TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Udinese, Klub Papan Tengah Serie A yang Prestasinya Melonjak

Menempel ketat Napoli dan Atalanta pada 2022/2023

Pemain Udinese merayakan gol. (instagram.com/udinesecalcio)

Sejak beberapa tahun lalu, Serie A Italia jadi salah satu liga yang menarik. Semua karena peta kekuatan mereka tak tertebak layaknya liga-liga top lain di dunia. Mulai muncul kekuatan baru macam Atalanta, disusul dengan Napoli yang seakan menjatuhkan dominasi klub-klub utara Italia. 

Pada 2022/2023, keseruan Serie A ditambah dengan kehadiran Udinese Calcio atau yang biasa disebut Udinese. Klub berkostum hitam/putih ini turut meramaikan perebutan scudetto. Musim ini memang masih jauh dari akhir, tetapi menarik untuk menilik lebih dekat kunci sukses mereka sejauh ini. 

Mari berkenalan dengan Udinese, klub papan tengah Serie A yang prestasinya melonjak pada awal musim 2022/2023.

1. Dulunya merupakan klub anggar, meluas ke cabor sepak bola sejak 1911

skuad Udinese pada tahun 1964 (udinese.it)

Sebelum Udinese Calcio lahir, terlebih dahulu berdiri sebuah klub olahraga bernama Societa Udinese di Ginnastica e Scherma (Udinese Gymnastics and Fencing Club) pada 1896. Barulah kemudian cabang olahraga sepak bola mereka didirikan pada 1911 dan diakui keberadaannya oleh Federasi Sepakbola Italia (FIGC). 

Setelah berdiri, mereka melakoni beberapa pertandingan persahabatan dan akhirnya berpartisipasi dalam turnamen profesional. Setelah 13 tahun berlaga di liga divisi pertama (kini Serie A), mereka sempat terdegradasi ke divisi dua (Serie B) pada 1920-an, kemudian terjerembab ke divisi tiga (Serie C) pada era 1930-an. 

Mereka kembali ke Serie B pada 1940-an dan akhirnya merasakan kembali Serie A pada 1950-an. Mereka bahkan sempat menjadi runner-up pada 1954/1955. Namun, kecemerlangan tersebut berubah pahit ketika Udinese terbukti melakukan beberapa kecurangan. Mereka pun resmi direlegasi ke Serie B pada Agustus 1955. 

Baca Juga: 5 Pemain Udinese dengan Performa Paling Mengesankan Sejauh Ini, Apik!

2. Gejolak tak kunjung berakhir pada era 1960—1970-an

Andrea Sottil saat masih berstatus pemain Udinese pada 2003, kini menjabat pelatih Udinese sejak Juni 2022. (instagram.com/udinesecalcio)

Gejolak dan masalah ternyata tak berhenti menghantui Udinese pada era-era berikutnya. Sebenarnya, usai terelegasi ke Serie B untuk 1955/1956, mereka langsung merengkuh gelar juara dan berhak promosi ke Serie A pada musim berikutnya.

Mereka bertahan di Serie A sampai 1960. Pada 1961/1962, mereka harus kembali ke Serie B dan terjerembap ke Serie C pada 1962/1963. Udinese bertahan di Serie C selama 15 tahun setelah itu. 

Barulah pada 1977/1978, Udinese berhasil promosi ke Serie B. Perjuangannya panjang dan butuh otak-atik skuad serta pelatih beberapa kali. Nama yang menurut mereka penting dalam perjuangan tersebut adalah pelatih Massimo Giacomini dan seorang penyerang bernama Nerio Ulivieri. Giacomini juga mengantar Udinese kembali ke Serie A pada musim berikutnya.

3. Sempat berjaya pada 1980-an, tetapi tak bertahan lama

Pemain Udinese merayakan gol bersama penggemar. (instagram.com/udinesecalcio)

Sayangnya, pada 1979/1980, terjadi pergantian manajemen. Giacomini pun digantikan Corrado Orrico, pelatih pilihan pemilik baru Udinese saat itu. Namun, Orrico tidak berhasil memenuhi ekspektasi manajemen dan penggemar.

Setelah kalah beberapa kali, ia memutuskan mengundurkan diri. Posisinya kemudian digantikan oleh beberapa pelatih yang juga gagal membawa perubahan berarti. 

Barulah kedatangan pemain Brasil, Arthur Antunes Coimbra alias Zico, memberikan harapan baru untuk Udinese. Ia berkontribusi dalam kemajuan prestasi Udinese pada 1983. Namun, Zico seakan dikutuk oleh cedera dan beberapa masalah yang membuat kontribusinya tak lagi signifikan. 

Pada 1986, Udinese kembali terjegal skandal yang membuat poin mereka harus terpotong. Dengan pengurangan poin tersebut, Udinese kembali ke Serie B untuk sekian kalinya. Saat itu, mereka berada di bawah manajemen baru, keluarga Pozzo yang menggantikan dinasti sebelumnya, Sanson.

4. Prestasi mulai stabil sejak status kepemilikan klub dipegang Giampaolo Pozzo

Pemain Udinese saat melawan AS Roma. (instagram.com/udinesecalcio)

Butuh hampir 1 dekade untuk akhirnya membuat Udinese bisa bertahan di Serie A. Pozzo berhasil menstabilkan prestasi Udinese dengan strategi yang cukup unik. Melansir tulisan Di Minin dkk yang berjudul "Udinese Calcio Soccer Club as a Talents Factory: Strategic Agility, Diverging Objectives, and Resource Constraints", awalnya Pozzo mencari pemain-pemain legenda yang mulai menurun pamornya, tetapi belum tertarik pensiun. 

Ternyata strategi yang diterapkan selama akhir 1980-an dan awal 1990-an ini tak begitu berhasil. Barulah setelah mereka promosi ke Serie A pada 1995, Pozzo menerapkan strategi bisnis baru.

Triknya adalah menjaga kesehatan keuangan mereka dan meningkatkan kualitas pemain. Jadi, bukannya membeli pemain yang sudah hebat, Udinese fokus memboyong pemain-pemain muda potensial untuk dididik di klub mereka. 

Udinese tidak hanya menawarkan pendidikan, tetapi juga memberikan pengalaman bagi para pemain muda ini untuk berlaga di salah satu liga bergengsi di dunia. Tak pelak, bukan hal sulit bagi mereka mencomot nama-nama potensial. 

Strategi ini banyak ditiru klub-klub papan tengah lain di dunia. Mereka menempatkan diri sebagai "pabrik talenta andal" yang kemudian diharapkan bisa jadi sumber profit klub ketika pemain binaan mereka diminati klub besar.

Baca Juga: 5 Rekrutan Anyar Udinese Calcio pada Musim Panas 2022

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya