10 Pembalap Terbaik McLaren sepanjang Sejarah Formula 1, Siapa Saja?

David Coulthard memang tak pernah menjadi juara dunia Formula 1. Namun, penampilannya terbilang sangat solid sebagai pembalap dengan raihan 13 kemenangan yang 12 di antaranya diraih bersama McLaren. Coulthard juga merupakan pembalap yang paling lama bekerja sama dengan McLaren.

Ia bergabung pada musim 1996 usai hengkang dari Williams. Sejak saat itulah ia mampu bersaing di jajaran atas tiap musimnya. Pembalap asal Inggris tersebut tiga kali menjadi peringkat ketiga dan pada musim 2001 ia menjadi runner up di belakang Michael Schumacher.

Namun, sejak saat itu performanya terbilang menurun dan justru kalah dari rekan setimnya, Kimi Raikkonen, yang tergolong pembalap muda. Alhasil, Coulthard pun resmi digantikan Juan Pablo Montoya pada musim 2005 sekaligus mengakhiri kerja sama dengan McLaren selama 9 musim.

Jenson Button bergabung dengan McLaren pada musim 2010 dan berduet dengan Lewis Hamilton. Ia pindah ke McLaren usai menjalani musim yang luar biasa bersama Brawn GP. Kala itu, Button tampil gemilang dengan merengkuh titel juara dunia pertamanya.

Selama membela McLaren, Button total meraih 8 kemenangan dan sempat menjadi runner up pada musim 2012. Ia juga menjadi pembalap terakhir McLaren terakhir yang meraih kemenangan, tepatnya pada GP brasil 2012, sebelum Daniel Ricciardo menang di Monza 9 musim berselang.

Sayangnya, pada musim 2013 performa McLaren perlahan mengalami penurunan. Hal ini membuat Button tak lagi mampu meraih kemenangan. Bahkan, di musim 2015 dan 2016 ia hanya bercokol di peringkat 16 dan 15 klasemen akhir. Hal itulah yang membuatnya pensiun di akhir musim.

Pada awal 2000-an Formula 1 memang begitu didominasi oleh Michael Schumacher yang mengendarai Ferrari. Namun, pada musim 2002 seorang pembalap muda bernama Kimi Raikkonen memutuskan bergabung dengan McLaren dan menjadi penantang serius Schumacher.

Bahkan, pada musim 2003 ia hampir saja menjadi juara dunia usai hanya terpaut dua poin dari Schumacher. Pada 2005 Kimi kembali menjadi runner up, kali ini ia kalah bersaing dengan Fernando Alonso yang membela Renault.

Saat itu McLaren memang memiliki masalah pada reliability mobil mereka yang membuat Raikkonen beberapa kali kehilangan poin akibat tak mampu menyentuh garis finis. Pada 2007, Kimi hijrah ke Ferrari dan sukses jadi juara dunia untuk pertama kalinya.

Emerson Fittipaldi sudah berstatus juara dunia bersama Lotus kala memilih bergabung dengan McLaren pada musim 1974. Debutnya pun berakhir dengan manis usai pembalap asal Brasil tersebut sukses merengkuh gelar juara dunia keduanya meski terbilang tidak mudah.

Pada seri terakhir di GP Amerika Serikat, Fittipaldi memiliki poin yang sama dengan pembalap Ferrari, Clay Regazzoni. Beruntung ia mampu finis keempat sementara Regazzoni yang finis ke-11 gagal mendapat poin.

Fittipaldi secara mengejutkan memutuskan pergi dari McLaren pada musim 1976 untuk membela tim Fittipaldi bentukan kakaknya, Wilson Fittipaldi. Hal itulah yang membuatnya tak mampu menambah gelar juara dunianya.

Kepergian Emerson Fittipaldi pada 1976 menjadi berkah tersendiri bagi James Hunt yang sebelumnya tampil menawan bersama tim papan tengah, Hesketh. Alhasil ketika diberi mobil sekelas McLaren, Hunt pun tampil gemilang dan menjadi penantang serius Niki Lauda dalam perebutan gelar juara dunia.

Lauda sebenarnya sempat mendominasi pada awal musim, namun kecelakaan yang menimpanya pada GP Jerman membuat Hunt perlahan mendekatinya. Pada akhirnya, jelang seri penutup di GP Jepang, Lauda hanya unggul tiga angka dari Hunt.

Balapan di sirkuit Fuji tersebut diwarnai hujan yang sangat deras hingga membuat Lauda memutuskan menarik diri dengan kembali ke pit. James Hunt yang finis ketiga sudah cukup membuatnya menjadi juara dunia untuk pertama kalinya.

