TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengupas Alasan Anjloknya Prestasi Sepak Bola Turki 

Berkaitan erat dengan konstelasi politik dan ekonomi

Ozan Kabak saat berseragam timnas Turki (instagram.com/millitakimlar)

Turki pernah jadi salah satu kiblat sepak bola dunia pada awal milenium alias sekitar 3 dekade lalu. Usai jadi semifinalis Piala Dunia 2002 dan lolos ke 8 besar Piala Eropa 2008, Timnas Turki seakan hilang dari peredaran. Tak ada lagi sosok seperti Rustu Recber, Arda Turan, Halil Altıntop, atau Emre Belözoğlu. Mereka tak lagi pernah bisa berprestasi di level internasional maupun regional. 

Anjloknya performa timnas setali tiga uang dengan prestasi klub asal Turki. Tiga klub terbesar mereka, Fenerbahce, Besiktas, dan Galatasaray lebih sering meramaikan fase grup UEFA Champions League dan UEFA Europa League ketimbang jadi pesaing kuat klub-klub elite Eropa. 

Apa yang sebenarnya mendasari anjloknya prestasi sepak bola Turki? Beberapa poin berikut mungkin bisa menjawab rasa penasaranmu.

1. Tidak banyak ruang untuk pengembangan atlet muda asli Turki 

Timnas Turki (instagram.com/millitakimlar)

Faktor pertama yang bisa menjelaskan kejatuhan sepak bola Turki adalah minimnya komitmen dan kesadaran untuk membuat rencana jangka panjang. Pengembangan sepak bola tidak bisa dilakukan dalam waktu 1-2 tahun. Hungaria dan Jepang misalnya butuh waktu 1 dekade lebih untuk bisa menuai hasil seperti sekarang. 

Sementara, di Turki kesuksesan instan justru yang dicari oleh klub-klub sepak bola. Alih-alih fokus pada pendidikan atlet muda, klub-klub Turki justru menjelma jadi tempat penampungan bintang klub elite Eropa yang kariernya meredup. 

Tren mendatangkan pemain bintang asal Eropa yang hampir pensiun terjadi mulai tahun 2010-an ketika kebijakan pembatasan pemain asing di Turki dihapuskan. Addesa dan Delice dalam tulisannya berjudul "Reform Effectiveness and Unresolved Issues of the Football in the Turkish Super League" merangkum transformasi kebijakan pemain asing di klub Turki yang ternyata justru mengalami peningkatan kuota.

Pada akhir 1990-an, klub hanya boleh mengontrak lima pemain asing dan memainkan kelimanya secara bersamaan. Pada era 2015-2018, TFF memang menganjurkan klub memiliki 14 pemain (dari total 28 pemain dalam skuad) yang memenuhi syarat untuk mewakili Timnas Turki. Namun, secara bersamaan kebijakan tersebut memungkinkan klub mengontrak 14 pemain asing dan memainkan 11 sekaligus secara bersamaan. 

Kehadiran pemain asing membuat ruang gerak atlet muda Turki pun makin sempit. Turki pun kesulitan membangun skuad terbaik untuk tim nasional mereka. 

Baca Juga: 5 Pemain Turki Terakhir yang Menjadi Top Skor Super Lig

2. Manajemen yang buruk diperparah krisis ekonomi dan inflasi

Timnas Turki (instagram.com/millitakimlar)

Penulis buku The Passion: Football and the Story of Modern Turkey, Patrick Keddie menuliskan opininya tentang sepak bola Turki di The National News. Menurutnya, salah satu faktor jatuhnya sepak bola di negara itu adalah faktor ekonomi. Dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan devaluasi nilai tukar Lira, banyak klub yang terlilit hutang dan terjerembab dalam krisis ekonomi. Termasuk tiga klub terbesar mereka. 

Apalagi, mayoritas klub Turki bergantung pada suntikan dana sponsor, baik dari pebisnis, politisi, maupun oligarki. Kecenderungan mencari muka dengan mendatangkan pemain dan pelatih bintang yang kariernya meredup membuat pengeluaran mereka pun lebih besar daripada penghasilan.

Beberapa klub sempat bermasalah dengan regulasi Financial Fair Play UEFA. Pada 2016, Galatasaray sempat dilarang bermain di berbagai kompetisi Eropa karena isu tersebut. Pada musim 2021/2022, giliran Trabzonspor yang disanksi karena alasan serupa. 

