Sebagai salah satu kompetisi top di Eropa, Ligue 1 memang secara aktif mengirimkan klubnya untuk berlaga di Liga Champions. Namun, mereka kurang kompetitif jika berbicara soal gelar juara.
Selama 66 kali penyelengaraan sejak musim pertama (1955/1956) hingga kini, hanya ada tujuh final yang melibatkan tim asal Ligue 1. Itu dilakukan oleh lima tim dan hanya satu saja yang berhasil menjadi juara. Klub mana saja itu?
Stade de Reims menjadi salah satu klub Ligue 1 yang pernah bermain dalam dua laga final Liga Champions. Pertama, pada edisi perdana (1955/1956), mereka kalah dari Real Madrid dengan skor 4-3 dalam laga yang digelar di stadion di negaranya, Parc des Princes.
Kemudian pada 1958/1959, Reims kembali berhadapan dengan Los Blancos di partai final dan meraih hasil akhir yang sama. Kali ini, mereka takluk dengan skor 2-0 dalam pertandingan yang digelar di Arena Stuttgart, Jerman. Sebagai catatan, Real Madrid memang mendominasi kala itu dengan menjuarainya lima kali beruntun (1956—1960).
Pada musim 1975/1976, Saint-Etienne berhasil melaju ke final dan berhadapan dengan Bayern Munchen. Mereka kalah dengan skor 1-0 dalam pertandingan yang digelar di Hampden Park, Skotlandia.
Seperti Madrid, Munchen juga tengah mendominasi karena gelar ini merupakan raihan ketiganya secara beruntun (1974—1976). Pada partai semifinal yang berlangsung dua leg, Saint-Etienne berhasil mengalahkan PSV Eindhoven dengan agregat 1-0.
Sementara Munchen menaklukkan Real Madrid dengan agregat 3-1. Sebagai catatan, di Ligue 1 sendiri, Saint-Etienne berhasil menjadi juara pada musim ini.
Olympique Marseille menjadi satu tim Ligue 1 lain selain Reims yang bisa bermain di final Liga Champions dua kali. Bedanya, satu di antaranya berhasil mereka menangkan. Itu terjadi pada musim 1992/1993 kala mereka mengalahkan AC Milan dengan skor 1-0 di Olympiastadion, Jerman.
Namun, gelar juara tersebut tidak lepas dari kontroversi. Mereka terbukti melakukan suap kala bertanding melawan Valenciennes di liga empat hari sebelumnya. Tujuannya adalah demi mendapat kondisi terbaik untuk final tersebut, termasuk memastikan para pemain terhindar dari cedera.
Satu final lain yang pernah dimainkan Marseille terjadi dua musim sebelum itu (1990/1991). Mereka kalah dari Crvena Zvezda lewat adu penalti setelah bermain imbang 0-0 pada babak normal. Pertandingan sendiri digelar di San Nicola Stadium, Italia.
Partai final musim 2003/2004 yang digelar di Arena AufSchalke, Jerman, mempertemukan dua kuda hitam, yaitu AS Monaco dan FC Porto. Tim dari Portugal berhasil keluar sebagai pemenang dengan skor 3-0. Gol dicetak oleh Carlos Alberto (39'), Deco (71'), dan Dmitri Alenichev (75').
Selain Deco, Porto juga saat itu dihuni pemain-pemain berkualitas yang dua bulan kemudian sukses membawa Portugal ke final Piala Eropa, yaitu Paulo Ferreira, Costinha, Nuno Valente, Ricardo Carvalho, dan Maniche. Saat itu mereka dilatih oleh Jose Mourinho.
Sementara AS Monaco, terdapat nama-nama yang juga tidak kalah mumpuni seperti Fernando Morientes, Hugo Ibarra (yang musim itu dipinjam dari Porto), Patrice Evra, dan Ludovic Giuly. Mereka dilatih oleh kapten Marseille yang menjadi juara pada 1992/1993 di atas, Didier Deschamps.
Satu tim terakhir adalah Paris Saint-Germain yang berhasil melaju ke final pada musim 2019/2020 lalu. Seperti diketahui, dalam pertandingan yang digelar secara tertutup karena Covid-19 di Estadio do SL Benfica, Portugal. Di laga ini, PSG kalah dari Bayern Munchen dengan skor 1-0.
Ironisnya, gol tunggal dicetak oleh mantan pemain binaan akademi mereka sendiri, Kingsley Coman, pada menit 59. Bagi Munchen, gelar ini melengkapi treble yang berhasil mereka raih bersama pelatihnya saat itu, Hansi Flick.
Pada musim 2021/2022 yang telah mencapai babak perempat final ini, tidak ada tim asal Ligue 1 yang tersisa. Dengan kualitas pemain dan dukungan finansial paling mumpuni, PSG jelas menargetkan diri untuk kembali menembus partai final dan menjuarainya pada musim depan.