Niki Lauda sempat memutuskan untuk pensiun usai merengkuh dua gelar juara dunia Formula 1 pada akhir musim 1979. Namun, tak berselang lama ia kembali mengaspal pada 1982 yang kali ini membela McLaren.

Bersama McLaren, pembalap asal Austria tersebut tak sedikit pun kehilangan kemampuannya meski sempat absen dalam beberapa musim. Puncaknya pada 1984 ketika ia meraih gelar juara dunia ketiganya usai mengalahkan rekan setimnya, Alain Prost, dengan selisih hanya setengah poin.

Lewis Hamilton menjadi pembalap yang paling dominan di Formula 1 sejak membela Mercedes pada 2013. Namun, rupanya bakat Hamilton sudah tampak di usia muda ketika ia masih membalap untuk McLaren.

Bahkan, di musim debutnya, ia hampir saja menjadi juara dunia. Sayang, ia kalah satu poin dari Kimi Raikkonen. Semusim berselang, Hamilton mampu membayar kegagalannya tersebut dengan menjadi juara dunia, sekaligus masih jadi gelar terakhir untuk McLaren. 

Setelah musim tersebut, Hamilton tak mampu menahan dominasi Sebastian Vettel yang meraih empat gelar juara dunia bersama Red Bull. Ia kemudian kembali menemukan performa terbaiknya usai menerima pinangan Mercedes.

Mika Hakkinen pertama kali membela McLaren pada 1993 dan sempat menjadi tandem bagi Ayrton Senna pada beberapa seri terakhir. Pada 1994 ia menjadi pembalap utama ketika Senna memutuskan hengkang ke Williams.

Butuh empat musim bagi Hakkinen untuk meraih kemenangan perdananya, tepatnya pada GP Eropa yang sekaligus menjadi seri terakhir di musim 1997. Namun, momentum tersebut rupanya mampu dibawa Hakkinen pada musim berikutnya.

McLaren yang memang punya mobil paling kencang pada 1998 membuat Hakkinen dengan mudah menyegel gelar juara dunia perdananya. Semusim berselang pembalap berjuluk The Flying Finn tersebut sukses mempertahankan gelarnya.

Alain Prost merupakan salah satu pembalap tersukses di Formula 1 dengan empat gelar juara dunia yang tiga di antaranya ia raih bersama McLaren. Prost datang ke McLaren pada 1984 usai empat musim membela Renault.

Di musim pertamanya ia hampir menjadi juara dunia ketika hanya berselisih setengah poin dari Niki Lauda. Musim berikutnya mampu dijawab dengan baik oleh pembalap asal Prancis tersebut dengan merebut gelar juara pertamanya yang kemudian disusul gelar kedua semusim berselang.

Gelar ketiga Prost pada musim 1989 terbilang sedikit kontroversial ketika ia bertabrakan dengan rekan setimnya, Ayrton Senna, pada GP Jepang. Meski Senna berhasil kembali ke lintasan dan memenangkan balapan, tak lama kemudian ia didiskualifikasi dan gelar juara dunia pun jatuh ke tangan Prost.

Ayrton Senna menjadi pembalap McLaren dengan jumlah kemenangan terbanyak, yakni 35 kali duduk di podium teratas. Pada 1988 McLaren menduetkan Senna dengan Alain Prost yang menjadikan keduanya salah satu rekan setim terpanas dalam sejarah Formula 1.

Musim itu menjadi dominasi penuh bagi McLaren. Mereka meraih 15 kemenangan dari 16 seri yang ada. Senna pun meraih gelar juara dunia perdananya usai bersaing ketat dengan Prost. Ia meraih 8 kemenangan, sedangkan Prost hanya 7.

Senna yang sempat kehilangan gelarnya pada 1989 dengan penuh drama kembali merebutnya semusim berselang dengan cara yang tak kalah kontroversial. Keduanya bertabrakan pada tikungan pertama di GP Jepang. Namun, kali ini Senna yang keluar sebagai juara.

Pada 1991 Senna kembali keluar sebagai juara dunia untuk ketiga kalinya. Meskipun sempat mendapat perlawanan dari duo Williams, Nigel Mansell dan RIccardo Patrese, Senna terbukti tampil lebih konsisten dan duduk nyaman di puncak klasemen.

Kesepuluh pembalap tersebut terbukti mampu menunjukkan kualitasnya ketika membela McLaren. Mereka mampu meraup banyak kemenangan dan bahkan ada yang menjadi juara dunia.