Saatnya Menyertakan Kesehatan Mental dalam Obrolan Sepak Bola

Sudahi jargon-jargon toksik

Apa yang biasa dibahas saat ngobrol soal sepak bola? Pasti tak lepas dari aspek teknikal seperti statistik pemain dan tim, mulai dari expected goals (xG), expected assist (xA), sampai banderol harga.

Beberapa mungkin melipir ke bahasan relasi sepak bola dengan ekonomi dan politik. Namun, seberapa banyak dari kita yang pernah membahas sepak bola dengan pendekatan psikologi? Seberapa besar komitmen klub memperhatikan kesehatan mental para pemain dan stafnya? Seberapa sering media mengekspos isu ini?

Jawabannya seragam, tidak banyak dan tidak sering. Apa pentingnya kesehatan mental dalam obrolan sepak bola dan olahraga secara umum? Mari bahas lebih jauh!

1. Pengaruh kesehatan mental terhadap karier atlet sepak bola 

Saatnya Menyertakan Kesehatan Mental dalam Obrolan Sepak Bolailustrasi pemain sepak bola (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Sebagai olahraga terpopuler di dunia, atlet sepak bola semacam bertengger di sebuah platform yang tinggi. Ini membuat orang cenderung melabeli mereka manusia super. Tak terkalahkan, harus selalu tampil prima, dan tak boleh melakukan kesalahan. Padahal atlet juga manusia yang punya risiko mengalami guncangan mental, baik karena faktor genetik atau pengalaman pahit dalam hidup, seperti kehilangan orang terdekat.

Status sebagai atlet bisa menambah faktor penyebab dan pemicu gangguan kesehatan mental. Seperti yang dijelaskan Gouttebarge & Kerkhoffs dalam salah satu bab di buku Return to Play in Football berjudul "Mental Health in Professional Football Players", ada faktor-faktor yang berkaitan erat dengan profesi olahraga. Misalnya saja cedera serius atau berdurasi panjang, ketidakpuasan dalam karier, masalah dengan rekan kerja dan/atau pelatih, tekanan saat bermain.

Studi yang dilakukan FIFPRO, asosiasi atlet sepak bola internasional mengeklaim, setidaknya 38 persen atlet sepak bola aktif pernah merasakan gejala gangguan mental. Ini bisa berupa distres, cemas, depresi, sulit tidur, dan penyalahgunaan alkohol/narkoba. Gouttebarge & Kerkhoffs menambahkan, risiko gangguan mental ini naik pada atlet yang pernah mengalami cedera panjang. Gejala-gejala itu juga punya dampak pada performa pemain di lapangan, bahkan berpengaruh pada keputusan mereka untuk kembali bermain.

Beberapa atlet yang difitur FIFPRO dalam studi mereka memberikan testimoni tentang minimnya dukungan dari klub saat bicara kesehatan mental. Studi yang dilakukan beberapa peneliti dari University of Brunel pada 2019 pun menemukan bahwa jumlah psikolog dalam klub sepak bola profesional di Inggris sangat minim. Artinya, dukungan terhadap kesehatan mental masih kontras dengan dukungan terapi fisik yang melimpah.

Baca Juga: 3 Alasan Harus Coba Mulai Nonton Liga Pro Belgia

2. Perilaku toksik yang menyelimuti sepak bola

Saatnya Menyertakan Kesehatan Mental dalam Obrolan Sepak Bolailustrasi pertandingan sepak bola (Pexels.com/Franco Monsalvo)

Perilaku toksik sangat mudah ditemukan dalam sepak bola. Apalagi dengan sifatnya yang lekat dengan maskulinitas dan machismo. Jargon-jargon bias gender sangat mudah ditemukan. Bahkan, yang terasa tak berbahaya seperti wonderkid yang dipakai untuk menjuluki pemain-pemain muda berbakat bisa berakibat cukup fatal.

Meski niatnya memberi pujian dan harapan baik, tak sedikit pemain wonderkid tadi yang gagal memenuhi ekspektasi dan terjerumus dalam depresi, trauma, bahkan enggan kembali bermain sepak bola. Reverberi dkk dalam riset berjudul "Youth Football Players’ Psychological Well-Being: The Key Role of Relationships" menemukan, pemain-pemain muda butuh tiga hubungan sehat dalam hidupnya untuk bisa meraih potensi maksimal. Itu termasuk hubungan sehat dengan rekan-rekan setim, pelatih atau mentor, dan keluarga. Sayangnya tak banyak klub yang melihat ini.

Riset kualitatif yang dilakukan Rios dkk pada belasan atlet muda (laki-laki dan perempuan) berusia 17—27 tahun di Catalunya, Spanyol, dalam jurnal Frontiers in Psychology menemukan, mereka mengalami perundungan selama tergabung dalam akademi olahraga. Kebanyakan dilakukan teman-teman sebaya. Satu responden mengaku dapat dirundung pelatihnya. Rios dkk menambahkan, para korban biasanya memilih diam karena tak ada fasilitas atau sosok yang dipercaya untuk memungkinkan mereka bersuara. Lebih parahnya, ada stigma bahwa membicarakannya berarti sebuah kelemahan.

Isu ini pernah diekspos eks pemain sepak bola Swedia, Martin Bengtsson, dalam memoarnya, In the Shadow of San Siro. Buku itu berisi pengalaman personalnya sebagai pemain muda di tim U-19 Inter Milan pada pertengahan 2000-an. Ia menyoroti abainya klub terhadap kesehatan mental para pemain dan cara mereka memperlakukan pemain bak aset belaka. Bukunya kemudian diadaptasi jadi film pada 2020 dengan judul Tigers. Bengtsson yang juga pernah dapat gelar wonderkid memilih pensiun selamanya dari sepak bola akibat pengalaman traumatisnya di Italia.

3. Penonton, suporter, dan media tak banyak membantu

Saatnya Menyertakan Kesehatan Mental dalam Obrolan Sepak Bolapertandingan sepak bola dari tribun penonton (Pexels.com/Martí Pardo)

Selain klub yang abai, media massa tidak banyak membantu. Sangat mudah menemukan artikel dan berita yang memitur statistik dan data. Kemudian, menggunakannya untuk membahas secara objektif performa pemain atau pelatih. Namun, sedikit yang membahas sisi humanis para pemain.

Kritik dan pujian bisa dilontarkan dengan sangat mudah, tanpa beban dan batas. Bahkan, terkadang dalam waktu yang berdekatan. Saat tim menang, pujian membanjiri. Esoknya saat kalah, mereka dihujani kritik pedas. Apalagi dengan kehadiran media sosial, kengeriannya berkali lipat.

Pemain bintang yang datang karena tampil impresif di klub lamanya dipuja bak dewa. Ketika gagal tampil di klub baru, mereka bisa jadi bulan-bulanan penggemar sepak bola. Jangan lupakan pula intimidasi dan selebrasi toksik yang sering dilakukan pemain dan suporter kepada tim lawan atau rival. Semuanya dianggap normal dan lumrah, tetapi sebenarnya menyimpan masalah.

Baca Juga: Frank Schmidt dan Loyalitasnya kepada Heidenheim yang Berbuah Manis

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya