Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mempelajari anatomi (pexels.com/RF._.studio _)

Intinya sih...

  • Kadaver adalah “guru besar“ mahasiswa kedokteran

  • Rasanya aneh di awal, tapi akhirnya jadi terbiasa

  • Tidak ada tubuh manusia yang sama

Istilah "kadaver" mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Namun, bagi kamu yang suka menonton serial medis, detektif, atau kriminal, kata ini mungkin sudah cukup familiar. Kadaver adalah tubuh manusia yang didonorkan untuk keperluan ilmu pengetahuan, terutama dalam pembelajaran anatomi di bidang kedokteran.

Karena mahasiswa kedokteran kelak akan langsung menangani pasien sungguhan, belajar dari kadaver menjadi bagian penting dari proses pendidikan mereka. Membayangkannya saja sudah bikin merinding. Belajar dari tubuh manusia yang diawetkan? Apakah tidak menyeramkan? Nah, inilah 7 hal yang baru benar-benar dipahami oleh mahasiswa kedokteran ketika mereka mulai belajar langsung dari kadaver.

1. Kadaver adalah “guru besar“ mahasiswa kedokteran

ilustrasi donasi tubuh (pexels.com/MART PRODUCTION)

Kadaver itu bukan hanya mayat, tapi juga donor ilmu. Hanya dari 1 kadaver aja sudah bisa jadi pembelajaran untuk belasan angkatan, yang berarti ratusan sampai ribuan dokter. Kadaver mampu menyediakan ilmu yang tidak bisa disediakan oleh media pembelajaran lainnya.

Tubuh kadaver harus diperlakukan sesuai dengan etika, norma, agama dan aspek legal tentunya. Mulai dari pengadaan, perawatan dan pemanfaatan, sampai pemulasaraan dan pemakamannya sudah ada aturannya sendiri. Di banyak negara termasuk di Indonesia, kadaver biasanya berasal dari program donasi tubuh (body donation). Seseorang dengan sukarela menyatakan bersedia mendonorkan tubuhnya untuk pendidikan medis setelah meninggal dunia.

Sebelum bisa dipergunakan, harus ada syarat hukum yang dipenuhi terlebih dahulu. Di antaranya ada surat persetujuan dari donor dan keluarga, identitas jelas, dan bebas dari masalah pidana. Fakultas kedokteran di universitas tersebut biasanya kekerjasama dengan rumah sakit, yayasan donasi, atau lembaga forensik untuk memastikan semua propsesnya transparan serta sah secara hukum dan etika.

Ada lagi nih pertanyaan yang sering muncul ketika membahas kadaver. Apakah kadaver itu dibeli? Jawabannya tidak. Kadaver bukan komoditas jual-beli. Jangankan kadaver, penjualan organ tubuh manusia pun termasuk ilegal. Yang sah hanya melalui program donasi, dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau ilmu pengetahuan forensik.

2. Rasanya aneh di awal, tapi akhirnya jadi terbiasa

ilustrasi mahasiswa kedokteran memakai masker (unsplash.com/Towfiqu barbhuiya)

Untuk sebagian besar mahasiswa kedokteran, hari pertama belajar langsung dari kadaver menjadi salah satu momen paling mendebarkan. Banyak yang merasa takut dan ngeri karena belum pernah melihat jasad dari jarak sedekat itu. Bau formalin yang khas dan ruangan yang dingin bahkan bisa membuat beberapa mahasiswa menjadi pusing dan lemas. Rasa takut dan canggung ini wajar, karena pada dasarnya manusia memang jarang melihat langsung jenazah apalagi belajar darinya.

Setelah beberapa waktu, rasa ngeri itu akan berubah jadi rasa hormat. Mendapat kesempatan untuk belajar, melihat, dan menyentuh jaringan tubuh manusia dalam bentuk asli menjadi pengalaman ilmiah, bukan lagi emosional. Mereka mulai sadar betapa besarnya jasa orang yang rela mendonasikan tubuhnya demi ilmu pengetahuan. Bisa dibilang ini salah satu bentuk awal profesionalisme yang diajarkan kepada para mahasiswa. Mereka jadi tau kalau dunia kedokteran memang tidak selalu “nyaman“ secara emosional.

