ilustrasi berkomentar di media sosial (Pexels/cottonbro)
Lalu, bagaimana seseorang meluapkan kemarahannya di media sosial? Dikarenakan akses yang tak terbatas yang mendorong inovasi pada setiap orang, tidak ada lagi yang namanya "rahasia" di media sosial. Semua orang tahu semua hal.
Oleh karena itu, salah satu cara yang paling sering dilancarkan adalah dengan cara membuat akun anonim. Akun ini sengaja dibuat untuk melancarkan serangan tanpa takut dibongkar identitasnya.
Dalam bukunya yang berjudul "The Psychodynamics Of Social Networking", Balick menjelaskan bahwa anonimitas adalah bagian besar dari meluapkan kemarahan di dunia maya. Menurut penelitiannya, pengguna akun anonim lebih banyak ditemukan di Twitter daripada Facebook.
"Seseorang cenderung lebih mudah meluapkan kemarahan di dunia maya jika memiliki akun anonim," katanya.
Oh, hal ini bukan tanpa sebab. Konsep anonimitas membuat seseorang berpikir bahwa mereka bisa luput dari segala tekanan sosial atau hukuman selama mereka tidak diketahui.
Salah satu contoh menarik hubungan anonimitas dan perilaku kasar ditunjukkan dalam eksperimen oleh seorang profesor psikologi bernama Prof. Ed Diener pada 1976.
Dalam eksperimennya yang berjudul "Effects of deindividuation variables on stealing among Halloween trick-or-treaters", sebanyak 27 rumah di Seattle membiarkan anak-anak diperbolehkan mengambil uang dan permen dalam perayaan Halloween. Trick or Treat!
Sebelumnya, pemilik rumah meletakan semangkuk penuh permen dan semangkuk penuh uang logam. Mereka mengizinkan anak-anak untuk mengambil satu permen. Lalu, pemilik rumah pura-pura pergi. Sebuah lubang dibuat untuk mengintip anak-anak tersebut.
Hasilnya? Dalam penelitian tersebut, sebanyak 1.300 anak mengambil permen dan uang lebih dari yang diharuskan! Dibandingkan dengan yang datang sendiri, mereka yang datang secara bergerombol mencuri lebih banyak.
Mengutip eksperimen tersebut, Heym mengatakan bahwa orang yang bergerombol cenderung merasa lebih aman saat meluapkan amarah mereka. Mengapa? Mereka merasa bahwa hal yang mereka lakukan tidak salah karena yang bergerombol pun ikut, menciptakan "false sense of solidarity".
Jika diterapkan pada kasus media sosial, saat satu orang "diserang" oleh banyak orang, hal tersebut mendorong orang-orang untuk ikut menjerumuskan. Kembali lagi ke konsep "satu lawan banyak".
Pernah melihat video yang satu tersebut? Video yang diliput oleh Inside Edition tersebut diunggah oleh Marissa Rundell.
Dalam video tersebut, seseorang bernama Susan Peirez pertama kekeh ingin berganti tempat duduk pesawat karena tangisan bayi sambil menunjukkan perilaku superioritas. Namun, saat Tabitha, sang pramugari kesal dan meminta Peirez dikeluarkan dari pesawat, Peirez langsung takut dan memohon untuk tidak dikeluarkan.
"Perubahan sikap yang drastis, ya."
Rundell mengunggah video ini ke Facebook dan ditonton hingga 2 juta orang, belum lagi saat agensi berita dan berbagai akun YouTube ikut mengunggah videonya.
Hasilnya? Peirez yang katanya "bekerja untuk pemerintah" dan memang benar bekerja untuk New York State Council on the Arts, kehilangan pekerjaannya.
Kasus ini menunjukkan kekuatan yang menakutkan dari gelombang amarah di media sosial. Satu kicauan atau status yang dinilai salah akan di-retweet atau di-share diikuti dengan status hinaan lalu menjadi viral.
Dalam beberapa hari, orang yang bersangkutan sudah dikucilkan, sampai menerima ancaman kematian, atau kehilangan pekerjaan mereka. Dalam kasus ini? Peirez kehilangan pekerjaannya.