Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Diskusi Turun Minum PSSI Pers soal naturalisasi. (IDN Times/Sandy Firdaus)

Jakarta, IDN Times - Program naturalisasi pemain kembali gencar dilakukan PSSI dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan tersebut kini menimbulkan dikotomi antara pemain lokal dan naturalisasi.

Setelah sempat terhenti usai era Cristian Gonzalez pada 2010, program ini mulai dilakukan kembali sejak Shin Tae Yong duduk di kursi pelatih Timnas Indonesia pada akhir 2020. Bedanya, pemain yang dinaturalisasi memiliki darah Indonesia.

Nama-nama seperti Sandy Walsh, Jordy Amat, Shayne Pattynama, Rafael Struick, Ivar Jenner, hingga Justin Hubner termasuk dalam daftar pemain keturunan yang telah resmi menjadi WNI. Namun rajinnya PSSI menaturalisasi pemain keturunan menimbulkan pro dan kontra.

1. Penyebutan pemain naturalisasi tidak relevan

Diskusi Turun Minum PSSI Pers soal naturalisasi. (Dok. PSSI Pers)

Tenaga Ahli Kemenpora Bidang Diaspora dan Kepemudaan, Hamdan Hamedan berujar, penyebutan pemain naturalisasi tak relevan lagi saat yang bersangkutan sudah memiliki paspor Indonesia. Karena naturalisasi adalah kata benda.

"Naturalisasi itu proses hukum yang dilakukan untuk mengubah status kewarganegaraan seseorang dari WNA menjadi WNI. Jadi frasa pemain naturalisasi itu sebetulnya tidak tepat," kata Hamdan dalam acara Diskusi Turun Minum bertema 'Naturalisasi Pemain, Mereduksi atau Memotivasi' yang didukung BRI, Kemenpora, PT Liga Indonesia Baru (LIB), PSSI, TEAK Coffee dan SSB Soejasch.

"Tetapi ketika seseorang itu sudah berhasil dinaturalisasi, disumpah dan menandatangani sumpah, maka dia sudah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan mempunyai kesamaan dalam hukum dan pemerintahan," lanjutnya.

2. Dikotomi dan anggapan miring yang harus dihilangkan

Anggota Exco PSSI Arya Sinulingga dalam acara Diskusi Turun Minum PSSI Pers. (Dok. PSSI Pers)

Hamdan juga menolak anggapan miring sejumlah pihak terkait motif pemain keturunan mau dinaturalisasi. Banyak yang menilai hal itu dianggap karena mereka tak mampu bersaing untuk memperkuat timnas negara asalnya.

"Ada pemain grade A yang bermain di salah satu klub terbaik di dunia, dia ingin membela Indonesia. Dia mengatakan, saya ingin sekali membela Indonesia," ujar Hamdan.

Hal tak jauh berbeda juga diungkapkan Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Arya Sinulingga. Dia secara tegas menolak dikotomi pemain naturalisasi dan lokal.

"Dikotomi ini harus diselesaikan sekarang, istilah local pride, atau anti-naturalisasi harus dihentikan. Naturalisasi hanya proses, tapi sepanjang dia punya darah (Indonesia), maka dia berhak mewakili bangsa kita," kata Arya.

3. Tommy Welly sajikan pandangan berbeda

Bung Towel dalam Diskusi Turun Minum PSSI Pers. (Dok. PSSI Pers)

Pandangan berbeda diungkapkan pengamat sepak bola Indonesia Tommy Welly. Dia menyoroti sisi lain dari gencarnya PSSI melakukan naturalisasi pemain keturunan.

Pria yang akrab disapa Towel itu sadar program naturalisasi bukanlah sebuah tindakan ilegal. Namun dia menyoroti keseriusan PSSI dalam memajukan sepakbola Indonesia.

"Jadi naturalisasi itu kita sudah gak debat layak atau tidak karena koridor hukumnya sudah jelas. Tapi kita mempertanyakan arah pengembangan sepakbola kita. Kalau PSSI yang sekarang memutuskan semua naturalisasi bisa saja. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah dimana positioning kompetisi kita," ujar Tommy.

Editorial Team