Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Perang Dagang Paling Berpengaruh dalam Sejarah

ilustrasi perdagangan internasional (pixabay.com/Jarosław Bialik)
ilustrasi perdagangan internasional (pixabay.com/Jarosław Bialik)

Berita mengenai perang dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi topik yang banyak diperbincangkan dalam satu pekan terakhir. Berawal dari penetapan tarif impor 34 persen untuk produk China pada 2 April 2025, kini kedua negara tersebut saling berbalas tarif impor dan membuat situasi global kian memanas. 

Perang dagang tentu saja bukan hal yang baru dalam dunia perekonomian negara. Dalam sejarahnya, Amerika Serikat bahkan sudah beberapa kali melakukan perang dagang dengan berbagai negara ataupun kawasan regional ekonomi seperti Uni Eropa.

Amerika Serikat bukanlah satu-satunya negara yang pernah menyulut perang dagang dan mempengaruhi ekonomi global. Belanda, Inggris, termasuk Dinasti Qing China pernah mencatatkan perang dagang paling berpengaruh dalam sejarah. 

1. Perang Inggris-Belanda

ilustrasi Perang Inggris-Belanda (picryl.com/Rijksmuseum)
ilustrasi Perang Inggris-Belanda (picryl.com/Rijksmuseum)

Perang Inggris dan Belanda terdiri dari empat pertempuran yang terjadi pada kurun waktu abad 17 sampai 18. Meski berakhir menjadi pertempuran senjata, Perang Inggris-Belanda sebenarnya bermula dari persaingan dagang antar kedua negara.

Memasuki tahun 1600an, para pedagang Belanda mulai mendominasi jalur perdagangan dunia. Untuk merespon kekuatan dagang Belanda, Inggris mengeluarkan Navigation Act di tahun 1651 yang berisi sekumpulan aturan dagang bagi para koloninya.

Dikutip dari Britannica, inti dari Navigation Act adalah pelarangan bagi wilayah koloni Inggris untuk mengekspor barang ke negara lain selain Inggris. Selain itu, kapal dagang yang bukan berasal dari Inggris dilarang untuk melakukan perdagangan dengan Inggris maupun koloninya.

Situasi tersebut membuat para pedagang Belanda tidak bisa berdagang di kawasan yang dikuasai Inggris. Dimulai dari tahun 1652, empat kali perang senjata di perairan pun tak terhindarkan.

Walaupun Belanda memenangkan perang pertama, Inggris tetap menguasai keseluruhan perang karena kemajuannya di bidang militer angkatan laut. Kekalahan Belanda di perang keempat pada 1784 menjadi salah satu penyebab dari kebangkrutan VOC.

2. Perang Opium I

ilustrasi Perang Opium I (commons.m.wikimedia.org/Huangdan2060)
ilustrasi Perang Opium I (commons.m.wikimedia.org/Huangdan2060)

Perang Opium merupakan perang dagang yang berlangsung dalam dua babak yaitu Perang Opium I (1839-1842) dan Perang Opium II (1856-1860). Kedua perang tersebut melibatkan Inggris dan Dinasti Qing China.

Memasuki abad 18, para pedagang Inggris mulai memasuki wilayah Asia untuk memperluas jalur perdagangan. Dari sisi komoditas perdagangan, China lebih unggul dibandingkan Inggris karena mereka merupakan penghasil porselen, kain sutera dan teh. Ketiga barang tersebut memiliki nilai jual tinggi di kalangan masyarakat Eropa.

Sementara itu, China tidak terlalu banyak mengimpor barang hasil manufaktur dari Inggris. Akan tetapi, China tetap membuka pintu kerjasama dagang dengan syarat Inggris membayar barang dagangannya dengan logam perak. 

Inggris tidak memiliki cadangan perak alami sehingga mereka harus membelinya dari negara lain. Dikutip dari Thoughtco, neraca perdagangan Inggris mengalami defisit karena hanya mampu menjual 9 juta Poundsterling dibandingkan dengan China yang meraup 27 juta Poundsterling. 

Di tengah situasi yang tak menguntungkan, Inggris menemukan cara baru yaitu dengan menawarkan opium sebagai alat pembayaran alternatif. Opium tersebut berasal dari Bengal yang saat itu sudah dikuasai oleh Inggris.

Perlahan, kasus kecanduan opium mulai menjadi masalah di kalangan pemuda China. Kaisar Daoguang mulai mengambil langkah untuk menghentikan penyelundupan opium dan melarang pedagang asing manapun yang tidak bersedia mengikuti peraturan pemerintah China.

