan mata uang sendiri. Namun, secara hukum internasional, mereka tidak diakui sebagai negara berdaulat karena berbagai alasan kompleks yang berkaitan dengan geopolitik, sejarah, dan hukum.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa pengakuan sebuah negara bukan hanya soal keberadaan fisik, tetapi juga soal kesepakatan global dan kepentingan diplomatik yang saling bertabrakan. Beberapa entitas tetap bertahan meski tanpa kursi di PBB, sementara yang lain hidup dalam ambiguitas. Berikut lima penjelasan mengapa kondisi ini bisa terjadi.

1. Kekuasaan internasional mengatur pengakuan negara

Bendera Amerika (pexels.com/Brett Sayles)

Pengakuan sebuah negara memanglah sangat bergantung pada keputusan politik negara lain, terutama dari kekuatan global yang mendominasi sistem internasional. Negara seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok memiliki pengaruh besar dalam menentukan legitimasi sebuah pemerintahan baru. Jika negara-negara besar tersebut menolak mengakui sebuah entitas, maka kecil kemungkinan komunitas internasional akan memberi pengakuan secara luas.

Kondisi ini membuat banyak negara yang sebenarnya memiliki atribut kenegaraan seperti wilayah, rakyat, dan pemerintahan tidak dianggap sah secara global. Sebab, keberadaan mereka dianggap bisa mengganggu stabilitas regional atau melanggar prinsip-prinsip kedaulatan negara lain. Dalam banyak kasus, pengakuan menjadi alat politik, bukan sekadar prosedur hukum formal.

2. Sengketa wilayah menyebabkan status negara tidak jelas

Bendera Israel (pexels.com/Andrew Patrick Photo)

Ketika dua atau lebih pihak mengklaim wilayah yang sama, konflik kepentingan muncul dan pengakuan negara menjadi masalah yang rumit. Sebagai contoh, ada Palestina dan Israel sama-sama mengklaim wilayah yang sama sebagai tanah airnya. Imbasnya, negara-negara yang pro-Israel cenderung tidak mengakui Palestina, begitu pula sebaliknya.

Sengketa semacam ini biasanya tidak bisa diselesaikan hanya dengan perundingan, karena masing-masing pihak merasa memiliki dasar historis dan hukum yang kuat. Akibatnya, status negara yang berada di tengah konflik tersebut menjadi menggantung. Banyak negara memilih untuk mengambil posisi netral, menunggu hasil akhir dari proses negosiasi atau tekanan geopolitik.

3. Referendum sepihak menimbulkan polemik internasional

Kosovo (commons.wikimedia.org/Sharon Hahn Darlin)

Beberapa wilayah mendeklarasikan kemerdekaan lewat referendum sepihak tanpa persetujuan pemerintah pusat, seperti yang terjadi di Kosovo dan Catalonia. Meskipun referendum dilakukan dengan dukungan masyarakat lokal, langkah tersebut sering dianggap melanggar konstitusi negara induknya. Hal ini membuat hasilnya sulit diakui secara internasional.

Negara-negara yang khawatir wilayahnya akan mengikuti jejak serupa cenderung tidak mau memberikan pengakuan, karena bisa menjadi preseden buruk di dalam negeri mereka sendiri. Bahkan organisasi internasional seperti PBB pun enggan mengambil posisi tegas, karena akan dianggap memihak dan merusak relasi diplomatik antarnegara anggotanya.

4. Kepentingan ekonomi dan strategi politik suatu negara memengaruhi keputusan

Taiwan (pexels.com/Michael spadoni)

Keputusan untuk mengakui atau tidak mengakui sebuah negara juga sangat berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan strategi politik suatu negara, lho. Negara-negara yang memiliki nilai ekonomi atau posisi geografis strategis biasanya mendapatkan pengakuan lebih cepat karena dianggap menguntungkan. Sebaliknya, entitas yang tidak memberikan keuntungan politik atau ekonomi sering kali diabaikan.

Misalnya, Taiwan sebagai contoh, negara ini memiliki perekonomian kuat dan demokrasi stabil, namun banyak negara enggan mengakuinya karena tekanan dari Tiongkok. Keputusan seperti ini bukan soal moralitas atau kebenaran hukum, tetapi soal siapa yang bisa menawarkan manfaat lebih besar dalam jangka panjang. Kepentingan ekonomi sering kali menutup mata terhadap realitas politik di lapangan.

5. Hukum internasional tidak memberi aturan yang tegas

Katalonia (commons.wikimedia.org/Tim Adams)

Salah satu penyebab utama mengapa ada negara yang tidak diakui dunia adalah karena hukum internasional tidak menetapkan kriteria yang benar-benar jelas tentang apa yang membuat sebuah entitas sah sebagai negara. Konvensi Montevideo memang menyebut empat syarat dasar, yaitu wilayah, rakyat, pemerintahan, dan kemampuan menjalin hubungan internasional. Namun kenyataannya, pengakuan tetap bergantung pada sikap politik negara lain.

Karena tidak ada badan tunggal yang bisa memaksa negara-negara untuk memberi atau menolak pengakuan, maka status sebuah negara menjadi sangat subjektif. Hal ini menyebabkan banyak wilayah berstatus abu-abu di mata hukum internasional. Ketiadaan regulasi yang mengikat membuat pengakuan negara lebih menyerupai konsensus politik daripada keputusan hukum yang final.

Fakta negara yang tidak diakui dunia memperlihatkan betapa rumitnya sistem politik internasional dan bagaimana kekuasaan, kepentingan, serta sejarah memainkan peran besar dalam menentukan legitimasi. Pengakuan bukan semata soal eksistensi, tapi juga soal siapa yang punya pengaruh lebih besar dalam panggung global. Realitas ini mengajarkan bahwa status sebuah negara bukan hanya tentang apa yang ada di atas kertas, melainkan juga apa yang disepakati oleh dunia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team