Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Di Balik Fenomena Eskalasi Penjualan Jersey Inter Milan di Marseille

ilustrasi Marseille (pixabay.com/pixabay)

Harapan warga Marseille agar Inter Milan mengalahkan Paris Saint-Germain di final Liga Champions Eropa (UCL) 2024/2025 tidak terlaksana. Raksasa Italia tersebut dibantai dengan skor 0-5. Padahal, sebelum laga yang digelar di Fusball Arena Munich, Jerman, berlangsung, Marseillais sempat menunjukkan dukungan yang hebat kepada Inter Milan.

BFMTV melaporkan, terjadi peningkatan penjualan seragam Inter Milan yang signifikan di kota tertua di Prancis tersebut. Gejala dikonfirmasi Ismael, seorang pegawai di Foot.FR, salah satu toko yang menyediakan jersey Nerazzurri di Marseille. Menurut pengakuannya, sepanjang tahun ini, pihaknya tidak pernah menerima pengunjung yang menanyakan mengenai baju Inter Milan. Namun, jelang final UCL 2024/2025, situasi berubah drastis yang membuatnya sampai keheranan. Baginya, seolah-olah seluruh warga Marseille saat itu berubah menjadi Interista.

1. Warga Marseille tidak ingin Paris Saint-Germain menjadi juara

Penyebab di balik fenomena tersebut cukup sederhana. Itu merupakan bentuk dari harapan warga Marseille agar status quo tetap terjaga. Warga Marseille tidak ingin Paris Saint-Germain menjadi juara sehingga menyamai pencapaian klub kebanggaan mereka, Olympique Marseille. Sebelum 2024/2025, Les Olympiens memang tercatat sebagai satu-satunya tim Prancis yang mampu menjuarai UCL.

Olympique Marseille meraih kejayaan tersebut pada 1992/1993 yang merupakan musim perdana kompetisi terbesar antarklub Benua Biru ini resmi berganti nama menjadi Liga Champions dari Piala Eropa. Namun, saat itu, kesukesan Marseille juga bukan tanpa kisah menarik. Bahkan, ada sejumlah kontroversi yang ikut mengiringi.

2. Olympique Marseille mengalahkan AC Milan di final Liga Champions 1992/1993

Olympique Marseille hampir menjadi juara Liga Champions pada 1991/1992. Mereka harus rela menyerahkan trofi kepada Red Star Belgrade usai kalah di final lewat adu penalti. Pada edisi sebelumnya, tim yang terbentuk pada 1899 ini terhenti di semifinal karena dibungkam Benfica dengan agregat 1-3. Sementara, semusim setelah takluk di partai puncak, prestasi mereka merosot drastis karena kalah gol tandang dari Sparta Praha pada 16 besar.

Tidak ingin kembali merasakan kegagalan, Marseille pun melakukan revolusi skuad pada awal 1992/1993. Presiden mereka, Bernard Tapie, menginisiasi kedatangan sederet pemain bintang. Di antaranya adalah Fabien Barthez, Marcel Desailly, dan Rudi Voeller. Perubahan tersebut langsung membuahkan hasil. Marseille tidak terkalahkan dalam sebelas pertandingan pertama di seluruh kompetisi.

Di Liga Champions, Marseille bahkan tidak merasakan kekalahan sama sekali. Tim yang dipimpin Didier Deschamps sebagai kapten ini cuma pernah imbang 4 kali dari 11 pertandingan. Skuad yang dilatih Raymond Goethals tersebut pun berhasil keluar sebagai juara. Mereka menaklukkan kampiun Serie A Italia, AC Milan, lewat gol sundulan Basile Boli pada menit 44. 

3. Kejayaan Olympique Marseille pada 1992/1993 diwarnai kontroversi

Sayangnya, isu miring ikut mengiringi kesuksesan yang diraih Olympique Marseille pada 1992/1993. Mereka dituduh menjadi juara Liga Champions tidak secara adil akibat dugaan doping. Polemik ini bahkan muncul ke permukaan karena berasal dari pengakuan salah satu pemainnya, Jean-Jacques Eydelie.

