Sejak 2010-an, kerja sama antara klub sepak bola elite Eropa dengan badan-badan milik negara jadi sesuatu yang lumrah. Ingat kerja sama Atletico Madrid dengan pemerintah Azerbaijan, Paris Saint-Germain (PSG) dengan Qatar Sports Investment, Newcastle United dengan Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi, Manchester City dengan Abu Dhabi United Group (ADUG), dan Paris FC dengan Kerajaan Bahrain.
Kebanyakan memang didominasi negara-negara produsen migas, tetapi belakangan dua negara Afrika ikut nimbrung. Dimulai dengan Rwanda Development Board (RBD) yang meneken kerja sama dengan tiga klub elite Eropa sekaligus, yakni Arsenal, Bayern Muenchen, dan PSG, disusul Republik Demokratik Kongo pada 2025. Seperti Rwanda, mereka langsung menandatangani kontrak dengan tiga klub raksasa Eropa, yaitu Barcelona, AC Milan, dan AS Monaco.
Valuasinya tak main-main. Untuk dapat spot di jersey pemain, sebuah badan atau brand setidaknya harus menggelontorkan dana 10—12 juta dolar AS per tahun (Rp163-196 miliar). Pertanyaannya, seberapa etiskah kerja sama itu?