Apa Penyebab Penurunan Drastis Performa Girona pada 2024/2025?

Girona, yang musim lalu menggemparkan LaLiga Spanyol dengan finis di peringkat ketiga, kini justru harus berjibaku menghindari degradasi pada 2024/2025. Meski kemenangan tipis 1-0 atas Real Valladolid pada jornada ke-36 memastikan kelangsungan mereka di kasta tertinggi, hal ini tetap tidak menutupi kenyataan pahit soal penurunan drastis performa mereka. Kondisi ini pun memunculkan banyak tanda tanya mengenai apa yang sebenarnya menjadi penyebab keterpurukan tim asuhan Michel Sanchez ini.
Pada 2023/2024, Girona tampil memukau berkat kombinasi serangan cepat, mentalitas agresif, dan dukungan para pemain kunci yang tampil gemilang sepanjang musim. Namun musim ini, tim kehilangan sentuhannya, permainan mereka terlihat tumpul, dan hasil pertandingan pun cenderung mengecewakan. Lantas, apa saja aspek krusial yang menjadi akar dari penurunan drastis Girona pada 2024/2025?
1. Kehilangan pemain pilar dan kegagalan pengganti jadi pemicu utama penurunan performa Girona
Musim panas 2024 menjadi titik awal kejatuhan Girona ketika sejumlah pemain penting memilih atau dipaksa hengkang. Artem Dovbyk, yang mencetak 24 gol dan 8 assist musim lalu, bergabung dengan AS Roma. Savinho, yang mencatatkan 9 gol dan 10 assist, kembali ke Manchester City, sedangkan Aleix Garcia hijrah ke Bayer Leverkusen. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan besar di skuad Blanquivermells.
Tak hanya itu, tiga pemain pinjaman penting, yakni Eric Garcia dan Pablo Torre, kembali ke Barcelona, dan Yan Couto kembali ke Manchester City sebelum dijual ke Borussia Dortmund. Enam pemain tersebut menjadi pilar permainan Girona pada musim sebelumnya, baik dari segi kreativitas, ketangguhan bertahan, maupun agresivitas menyerang. Kehilangan mereka secara bersamaan meruntuhkan struktur utama dalam sistem permainan sang pelatih yang bergantung kepada transisi cepat dan permainan melebar.
Sayangnya, Girona gagal menghadirkan pengganti yang sepadan. Abel Ruiz, yang direkrut dari Sporting Braga seharga 9 juta euro (Rp166,8 miliar) untuk menggantikan Dovbyk, memiliki gaya bermain yang sama sekali berbeda. Ia tidak lebih kuat secara fisik, tidak dominan di udara, dan minim memberikan ancaman di kotak penalti. Di sisi lain, pembelian termahal klub, Yaser Asprilla seharga 18 juta euro (Rp333,7 miliar) dari Watford, serta Arnaut Danjuma yang dipinjam dari Villarreal, juga tak mampu menutupi lubang yang ditinggalkan Savinho. Keduanya hanya mencetak total 8 kontribusi gol musim ini, malah kerap dicadangkan dalam 5 laga terakhir.
2. Hilangnya kepercayaan diri Girona dalam menyerang yang diperkuat dengan statistik
Musim lalu, Girona dikenal sebagai tim yang berani ambil risiko hingga mampu mengalahkan Barcelona dua kali dengan skor 4-2. Filosofi menyerang Pelatih Michel mencerminkan tim yang haus gol dan percaya diri menekan sejak menit awal. Namun kini, permainan agresif tersebut lenyap, tergantikan oleh gaya bermain yang statis dan penuh keraguan.
Statistik memperkuat perubahan tersebut. Berdasarkan statistik Fotmob, jumlah peluang emas yang tercipta menurun tajam dari 131 menjadi hanya 63 musim ini. Expected goals (xG) tim anjlok dari 71,8 menjadi 39,5, sementara jumlah gol yang tercipta hanya 42 dibandingkan 85 musim lalu. Sentuhan di kotak penalti pun berkurang drastis, dari 1.048 menjadi 810 kali yang mengindikasikan betapa berkurangnya agresivitas dan kepercayaan diri lini serang Girona.
Selain masalah teknis, penurunan performa mereka juga melibatan mental. Michel yang sebelumnya dikenal sebagai pelatih berani kini tampak kehilangan nyali. Para pemain bermain cemas, menghindari umpan vertikal berisiko, dan lebih memilih bertahan tanpa inisiatif. Bahkan, pemain seperti Donny van de Beek dan Oriol Romeu lebih sering kalah dalam duel yang memperlihatkan Girona benar-benar kehilangan kepercayaan diri mereka di lapangan tengah. Tanpa semangat menyerang yang menjadi ciri khasnya, Girona tak lagi menjadi momok yang mengancam bagi lawan.
3. Girona tak mampu mengatasi tekanan jadwal yang sangat pada di liga domestik dan Eropa
Partisipasi Girona di Liga Champions Eropa 2024/2025 menjadi berkah sekaligus kutukan. Mereka tidak siap menghadapi jadwal padat yang menuntut mereka berlaga dengan jeda 3 hari dengan skuad dan rotasi pemain yang tidak memadai. Dalam kondisi ideal pun, tim kecil seperti Girona harus cermat dalam mengelola beban fisik pemain, apalagi saat kehilangan banyak pilar utama.
Akibatnya, cedera pun tak terhindarkan. Nama-nama seperti Yangel Herrera, Bryan Gil, dan Donny van de Beek tercatat mengalami cedera berkepanjangan, membuat Pelatih Michel harus mengandalkan pemain lapis kedua yang kurang berpengalaman. Hal inilah yang membuat sang juru taktik kesulian dalam menjalankan strateginya di lapangan.
Situasi ini berdampak langsung kepada hasil pertandingan. Hingga pekan ke-36 liga, Girona hanya meraih 11 kemenangan, mencetak rata-rata 1,17 gol per pertandingan dan kebobolan 1,47 gol per laga. Bahkan, hingga pertengahan Mei 2025, mereka baru mencatatkan dua clean sheet sejak Januari 2025. Ini menunjukkan lemahnya keseimbangan antara lini depan dan lini belakang akibat beban kompetisi yang tidak diimbangi kedalaman skuad.
Musim menakjubkan Girona tahun lalu dengan cepat berubah menjadi mimpi buruk, terutama disebabkan ketidaksiapan struktural, kegagalan transfer, dan tekanan kompetisi. Jika tidak ada perbaikan serius dari klub, kisah sukses mereka bisa berakhir sebagai kenangan singkat di tengah kerasnya LaLiga Spanyol.