Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi stadion sepak bola
ilustrasi stadion sepak bola (IDN Times/Mardya Shakti)

Intinya sih...

  • Atlet profesional menghadapi risiko baru akibat gelombang panas, seperti dehidrasi, heatstroke, dan cedera permanen.

  • Adaptasi dilakukan dengan penyesuaian jadwal, penambahan alat untuk mengatasi cuaca panas, dan perubahan pola diet.

  • Komitmen dari pegiat bisnis olahraga diperlukan untuk mengurangi emisi karbon, terutama dalam hal intensitas bepergian.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kalau dahulu perubahan iklim terasa seperti mitos, kini efeknya makin nyata. Kenaikan suhu yang ekstrem mulai terjadi di berbagai tempat. Tidak heran penggunaan air conditioning (AC) merajalela, bahkan di lokasi-lokasi yang sebelumnya tak membutuhkan, termasuk venue olahraga terbuka. Implementasi nyatanya terjadi di Piala Dunia 2022 Qatar. Penggunaan AC di venue terbuka itu menuai kritik karena konsumsi energi dan jejak karbonnya yang tak main-main.

Jejak karbon dari industri olahraga juga tergolong yang terbesar di dunia, terutama lewat sektor transportasi dan akomodasi. Tahu sendiri seberapa sering tim profesional bepergian untuk bertanding, menggelar sesi latihan, sampai tur. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengurangi emisi karbon, tetapi Bumi rasa-rasanya belum akan membaik. Apa kira-kira perubahan yang akan terjadi pada industri olahraga seiring dengan perubahan iklim?

1. Atlet profesional mengaku kalau gelombang panas adalah risiko profesi baru untuk mereka

Mallen dkk dalam tulisan untuk jurnal Managing Sport and Leisure berjudul "Climate impacts in sport: extreme heat as a climate hazard and adaptation options" menyebut, bsuhu ekstrem punya lima dampak besar buat atlet, yakni dehidrasi, heatstroke, kram otot, naiknya risiko cedera, dan perubahan jadwal. Hal ini diamini Sambrook dkk lewat riset berjudul "Outdoor Sport in Extreme Heat: Capturing the Personal Experiences of Elite Athletes" untuk jurnal Weather, Climate, and Society. Mereka melakukan wawancara mendalam dengan 14 atlet elite (pernah mewakili negara di Olimpiade) asal Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Kanada. Semuanya sepakat kalau gelombang panas adalah risiko baru dalam profesi mereka.

Kekhawatiran mereka cukup beralasan. Ada yang khawatir dengan kemampuan dan keseriusan penyelenggara turnamen memfasilitasi dan menjamin keselamatan atlet dan pihak-pihak terlibat. Banyak juga yang mengeluhkan efek kenaikan suhu ekstrem, seperti dehidrasi, terhadap performa dan fokus mereka di lapangan. Bahkan, salah 1 dari 14 atlet itu mengaku mengalami cedera permanen gara-gara heatstroke yang memaksanya pensiun dini.

2. Adaptasi yang dilakukan akibat perubahan iklim

Manusia seperti biasa memang cepat melakukan adaptasi. Penyelenggara turnamen dan klub olahraga melakukan penyesuaian-penyesuaian, seperti mengubah jadwal pertandingan dan latihan untuk menghindari eksposur panas. Penambahan alat dan perlengkapan untuk mengatasi cuaca panas pun dilakukan. Hal paling sering adalah menambah suplai air minum, memasang peneduh, perubahan pola diet (menambah makanan yang mengandung lebih banyak air), serta penambahan obat dan trik penanganan pertama untuk mengatasi risiko cedera dan heatstroke.

Namun, poin menarik datang dari Stephen Lewandowski, seorang pakar lingkungan dari Uniformed Services University saat diwawancara Scientific American. Menurutnya, manusia, termasuk atlet, bisa dengan cepat beradaptasi dengan iklim baru. Risiko penonton yang berada di tribun sebenarnya jauh lebih besar mengingat mereka tak sebugar atlet. Salah satu atlet yang diwawancara Sambrook dkk juga mengungkap kekhawatiran efek perubahan iklim terhadap keberlangsungan aktivitas olahraga di level akar rumput mengingat sumber daya mereka jauh lebih terbatas.

3. Butuh komitmen dari pegiat bisnis olahraga untuk mengurangi emisi

Meski kenaikan suhu Bumi sudah terlanjur terjadi, bukan berarti manusia bisa abai. Sebagian klub olahraga berkomitmen mengurangi emisi lewat pemasangan panel surya dan kultur daur ulang. Namun, satu hal yang rasanya susah untuk dilakoni pelaku industri olahraga adalah mengurangi intensitas bepergian.

Pada Agustus 2025, penyelenggara Serie A Italia dan LaLiga Spanyol melontarkan wacana untuk menggelar beberapa pertandingan di luar negeri. Dalihnya untuk mengakomodasi penggemar global kedua kompetisi itu. Namun, secara kasat mata, semua berorientasi profit. Silakan prediksi sendiri jumlah tiket yang akan terjual bila wacana itu terwujud. Tak heran wacana berbau kapitalisme ini menuai kontroversi.

Dilansir Politico, seorang anggota Komisi Uni Eropa bagian olahraga menilai wacana ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap keautentikan sepak bola domestik Eropa. Argumen ini diamini Football Supporters Europe (FSE) yang juga menolak tegas upaya membawa sepak bola domestik ke luar negeri. Meski tidak disenggol dua institusi tadi, penolakan mereka patut diapresiasi pegiat isu lingkungan. Menggelar pertandingan domestik di luar negeri jelas kontraproduktif dengan upaya mengurangi jejak karbon dari industri olahraga. Bayangkan emisi gas karbon yang tercipta dari aktivitas migrasi jarak jauh tim dan penggemar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team