Apa yang Membuat Pertahanan Manchester City Begitu Rapuh?

Manchester City sukses meraup tiga poin usai memenangi laga melawan Fulham pada pekan ke-14 English Premier League (EPL) 2025/2026. Meski begitu, kemenangan ini mengekspos masalah lini pertahanan The Cityzens yang sempat unggul 5-1 hingga menit ke-50. Tim yang dahulu identik dengan kontrol solid kini memperlihatkan penurunan stabilitas yang membuat keunggulan mereka mudah terancam karena rapuhnya fase bertahan kendati mendominasi pertandingan.
Empat laga terakhir hingga 3 Desember 2025 menunjukkan pola yang konsisten dan sulit diabaikan, terutama karena Manchester City kembali kebobolan lebih dari satu gol dalam setiap pertandingan. Kekalahan dari Newcastle United dan Bayer Leverkusen mengungkap kelemahan transisi bertahan yang makin mencolok. Sementara itu, dua kemenangan yang nyaris sirna melawan Leeds United dan Fulham mempertegas persoalan ini berakar pada struktur permainan, bukan sekadar insiden sesaat.
1. Pola goyahnya pertahanan Manchester City telah berulang dalam 4 laga terakhir
Manchester City menunjukkan pola yang mengkhawatirkan ketika mereka tidak lagi mampu mempertahankan keunggulan. Dalam empat pertandingan terakhir, mereka selalu kebobolan lebih dari satu gol, termasuk kekalahan 1-2 dari Newcastle United pada pekan ke-12 Premier League 2025/2026 dan 0-2 dari Leverkusen pada matchday ke-5 Liga Champions Eropa 2025/2026. Dua kemenangan lain justru memperlihatkan kerentanan yang lebih besar karena Manchester City harus kebobolan 2 gol dari Leeds United dan 4 gol dari Fulham.
Laporan The Athletic mengungkap, Manchester City telah enam kali musim ini kehilangan keunggulan setelah memimpin, sesuatu yang jarang terjadi pada era Pep Guardiola sebelumnya. Situasi itu memperkuat persepsi, The Cityzens tidak lagi memegang kendali utuh ketika memimpin. Bahkan lawan yang berada di bawah tekanan mampu membalikkan momentum hanya dengan memanfaatkan momen-momen pasif Manchester City.
Laga melawan Leeds menjadi gambaran paling jelas karena lawan mampu mencetak dua gol dalam periode singkat pada babak kedua. Tempo permainan Manchester City merosot tajam sehingga The Whites dapat memaksa pertandingan bergulir sesuai keinginan mereka. Sementara itu, Fulham mencetak 3 gol dalam rentang 20 menit pada babak kedua, yang memaksa Manchester City bertahan panik hingga menit akhir.
Manchester City tampak menjadi tim yang selalu mengundang ancaman karena setiap penurunan ritme langsung menghasilkan peluang bagi lawan. Dominasi yang sempat dibangun melalui gol-gol cepat runtuh ketika mereka gagal menjaga intensitas. Pola ini menandai perubahan karakter yang sangat berbeda dibandingkan stabilitas yang pernah menjadi basis dari tim-tim juara Guardiola.
2. Krisis defensif Man City dipicu hilangnya kontrol, blunder pemain, dan hilangnya figur kunci
Masalah utama Manchester City muncul dari hilangnya kontrol permainan ketika mereka memasuki fase unggul. Tempo yang merosot membuat tim tidak mampu untuk kembali mengatur aliran pertandingan, seperti yang terlihat secara ekstrem saat menghadapi Leeds United. Seluruh babak kedua menjadi milik tim lawan tanpa adanya respons struktural yang efektif dari Manchester City.
Kesalahan individual juga memperburuk struktur pertahanan yang sudah melemah. Josko Gvardiol membuat tekel sembrono dan kehilangan fokus dalam beberapa situasi, termasuk blunder yang menghasilkan penalti melawan Leeds. Ruben Dias juga tampil di bawah standar ketika ia terlambat naik garis sehingga dua gol Fulham tetap onside yang menggambarkan ketidaksinkronan antarbek tengah.