Ia mengungkapkan, dirinya dan sejumlah pemain Marseille menerima suntikan sebelum pertandingan final melawan AC Milan. Pengakuan tersebut tertuang dalam otobiografinya yang dirilis pada 2006. Hal serupa juga disampaikan dua rekan setimnya, Chris Waddle dan Tony Cascarino, dalam sebuah kesempatan wawancara yang berbeda.

UEFA langsung bergerak cepat setelah keluarnya pernyataan dari Eydelie. Mereka mengecek ulang hasil tes doping yang dilakukan usai pertandingan. Namun, hasilnya terbukti negatif. Bernard Tapie lantas menuntut Eydelie atas dugaan fitnah. Namun, pengadilan menolaknya.

4. Olympique Marseille melakukan pengaturan skor di Ligue 1 Prancis 1992/1993

Pada 1992/1993, kontroversi dan polemik yang lebih besar sebetulnya dibuat Olympique Marseille di liga domestik. Marseille terbukti melakukan pengaturan skor saat bertanding melawan Valenciennes di Ligue 1 Prancis pada 20 Mei 1993. Bernard Tapie menginsturksikan Jean-Jacques Eydelie untuk mengontak tiga pemain Valenciennes yang merupakan mantan rekan setimnya saat masih membela Nantes. Mereka adalah Jorge Burruchaga, Christophe Robert, dan Jacques Glasmann.

Sesuai dengan permintaan Tapie, Eydelie siap membayar ketiga pemain tersebut jika mereka bersedia mengalah ketika kedua tim bertanding. Motivasi dari aksi licik ini tidak terlepas karena Tapie yang ingin Marseille berada dalam kondisi fisik prima ketika 6 hari berselang melakoni laga final Liga Champions 1992/1993. Saat itu, kemenangan atas Valenciennes juga akan sekaligus membuat Marseille mengunci gelar juara Ligue 1. Namun, jika gagal, maka mereka harus memastikannya pada 28 Mei 1993 saat bertemu Paris Saint-Germain yang juga masih memiliki kesempatan untuk menjadi kampiun.

Pada akhirnya, Marseille memang berhasil mengalahkan Valenciennes dengan skor 1-0 lewat gol Alen Boksic pada menit 21. Mereka pun resmi menjadi juara. Namun, rencana curang berhasil terbongkar. Penyebabnya karena Glasmann tidak tergoda dengan tawaran kotor. Sepanjang laga, ia melaporkan situasi ini kepada wasit, Jean-Marie Veniel, dan pelatihnya, Boro Primorac. Setelah pertandingan selesai, polisi pun langsung menginvestigasi para pemain Marseille di ruang ganti dengan dasar laporan yang dibuat Veniel.

Setelah proses persidangan yang panjang, pengadilan akhirnya mengeluarkan keputusan pada 15 Mei 1995. Mereka menjatuhkan hukuman kurungan penjara dan denda kepada Tapie, Eydelie, Burruchaga, Robert, serta manajer Marseille, Jean-Pierre Bernes, yang juga terbukti terlibat. Gelar juara Ligue 1 milik Marseille terlebih dulu dicopot Federasi Sepak Bola Prancis (FFP). Mereka ditendang dari kompetisi teratas untuk 1994/1995. Namun, titel Liga Champions Marseille bertahan karena UEFA menyatakan kecurangan tidak terbukti terjadi di ajang yang mereka kelola.

Status terhormat Marseille sebagai klub Prancis satu-satunya yang berhasil menjadi juara Liga Champions disamai Paris Saint-Germain pada 2024/2025 ini. PSG bahkan menyempurnakannya dengan raihan treble winners. Pasalnya, mereka juga mampu menjuarai Ligue 1 dan Coupe de France.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us