Pada akhirnya, kegiatan belajar anatomi dari kadaver tidak lagi menakutkan. Mahasiswa mulai fokus mengidentifikasi organ, saraf, otot, pembuluh darah, dan anatomi lainnya. Diskusi dan tanya jawab di sekeliling meja lab anatomi menjadi hal yang biasa. Kegiatan ini menjadi kesempatan emas untuk memahami anatomi tubuh manusia secara nyata.

4. Warna organ tubuh tidak sewarna-warni yang ada di buku

ilustrasi alat peraga anatomi yang berwarna-warni (frepik.com/prostooleh)

Lupakan ragam warna yang terlihat dari dalam buku dan alat peraga anatomi : pembuluh darah arteri berwarna merah, pembuluh darah vena berwarna biru, saraf kuning, otot dominan merah, dan organ dengan warna khasnya. Semua itu warnanya nyaris seragam pada kadaver, terlihat abu-abu, kecoklatan, atau agak membiru. Proses preservasi tubuh menggunakan formalin  akan menghilangkan warna asli jaringan.

Karena tidak bisa hanya mengandalkan perbedaan warna, para mahasiswa kedokteran dituntut untuk lebih teliti dan kritis dalam mengidentifikasi bagian tubuh. Mengenali anatomi kini bukan dari warna, tapi dari tekstur, bentuk, letak, jalur, dan hubungan antar organ tubuh. Mahasiswa jadi terlatih berpikir logis dan bisa membayangkan anatomi secara tiga dimensi, keterampilan yang pasti digunakan di tahap klinis nanti.

5. Tidak ada tubuh manusia yang sama

ilustrasi perbedaan bentuk tubuh manusia (freepik.com/freepik)

Awalnya, kebanyakan mahasiswa kedokteran mengira bahwa semua tubuh manusia itu persis sama seperti yang ada di buku anatomi. Namun, begitu praktikum langsung di lab anatomi, mereka menyadari bahwa tiap kadaver punya cerita dan keunikan tersendiri. Usia, jenis kelamin, riwayat kesehatan, gaya hidup, dan cara pengawetannya mempengaruhi bentuk anatomi pada masing-masing kadaver. Dengan ini, mereka dilatih lebih teliti, hati-hati, dan tidak hanya sekedar menghafal.

Para mahasiswa bisa menemukan ukuran organ yang berbeda, misalnya organ hati yang mengerut pada alkoholik atau usus yang membesar pada penderita megacolon. Mereka juga bisa tau kalau letak organ itu bervariasi, misalnya percabangan pembuluh darah yang bisa bercabang lebih awal, letak usus yang bergeser, atau bahkan adanya organ tambahan. Dari mengamati bentuk, ternyata bisa juga diketahui adanya riwayat penyakit. Misalnya paru-paru yang menghitam pada perokok atau tulang yang menebal akibat pernah mengalami cidera dan operasi.

6. Kadaver mengajarkan lebih dari sekedar anatomi

ilustrasi pembelajaran di laboratorium (freepik.com/DC studio)

Tidak hanya belajar bentuk dan letak organ, kadaver juga banyak mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Mahasiswa belajar empati, etika, rasa hormat, dan kesadaran tentang kematian. Belajar darinya juga memunculkan kekaguman atas ciptaan Sang Maha Pencipta serta rasa tanggungjawab sebagai seorang calon dokter.

Etika utama adalah menghormati sang guru besar. Para mahasiswa dilarang memotret sembarangan dan membuat candaan yang tidak pantas. Mereka diharuskan mengikuti proses pembelajaran berjalan dengan baik, dan memastikan bagian tubuh kadaver tersimpan dengan aman. Di beberapa kampus bahkan dilakukan upacara penghormatan di akhir semester sebagai wujud terima kasih kepada sang donor.

Belajar dari kadaver mungkin terdengar seram, tapi dari sanalah para mahasiswa kedokteran belajar hal-hal yang tidak ada di buku. Kadaver nggak cuma ngajarin mereka di mana letak jantung, tapi juga bagaimana cara menghargai hidup, kematian, dan orang yang rela mendonasikan tubuhnya demi ilmu. Kalau suatu hari nanti kamu dirawat dokter, percayalah di balik kemampuannya memeriksa dan mengobati, ada rasa takut yang dikalahkan, bau formalin yang melekat, dan “guru besar“ yang pernah membantunya belajar di meja lab anatomi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team