Kontribusi defensif dari lini tengah pun menunjukkan ketidakseimbangan karena Bernardo Silva dan Tijjani Reijnders dinilai kurang disiplin dalam momen tanpa bola. Penyebabnya makin terlihat jelas ketika absennya Rodri membuat Manchester City kehilangan figur pengatur transisi yang menjadi fondasi pertahanan mereka selama bertahun-tahun. Bayer Leverkusen memanfaatkan kekosongan itu dengan melakukan dua serangan balik cepat yang berbuah gol.
Masalah kedalaman skuad menambah kompleksitas karena Pep Guardiola tampak kehilangan solusi dari bangku cadangan. Dalam laga penuh kekacauan melawan Leeds, ia hanya melakukan satu pergantian sebelum menit ke-89, yang mencerminkan minimnya kepercayaan terhadap pemain pelapis. Kondisi ini selaras dengan kritik ketika Manchester City tidak lagi memiliki cadangan berkualitas tinggi seperti era beberapa musim sebelumnya.
BBC mencatat, Manchester City sudah kebobolan 16 gol dalam 14 laga Premier League, angka yang tidak biasa bagi tim yang menargetkan gelar juara. Angka tersebut menandaskan pertahanan Manchester City tak sekadar bermasalah dalam momen tertentu, tetapi telah memasuki fase krisis secara struktural. Tim yang sebelumnya memimpin liga dalam catatan clean sheet, kini malah tampil gamang menghadapi tekanan.
3. Jadwal padat pada Desember 2025 akan jadi ujian berat bagi pertahanan Manchester City
Krisis pertahanan ini memberikan implikasi langsung terhadap persaingan gelar Premier League 2025/2026, terutama ketika Arsenal menampilkan stabilitas signifikan. Dengan hanya kebobolan 7 gol dari 13 laga, Arsenal memiliki fondasi defensif yang jauh lebih solid dibanding Manchester City. Perbedaan itu menciptakan kesenjangan yang berbahaya bagi tim karena efektivitas serangan saja tidak cukup untuk mengimbangi kelemahan struktural.
Kekalahan dari Bayer Leverkusen juga mengupas masalah kedalaman skuad yang kian mengkhawatirkan. Rotasi besar yang dilakukan Pep Guardiola berujung pada performa yang tidak kompetitif, yang menunjukkan pelapis Manchester City tidak lagi mampu memenuhi standar permainan klub. Jadwal tujuh pertandingan pada Desember 2025 di kompetisi domestik dan Eropa berpotensi meningkatkan risiko inkonsistensi dalam performa mereka.
Kelelahan fisik dan mental pun mulai terlihat ketika Manchester City hanya mampu menjaga konsistensi dalam momen-momen pendek. Pertandingan kontra Fulham menjadi contoh ekstrem karena keunggulan 5-1 berubah menjadi kondisi bertahan panik pada menit-menit akhir. Situasi itu memperlihatkan, Manchester City tidak mampu menjaga struktur fungsional selama 90 menit penuh.
Dikutip The Telegraph usai laga kontra Fulham, Guardiola mengakui bahwa semua gol berasal dari pertahanan yang buruk dan menyebut timnya berada dalam fase bertahan hidup. Pengakuan tersebut memperlihatkan tingkat urgensi yang jarang ia tunjukkan pada musim-musim sebelumnya. Tanpa perbaikan signifikan, Manchester City menghadapi risiko kehilangan tidak hanya gelar juara liga, tetapi juga stabilitas performa dalam kompetisi Eropa.
Implikasi jangka panjangnya dapat muncul dalam bentuk tekanan psikologis dan ketidakpastian performa ketika memasuki fase krusial musim. Pola kebobolan beruntun akan menggerus rasa percaya diri dalam mengelola keunggulan, yang merupakan elemen penting dalam perebutan gelar juara. Jika tren ini tidak kunjung dibenahi, momentum Manchester City bisa runtuh sebelum memasuki periode penentuan.
Manchester City kini menghadapi musim yang penuh tantangan ketika rapuhnya sisi defensif mulai mengubah identitas permainan mereka. Jika masalah struktural ini tidak segera terselesaikan, peluang untuk kembali ke jalur juara akan makin menjauh.


