Peperangan pun akhirnya terjadi pada 1839 hingga 1842 dan berbuah kemenangan telak bagi Inggris. Perjanjian Nanking di tahun 1942 menjadi akhir dari Perang Opium I dan membuat kerugian besar bagi Dinasti Qing. Selain membayar kerugian perang, Dinasti Qing juga harus menggadaikan wilayah Hong Kong kepada Inggris.

3. Smoot-Hawley Tariff Act

petisi penolakan Smoot Hawley Tariff Act (picryl.com/Library of Congress)
petisi penolakan Smoot Hawley Tariff Act (picryl.com/Library of Congress)

Pada 17 Juni 1930, Herbert Hoover selaku Presiden Amerika Serikat, menandatangani undang-undang United States Tariff Act of 1930 atau yang lebih dikenal sebagai Smoot-Hawley Tariff Act. Penamaan Smoot-Hawley berasal dari dua nama senator yang mengusulkan undang-undang tersebut yaitu Reed Smoot dan Willis Hawley.

Smoot-Hawley Tariff Act mengatur kebijakan berupa kenaikan tarif impor 20 persen untuk barang hasil pertanian maupun industri. Meski banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak, langkah ini diambil oleh pemerintah Amerika Serikat dalam rangka melindungi para pelaku usaha pertanian yang terdampak oleh fenomena the Great Depression.

Sayangnya, kenaikan tarif impor tersebut justru berbalik menjadi boomerang bagi perekonomian Amerika Serikat. Harga barang-barang impor melambung tinggi dan berujung pada penurunan produksi barang ekspor.

Situasi semakin buruk ketika negara yang menjadi partner dagang Amerika Serikat, seperti Kanada, juga memberlakukan kenaikan tarif resiprokal sebesar 30 persen. Beberapa negara lain memilih untuk mencari partner dagang baru seperti Inggris dan Prancis.

Smoot-Hawley Tariff Act memberi dampak negatif pada neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap negara-negara Eropa yang turun hingga dua per tiga dari sebelum pemberlakuan kenaikan tarif impor. Pada rentang tahun 1929-1934, perdagangan global mengalami penurunan sebanyak 66 persen.

Ketika Franklin D. Roosevelt menjadi Presiden Amerika Serikat setelah Herbert Hoover, salah satu langkah pertama yang dilakukannya adalah membuat undang-undang baru terkait tarif impor yaitu Reciprocal Trade Agreement Act. Poin penting dari undang-undang tersebut yaitu penurunan tarif impor, pembentukan kerjasama dagang dengan negara lain, juga mendorong upaya liberalisasi perdagangan, dikutip dari Britannica.

4. Chicken War

mobil VW langka di Amerika Serikat (commons.m.wikimedia.org/August Schwerdfeger)
mobil VW langka di Amerika Serikat (commons.m.wikimedia.org/August Schwerdfeger)

Pasca kemenangan Amerika Serikat di Perang Dunia II, industri peternakan ayam mulai mengalami peningkatan jumlah produksi. Karena tingginya angka produksi ayam, pada tahun 1960 Amerika Serikat lalu mengekspor pasokan ayam ke Eropa. 

Kondisi Eropa saat itu masih dalam tahap recovery pasca Perang Dunia II dan banyak peternak lokal yang merasa khawatir dengan banyaknya jumlah ayam impor dari Amerika Serikat. Merespon hal tersebut, beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Jerman pun menerapkan tarif dan pengaturan harga untuk produk unggas impor asal Amerika Serikat.

Memasuki tahun 1962, Amerika Serikat memprotes kebijakan Eropa terkait pengaturan tarif dan harga yang membuat angka penjualan ayam turun hingga 25 persen. Beberapa kali perwakilan Amerika Serikat dan Eropa mengadakan pertemuan tetapi tak pernah mencapai kesepakatan terkait perdagangan ayam.

Merasa buntu dengan kesepakatan yang tak pernah tercapai, Amerika Serikat lantas mengesahkan peraturan dagang baru pada 7 Januari 1964. Barang-barang seperti brandy, light trucks, dextrin dan tepung kentang, dikenakan tarif impor sebesar 25 persen.

Keputusan untuk menaikkan tarif impor untuk produk light trucks dipicu oleh tingginya impor mobil Volkswagen asal Jerman di tahun 1960an. Hal ini lantas menuai protes dari para pemilik industri otomotif di Amerika Serikat.

Saat ini hanya tersisa kebijakan tarif impor 25 persen untuk produk light truck. Atas alasan inilah light truck produksi Amerika Serikat sangat mendominasi pasar lokal selama lebih dari empat dekade, dikutip dari Thoughtco.

Selain kenaikan tarif, penerapan kuota impor juga biasa dilakukan dalam rangka membatasi masuknya barang impor dari negara lain. Sejarah membuktikan besarnya dampak dari perang dagang terhadap perekonomian suatu negara maupun secara global.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us