TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ketika Pidato Drogba Setop Perang dan Ciptakan Kemerdekaan

Kejadian ini merupakan salah satu yang paling luar biasa

Didier Drogba (twitter.com/FutbolBible)

Jakarta, IDN Times - "Sepak bola lebih dari sekadar olahraga", sebuah frase yang sering kita dengar sehari-hari. Tapi, memang pada dasarnya sepak bola bisa menjadi sebuah kekuatan yang besar dalam upaya menyatukan orang-orang.

Revolusioner seperti Ernesto Che Guevara hingga Nelson Mandela percaya, kalau sepak bola dan olahraga lainnya, punya hal yang spesial. Che Guevara bahkan menggunakan sepak bola sebagai alat komunikasinya dalam urusan politik.

Sebab, Che Guevara merasa kalau bahasa sepak bola itu universal, dipahami oleh segala macam kalangan. Cuma satu tujuan dalam sepak bola, guyub demi bersenang-senang di lapangan.

Didier Drogba menjadi salah satu tokoh sepak bola dunia yang mewujudkan ungkapan itu. Singkatnya, lewat sepak bola, Drogba telah menyatukan kembali negaranya, Pantai Gading, yang sempat panas akibat konflik kepentingan antara 2 kelompok.

Pada 8 Oktober 2005, laga kualifikasi Piala Dunia 2006 tengah berlangsung. Kemenangan bagi Kamerun melawan Mesir akan membuat mereka lolos ke Piala Dunia keenam sepanjang sejarahnya. Apapun yang kurang dari itu, akan memungkinkan Pantai Gading lolos saat menghadapi Sudan. Mereka hanya tertinggal satu poin untuk melangkah lebih jauh dan lolos untuk pertama kalinya ke Piala Dunia.

Baca Juga: Menjadi Merdeka Seperti Athletic Bilbao

1. Konflik di tengah harapan

Didier Drogba. (express.co.uk)

Saat berusaha lolos ke Piala Dunia, kondisi politik di Pantai Gading sebenarnya tak terlalu ideal. Terjadi perang sipil yang memecah belah Pantai Gading.

Perang tersebut sudah berlangsung sejak 2002, melibatkan pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo yang memimpin bagian selatan dengan faksi pemberontak, The New Forces of Ivory Coast, pimpinan Guillaume Soro mengontrol bagian utara.

Pada 19 September 2002, pertempuran pecah dengan pemberontak menyerang berbagai kota di seluruh penjuru negeri. Sebastien Gnahore, mantan pesepak bola yang melarikan diri dari Pantai Gading, mengenang masa-masa kelam itu.

"Itu mengerikan. Ketika saya menelepon saudara perempuan saya, terdengar jelas suara tembakan dari luar rumah. Mereka semua bersembunyi di bawah tempat tidur selama empat hari, dan hanya keluar untuk mencari makanan," ungkapnya dikutip BBC.

Pertempuran berlangsung sengit, namun bertahan dua tahun saja. Tapi, saat situasi mulai kondusif, pada 2005, eskalasi antara kedua kubu kembali meningkat dan terjadi lagi perang.

2. Generasi emas Pantai Gading yang bawa senyum

Didier Drogba (azcentral.com)

Dunia sepak bola tampak sangat jauh dari kehidupan biasa. Uang yang begitu banyak bisa membawa mereka ke mana saja. Bahkan, bisa membuat para profesional hilang rasa, simpati, dan empati. Tetapi para pemain Pantai Gading, dalam kondisi tersebut, meskipun mereka hidup bergelimang harta di Eropa, tak lantas lupa dengan kampung halamannya.

Mereka sadar, kala itu harus berbuat lebih untuk negaranya. Para generasi emas Pantai Gading yang digawangi Drogba, Kolo Toure, Emmanuel Eboue, Didier Zokora, hingga Yaya Toure, punya satu tujuan, menyatukan kembali negaranya.

Namun, mereka cuma punya satu senjata kala itu, apalagi kalau bukan sepak bola. Maka dari itu, seluruh anggota generasi emas Pantai Gading bernafsu membawa negaranya lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Baca Juga: Menjadi Merdeka Seperti Athletic Bilbao

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya