Tarian Perang yang Hiasi Pertandingan PON XX Papua

Budaya Papua harus dijaga

Jayapura, IDN Times - Bak serdadu perang, sekelompok orang dengan pakaian tradisional, bergerak lincah mengikuti irama musik yang keluar dari tifa dan kerang tiup. Mereka begitu kompak bersorak-sorai, sambil sesekali berjingkrak, layaknya membakar semangat dalam drama kolosal.

Badan dilumuri cat dengan motif khas. Mereka juga menggunakan baju adat lengkap plus aksesoris, seperti akar dan daun yang diikat pada pinggang, manik-manik kalung, hingga gelang, termasuk ikat kepala khas suku-suku di Papua. 

Yang paling menonjol, tentu senjata panah dan tombak yang dipergunakan dalam atraksinya. Mereka dengan piawai menggerakannya dan selaras dengan alunan lagu, seakan bakal menerkam musuhnya.

1. Ritual khusus perang di Ifar Besar

Tarian Perang yang Hiasi Pertandingan PON XX PapuaTarian dari Sanggar Hilare, Kampung Ifar Besar yang menunjukkan gerakan mengajak perang dan penyembahan terhadap gunung dan binatang. (IDN Times/Tata Firza).

Itu merupakan ritual khusus yang acap kali dilakukan Suku Sentani untuk menggambarkan semangat sebelum berperang. Biasanya, tarian tersebut dilakukan sebagai budaya dan kebiasaan untuk memberikan semangat orang-orang yang tampil di medan laga.

Namun, tenang saja, tarian itu dilakukan Sanggar Hilare, Kampung Ifar Besar, bukan untuk segera berperang. Mereka melakukan tarian rakyat untuk menyambut dan menghibur kontingen Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua yang datang ke GOR HMS Toware, Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura.

Baca Juga: Penutupan PON XX Papua 2021: Masyarakat Harus Tahan Diri

2. Makna setiap tarian yang ditampilkan di PON XX Papua

Tarian Perang yang Hiasi Pertandingan PON XX PapuaPimpinan Sanggar, David Kubia jelaskan makna tarian khas Papua. (IDN Times/Ilyas Mujib).

Pimpinan Sanggar, David Kubia, menyebut, tarian pertama yang ditunjukkan itu dinamakan tarian perang Flabae. Menurut dia, tarian itu merupakan lambang dari kepahlawanan dan gagahnya pasukan perang sukunya sejak dulu kala. Hal itu sudah dianggap sakral oleh sukunya, karena simbol ajakan turun berperang.

"Sejak perang suku dulu, tarian ini dilakukan untuk mengajak dan membakar semangat orang untuk berperang, tapi sekarang ini hanya dilestarikan dan tak boleh hilang. Ini bakal jadi warisan budaya kami," kata Kubia kepada IDN Times saat ditemui usai pertunjukkan.

3. Selain tari perang, ada juga tarian penyembah Gunung Cyclops dan Cendrawasih

Tarian Perang yang Hiasi Pertandingan PON XX PapuaTarian dari Sanggar Hilare, Kampung Ifar Besar yang menunjukkan gerakan mengajak perang dan penyembahan terhadap gunung dan binatang. (IDN Times/Tata Firza).

Sanggar Hilare tak hanya menunjukkan tari Flabae saja. Mereka juga menambahkan tiga aksi tarian lainnnya, seperti Robongholo, Ayehiyahe, serta Akoreyjaemaijae. Ketiganya pun punya makna berbeda dengan tarian Flabae yang sudah ditunjukkan.

"Robongholo itu merupakan pemujaan terhadap Gunung Cyclops ada dua gerakan berbeda di situ. Sementara, Ayehiyahe merupakan bentuk pemujaan kami kepada Cendrawasih yang merupakan burung khas dari Papua," ujar Kubia.

Sementara, gerakan terakhir, yakni tarian Akoreyjaemaijae, merefleksikan tentang pergaulan, hingga penghormatan tamu. 

Menilik mulai banyaknya budaya asing masuk, termasuk di Papua, Kubia berharap kearifan lokal tak semakin tergerus. Dia mengajak anak-anak muda Papua bisa menjaga budaya seni tari itu tetap bertahan. Tak terkecuali dengan bahasa daerah yang tetap dilestarikan. 

Baca Juga: Emas Sepak Bola PON yang Begitu Emosional untuk Papua

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya