Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
jaket berlogo Paris Saint-Germain (Pexels/Filip Rankovic Grobgaard)

Intinya sih...

  • Kerja sama dengan negara-negara Teluk Arab mudah diterima, meski menimbulkan pertanyaan etika dan nilai klub.

  • Kemitraan negara Afrika seperti Rwanda dan Kongo terlihat tidak ideal secara ekonomi dan politik, tetapi sulit untuk diputus.

  • Kemitraan ini diinisiasi untuk mempromosikan wisata dalam negeri, namun hasilnya belum terbukti signifikan dalam pertumbuhan jumlah turis.

Sejak 2010-an, kerja sama antara klub sepak bola elite Eropa dengan badan-badan milik negara jadi sesuatu yang lumrah. Ingat kerja sama Atletico Madrid dengan pemerintah Azerbaijan, Paris Saint-Germain (PSG) dengan Qatar Sports Investment, Newcastle United dengan Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi, Manchester City dengan Abu Dhabi United Group (ADUG), dan Paris FC dengan Kerajaan Bahrain.

Kebanyakan memang didominasi negara-negara produsen migas, tetapi belakangan dua negara Afrika ikut nimbrung. Dimulai dengan Rwanda Development Board (RBD) yang meneken kerja sama dengan tiga klub elite Eropa sekaligus, yakni Arsenal, Bayern Muenchen, dan PSG, disusul Republik Demokratik Kongo pada 2025. Seperti Rwanda, mereka langsung menandatangani kontrak dengan tiga klub raksasa Eropa, yaitu Barcelona, AC Milan, dan AS Monaco.

Valuasinya tak main-main. Untuk dapat spot di jersey pemain, sebuah badan atau brand setidaknya harus menggelontorkan dana 10—12 juta dolar AS per tahun (Rp163-196 miliar). Pertanyaannya, seberapa etiskah kerja sama itu?

1. Kerja sama dengan negara-negara Teluk Arab relatif mudah diterima

Ketika Manchester City, Paris Saint-Germain (PSG), dan Newcastle United meneken kontrak dengan badan-badan investasi milik negara-negara Teluk Arab, tak sedikit yang mengajukan keberatan. Beberapa menganggap itu sebuah jalan pintas. Di sisi lain, ada yang mempertanyakan etika di baliknya sembari mengaitkan perbedaan nilai yang dipercaya klub dengan negara sponsor mereka, umumnya menyoal demokrasi dan hak asasi manusia.

Namun, ketika performa klub ikut membaik seiring dengan suntikan dana dari investor asing, kritik meredam dengan sendirinya. Ini terlihat jelas dari tiga klub tersebut. Manchester City menjelma jadi klub raksasa Inggris sejak akhir 2010-an, mengangkangi rival sekota mereka, Manchester United, yang performanya kian turun. PSG mendominasi Ligue 1 Prancis sejak 2012 dan akhirnya meraih juara UEFA Champions League pertama kali setelah sekian dekade pada 2024/2025. Sejak era PIF, Newcastle United juga mengalami perbaikan performa yang signifikan. Dari mereka yang biasa menghuni zona relegasi, kini selalu berada di peringkat 10 besar English Premier League.

Kemitraan ini juga diklaim wajar mengingat negara-negara Teluk Arab dikenal dengan kemakmurannya. Setidaknya menurut data World Bank, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) termasuk negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Nilainya cukup stabil (cenderung naik) selama 1 dekade terakhir, yaitu di kisaran 20—32 ribu dolar AS per tahun (Rp326—490) untuk Arab Saudi, dan 40-50 ribu dolar AS (Rp650—817 juta) untuk UEA. Qatar bahkan bisa mencapai 60—80 ribu dolar AS per tahun (Rp980 juta — 1,3 miliar).

2. Kasusnya jadi pelik ketika negara-negara Afrika mengikuti skema itu

Namun, kemitraan macam ini jadi ganjil ketika negara-negara Afrika ikut serta. Ketika Rwanda menginisiasi kerja sama dengan tiga klub elite Eropa sepanjang 2018—2023, publik jadi bertanya-tanya. Ini semata karena Rwanda termasuk salah satu negara dengan pendapatan per kapita terendah di dunia. Masih merujuk data World Bank, selama 1 dekade terakhir angkanya stagnan pada kisaran 700-900 dolar AS (Rp 11—14juta). Baru pada 2023, mereka menembus angka 1.000 dolar AS (Rp16 juta). Republik Demokratik Kongo lebih rendah lagi, hanya sekitar 400-600 dolar AS (Rp6,5—9,8 juta).

Tak hanya itu, kedua negara itu juga diklaim tak stabil secara politik. Kongo masih dihantui perang sipil antara pemerintah dengan kelompok separatis di beberapa wilayah. Rwanda yang pada 1990-an pernah terjerembab perang etnis memang sedikit lebih stabil. Namun, laporan beberapa organisasi internasional menunjukkan bahwa pemerintah Rwanda terlibat mendukung kelompok separatis Kongo. Dalihnya untuk mencegah konflik meluas ke teritori mereka.

Kemitraan ini mungkin tak ideal dalam perspektif banyak orang, tetapi sangat sulit untuk diputus. Kerja sama RDB dengan 3 klub sempat menuai protes dari penggemar. Petisi diajukan dan spanduk protes dibentangkan, tetapi tiga klub elite memilih bergeming. PSG dan Bayern Muenchen masih terikat kontrak sampai 2028 dengan RDB. Arsenal sempat dapat tuntutan yang spesifik dari penggemar karena wacana Inggris membangun pusat detensi untuk pencari suaka di Rwanda muncul pada 2023.

Regulasi yang tak etis itu menimbulkan polemik hebat di dalam negeri dan ikut menyeret klub raksasa itu. Beruntung, ia gagal dijadikan undang-undang dan isunya pun meredam dengan sendirinya. Arsenal pun bergeming dan melanjutkan kerja sama sampai 2025 layaknya tak terjadi apa-apa.

3. Sebandingkah kemitraan ini dengan pertumbuhan wisata?

Ironisnya, di tengah ketidakstabilan keamanan, kedua negara ini menginisiasi kemitraan dengan tujuan mempromosikan wisata dalam negeri. Lantas, apakah upaya mereka berhasil? Untuk kasus ini, kamu baru bisa mengamati Rwanda yang kampanye wisatanya lewat klub sepak bola sudah berlangsung selama kurang lebih 7 tahun (sejak 2018—2019).

Setidaknya, National Institute of Statistics of Rwanda mengeklaim kenaikan jumlah wisatawan yang lumayan berarti selama 1 dekade terakhir. Tampak puncaknya terjadi setelah pandemik, yakni pada 2023. Namun, bila dilihat seksama sejak 2016—2017 memang sudah ada kenaikan angka wisatawan yang nilainya tak jauh beda dengan jumlah pengunjung periode 2022. Pola serupa bisa diamati di negara-negara Teluk Arab. Kenaikan jumlah turis mereka sudah terjadi sejak 2000-an, jauh sebelum mereka mulai gencar melakukan kampanye wisata lewat klub sepak bola elite. Klub sepak bola hanya satu dari sekian banyak strategi pemasaran dan diversifikasi investasi yang dilakukan untuk mempertahankan modal atau kekayaan mereka.

Pertanyaannya, melihat situasi ekonomi dan politik mereka saat ini, apakah strategi itu cocok ditiru Rwanda dan Kongo? Lantas, apakah jargon "jangan campurkan sepak bola dan politik" masih relevan? Atau kita saja yang memang tebang pilih dan pura-pura apatis selama kepentingan terakomodasi?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team