Padahal, kedatangan pemain bintang yang meredup juga tidak berkontribusi banyak pada kondisi keuangan mereka. Justru sebaliknya, klub dibebani dengan kewajiban membayar gaji tinggi, padahal nantinya kebanyakan para pemain tersebut akan dilepas tanpa kompensasi karena pensiun. Bandingkan dengan klub-klub Portugal dan Jepang misalnya yang bisa bertahan menghadapi kapitalisme dengan mengembangkan akademi guna melahirkan talenta-talenta muda baru yang punya nilai komersial tinggi. 

3. Intervensi politik yang terlalu besar dari partai berkuasa 

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan saat menghadiri acara di Stadion Nef (instagram.com/rterdogan)

Merujuk tulisan Daghar Irak berjudul "Football in Turkey During the Erdoğan Regime" dalam jurnal Soccer & Society, sejak Justice and Development Party (AKP) yang menaungi Recep Tayyip Erdogan memenangi pemilu, mereka dengan sistematis melakukan berbagai cara untuk membungkam kritik dan membatasi pergerakan oposisi. Termasuk dalam sepak bola yang sejak lama jadi panggung politik untuk beberapa tokoh dan komunitas penggemar. 

Kecenderungan tersebut akhirnya termanifestasi secara legal lewat referendum konstitusi tahun 2010. Sejak saat itu, keterlibatan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan warga Turki makin besar, tak terkecuali dalam mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil Turkish Football Federation (TFF).

Berbagai terobosan kebijakan yang diambil TFF berdasarkan rekomendasi pemerintah pun menuai kontra, terutama dari kalangan sekuler dan antipemerintah. Misalnya saja restriksi penjualan miras, sanksi lebih berat untuk perusuh, sampai penetapan skema penjualan tiket baru (Passolig) yang dipercaya dilakukan untuk mengumpulkan data pribadi penggemar guna menyaring kelompok-kelompok antipemerintah.

TFF dan pemerintah sendiri berargumen kebijakan-kebijakan tersebut ditetapkan dengan tujuan mengurangi hooliganism dan aksi kekerasan dalam pertandingan sepak bola. Namun, ini justru direspons penggemar dengan menolak menonton pertandingan di stadion yang semakin memperparah kondisi keuangan klub. 

Pemerintah dan TFF juga sempat memenjarakan beberapa petinggi klub karena kasus pengaturan skor. Namun, dalam prosesnya, hasil persidangannya selalu bergantung pada kedekatan pihak-pihak yang bersangkutan dengan AKP dan Erdogan. Tak heran bila beberapa petinggi klub bisa bebas melakukan berbagai pelanggaran dan aksi tak disiplin karena absennya sanksi yang jelas. 

4. Praktik kronisme dan nepotisme yang hanya menguntungkan kubu tertentu 

Mesut Ozil dan rekan-rekannya di Basaksehir (instagram.com/ibfk2014)

Hannah Lucinda Smith dari The Spectator menyoroti faktor menarik lain seputar kejatuhan prestasi sepak bola Turki, yakni praktik kronisme dan nepotisme. Beberapa tahun belakangan, muncul klub baru yang mencuri perhatian di Turki, Istanbul Basaksehir. Klub ini promosi ke Super Lig pada pertengahan 2000-an, kemudian berhasil mendobrak dominasi tiga klub besar Istanbul pada 2014. Mereka juga membangun stadion megah baru. 

Menurut Irak dalam risetnya, Basaksehir bisa disebut sebagai media sportswashing Erdogan. Pernyataan pro dan dukungan tidak langsung atas nilai, aksi, dan kebijakan AKP maupun Erdogan kerap terdengar dari klub ini.

Sama dengan klub-klub lainnya, Basaksehir juga dengan percaya diri mendatangkan bintang-bintang yang mulai meredup, seperti Arda Turan dan Mesut Oezil. Padahal, mereka hanya punya sedikit penggemar yang semakin memperkuat indikasi bahwa klub ini memang didukung penuh oleh dana-dana oligarki-oligarki yang terafiliasi dengan partai AKP. 

Belum lagi kebijakan kewajiban kepemilikan kartu Passolig untuk penonton Super Lig yang dinilai banyak orang dibentuk pula untuk menguntungkan sebuah bank yang dimiliki kroni terdekat Erdogan. 

Baca Juga: Trabzonspor, Juara Liga Super Turki yang Dobrak Hegemoni Istanbul 

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya