Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi jersey Arsenal (unsplash.com/nelsonndongala)
ilustrasi jersey Arsenal (unsplash.com/nelsonndongala)

Intinya sih...

  • Jehad Muntasser diboyong Arsenal dari klub kasta keempat Italia pada awal 1997/1998

  • Jehad Muntasser hanya bermain selama 1 menit bersama Arsenal

  • Meski pernah menghuni Arsenal, karier Jehad Muntasser di level klub tidak terlalu cemerlang

Jehad Muntasser bukanlah sosok familier di telinga penggemar sepak bola. Bahkan, pendukung Arsenal mungkin banyak yang sama sekali tidak pernah mendengar namanya. Padahal, ia adalah mantan pemain klub kebanggaan mereka.

Situasi ini sebetulnya wajar mengingat Muntasser memang membela The Gunners dalam waktu sangat singkat. Meski begitu, ia menyimpan sebuah kisah yang cukup menarik. Momen kilat bersama Arsenal itu mengubah drastis hidupnya, terutama di negara asalnya, Libia.

1. Jehad Muntasser diboyong Arsenal dari klub kasta keempat Italia pada awal 1997/1998

Jehad Muntasser lahir di Tripoli, Libia, pada 26 Juli 1978. Ia pindah ke Italia pada usia 5 tahun bersama keluarga. Mereka mengikuti sang ayah yang harus bekerja di negara yang baru menjadi juara Piala Dunia pada 1982 itu. Muntasser lantas menjalani kehidupan normal. Layaknya bocah pria pada umumnya, ia pun menaruh minat kepada sepak bola.

Mimpinya untuk menjadi pemain profesional menjadi kenyataan setelah bergabung dengan akademi Atalanta. Sayangnya, pada awal Juli 1995, Muntasser harus rela dilepas kepada Pro Sesto. Namun, keajaiban menghampirinya 2 tahun berselang. Secara mengejutkan, ia diboyong Arsenal. Padahal, Pro Sesto saat itu hanya berstatus sebagai peserta kompetisi kasta keempat di Italia.

Keputusan The Gunners untuk merekrut Muntasser merupakan hasil pemantauan langsung dari manajer akademi mereka saat itu, Liam Brady. Mantan gelandang yang membela klub pada 1973—1980 tersebut memang tidak asing dengan skena sepak bola Italia. Ia pernah membela Juventus, Sampdoria, Inter Milan, hingga Ascoli pada 1980—1987.

2. Jehad Muntasser hanya bermain selama 1 menit bersama Arsenal

Meski dinilai punya bakat potensial, Arsenal tidak serta-merta menaruh Jehad Muntasser di skuad utama. Selain karena usianya yang masih 19 tahun, klub juga diperkuat nama-nama besar saat itu, di antaranya adalah Dennis Bergkamp, Marc Overmars, Ian Wright, dan David Platt. Mereka juga memiliki penggawa muda yang tidak kalah memesona, seperti Nicolas Anelka dan Luis Boa Morte. Oleh karena itu, Muntasser pun harus bersabar dengan lebih sering menghuni tim akademi.

Pada 13 Oktober 1997, Muntasser akhirnya mendapatkan kesempatannya. Ia masuk daftar susunan pemain untuk menghadapi Birmingham City di Piala Liga Inggris yang digelar di Highbury. Arsenal menang dengan skor 4-1. Namun, mereka meraihnya setelah mencetak tiga gol pada babak tambahan. Sempat tertinggal karena gol Antoine Hey pada menit 20, skuad besutan Arsene Wenger ini membalikkan keadaan lewat Boa Morte (62’ & 108’), David Platt (99’, penalti), dan Alberto Mendez (113’).

Merasa situasi telah aman, Wenger pun melakukan satu pergantian terakhir jelang laga usai. Ia menarik keluar Boa Morte pada menit 119. Pelatih asal Prancis itu mengganti pemain asal Portugal tersebut dengan Muntasser. Pria setinggi 1,8 meter ini masuk ke lapangan dengan mengenakan nomor punggung 36. Muntasser beraksi selama semenit. Ia membuat empat sentuhan sebelum akhirnya Uriah Rennie meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan.

3. Meski pernah menghuni skuad Arsenal, karier Jehad Muntasser di level klub tidak terlalu cemerlang

Sayangnya, karier Jehad Muntasser di level klub tidak berjalan dengan terlalu membanggakan. Setelah penampilan pada laga kontra Birmingham City, ia tidak pernah lagi mendapat kesempatan bermain bersama tim utama Arsenal. Pada akhir 1997/1998, Muntasser pun dilepas secara gratis kepada Bristol City.

Di klub barunya ini, Muntasser juga tidak dimainkan sama sekali. Ia pun kembali ke Italia untuk bergabung dengan Empoli pada awal 1999/2000. Nahas, peruntungan Muntasser tidak kunjung membaik.

Pencapaian tertingginya hanyalah mencetak 2 gol untuk US Triestina di Serie B Italia 2002/2003 dan bermain 4 kali di Serie A Italia bersama Treviso pada 2005/2006. Sisanya, Muntasser membela klub kecil lain di Italia, yaitu Viterbese, Perugia, Catania, dan L’Aquila. Sebelum pensiun pada 2011, ia sempat bermin untuk Al-Wakrah di Qatar dan Al-Ittihad di Libia.

4. Jehad Muntasser merasakan dampak bermain bersama Arsenal di tim nasional

Penampilan Jehad Muntasser bersama Arsenal nyatanya memberikan dampak baginya di tim nasional. Satu menit yang singkat itu sudah cukup membuat namanya tenar di Libia. Ia pun mendapat panggilan telepon dari Al-Saadi Gaddafi, anak ketiga pemimpin tertinggi Libia, Muammar Gaddafi. Al-Saadi mengajak Muntasser bergabung ke Timnas Libia. Pada periode tersebut, Al-Saadi juga memang tengah berkarier sebagai pesepak bola.

Sebelumnya, akibat situasi politik di Libia selama masa kepemimpinan Muammar, Muntasser memang tidak pernah terpikir untuk kembali ke negara asalnya. Namun, ajakan Al-Saadi akhirnya membuatnya berubah pikiran. Ia pun membela Timnas Libia dan menjadi salah satu pemain kunci dalam keberhasilan lolos ke Piala Afrika 2006. Ini merupakan penampilan kedua Libia di Piala Afrika setelah 1982. Bersama Timnas Libia, Muntasser sendiri mengoleksi 10 caps, 2 gol, dan 1 assist.

"Aku mendapat kesempatan untuk bermain di tim utama (Arsenal). Oke, itu mungkin hanya beberapa menit. Namun, Anda bisa membayangkan bagaimana rasanya bagi seorang anak dari Libia, bermain untuk salah satu klub paling tenar di dunia pada usia 19 tahun. Itu luar biasa," kata Muntasser, dilansir Goal.

"Aku bermain bersama tim nasional pada kemudian hari karena pertandingan (bersama Arsenal) tersebut. Meski hanya beberapa menit, aku pikir saat itu aku adalah pemain Arab pertama yang membela klub English Premier League. Jadi, ini bukanlah sebuah hal biasa," tegas Muntasser.

Bagi Jehad Muntasser, kisah singkat bersama Arsenal memang bukanlah sesuatu yang tidak bermakna. Sebagai seseorang yang berasal dari wilayah tanpa tradisi sepak bola yang kuat, itu merupakan sebuah pencapaian yang sangat berharga. Momen tersebut bahkan mengantarnya merealisasikan sebuah mimpi yang rasanya dimiliki semua orang yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional, yaitu membela tim nasional.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team