Krisis Pembawa Berkah Buat Italia

Jakarta, IDN Times - Krisis dan sepak bola Italia adalah perpaduan yang unik. Tidak jarang, gara-gara suatu krisis yang terjadi di negaranya, skuad Italia malah tampil meledak di sebuah turnamen mayor. Hal itu terjadi lagi di Piala Eropa 2020.
Italia sukses menggamit gelar Piala Eropa 2020 setelah menumbangkan Inggris di final dengan skor 3-2 lewat babak adu penalti di Wembley Stadium, Senin (12/7/2021). Gelar ini jadi yang kedua bagi mereka di Piala Eropa, setelah sebelumnya meraih prestasi serupa pada 1968.
Uniknya, adalah fenomena yang terjadi di Italia saat meraih gelar Piala Eropa 2020, sama seperti yang terjadi ketika mengangkat trofi Piala Dunia 2006 dan menembus final Piala Eropa 2012. Italia, saat ini, tengah rapuh.
1. Pada 2006 dan 2012, krisis membawa Italia tampil prima

Pada 2006, sepak bola Italia digemparkan oleh skandal Calciopoli atau pengaturan pertandingan. Skandal ini bahkan melibatkan tim-tim raksasa, seperti Juventus, AC Milan, Fiorentina, dan Lazio. Namun, di tengah guncangan ini, Italia justru cemerlang.
Di Piala Dunia 2006, Italia seperti melupakan Calciopoli yang melanda negeri. Di tanah Jerman, Gianluigi Buffon dkk tampil luar biasa dan akhirnya mampu membawa Italia tampil sebagai juara dunia, mengalahkan Prancis di final.
Hal serupa terjadi pada 2012 silam. Saat itu, sepak bola Italia lagi-lagi diguncang oleh skandal pengaturan pertandingan. Kali ini, skandal melibatkan nama-nama macam Leonardo Bonucci, Domenico Criscito, Antonio Conte, dan Stefano Mauri.
Akan tetapi, alih-alih berkabung, Italia justru menunjukkan performa gemilang di Piala Eropa 2012. Semua lawan mereka libas di ajang tersebut, tak terkecuali Jerman di semifinal. Sayang, akhir cerita di ajang ini tak seindah 2006 silam.
Italia harus mengakui keunggulan Spanyol di final dengan skor telak 0-4. Ketika itu, pertahanan Italia benar-benar hancur oleh sepak bola dominan nan posesif dari Spanyol, yang masih diperkuat oleh generasi emas di 2008 dan 2010.
Meski begitu, dari dua kejadian itu, terlihat bahwa Italia justru kerap tampil ganas di sebuah turnamen ketika krisis melanda negaranya. Hal serupa pun terulang kembali di Piala Eropa 2020.
2. Terhantam parah oleh pandemik COVID-19, Italia bangkit di Piala Eropa 2020

Jauh sebelum gelaran Piala Eropa 2020, Italia pernah dilanda krisis hebat. Mereka jadi negara Eropa pertama yang paling parah dihantam oleh COVID-19. Bahkan, sejauh ini Italia mencatat kasus kematian terbanyak ketiga akibat COVID-19, yakni 127.788 jiwa.
Bahkan, pada pertengahan 2020, sistem kesehatan Italia kolaps. Wilayah Lombardia jadi yang daerah paling parah yang terhantam pandemik COVID-19. Rumah sakit penuh, tenaga kesehatannya bertumbangan, plus mereka juga dilanda krisis ekonomi.
Italia pun mencatatkan resesi terburuk mereka pada 2020, tertinggi setelah mereka kalah di Perang Dunia II pada 1945 silam. Di tengah krisis seperti ini, sepak bola Italia tetap berusaha bergerak. Serie A yang sempat terhenti terus dilanjutkan, demi memutar roda ekonomi masyarakat.
Terlepas dari semua krisis yang menimpa, Italia tetap melangkah ke Piala Eropa 2020. Di bawah asuhan Roberto Mancini, lagi-lagi Italia menunjukkan penampilan ciamik. Bahkan, Italia versi Mancini ini lebih agresif dibandingkan Italia-Italia sebelumnya.
Italia tidak lagi jadi tim yang hanya mengandalkan pertahanan semata. Mereka menjelma jadi tim dengan versi yang lebih modern. Italia sekarang berani menerapkan pressing agresif, garis pertahanan tinggi, plus permutasi posisi yang apik.
Dengan gaya main macam ini, Italia menggebrak di Piala Eropa 2020. Lawan-lawan kuat macam Belgia, Spanyol, Turki, dan Swiss, sukses mereka taklukkan. Tidak seperti 2012 silam, cerita berakhir manis untuk Italia di ajang ini karena mereka sukses jadi juara.
Di babak final, diwarnai teror dari fans yang memadati Wembley, Italia menang atas Inggris lewat adu penalti. Krisis memang menerpa mereka pada 2020, tetapi itu bukan jadi jalan untuk berpasrah diri. Italia memilih bangkit dan menjadikan Piala Eropa 2020 sebagai pijakannya.
3. Persembahan gelar untuk warga yang sempat terluka

Setelah resmi menjadi juara Piala Eropa 2020, Italia bersuka cita. Krisis yang diakibatkan oleh pandemik COVID-19 terlupakan sejenak. Masyarakat berkerumun di jalanan, merayakan kebahagiaan yang sempat hilang dari mereka tahun lalu.
Kemeriahan menyelimuti kota Roma yang menyambut kepulangan para pahlawan dari medan perang di Inggris. Dipimpin oleh Roberto Mancini, armada Italia menerima penghormatan meriah dari puluhan ribu suporter yang sudah menunggu di bandara, Senin (12/7/2021).
Bau kembang api jadi sesuatu yang lumrah kala itu, ditambah lagi kibaran bendera di sepanjang jalan. Situasi ini, bisa dibilang, lebih meriah dibandingkan ketika Italia juara Piala Dunia 2006 lalu. Ada semacam kegundahan yang akhirnya bisa dilampiaskan secara penuh oleh rakyat.
"Kami benar-benar berkumpul lagi, demi merayakan, demi kebahagiaan, demi momen bersama. Kami sungguh membutuhkannya, saat ini," ujar salah satu warga Roma, Sara Giudice.
Perdana Menteri Italia, Mario Draghi, turut menyambut bahagia kepulangan skuad Italia ini. Setelah disambut di Istana Quirinale tempat Presiden Sergio Mattarella berada, mereka mengunjungi pusat kota Roma dan diterima oleh Draghi. Tak ada raut sedih lagi di wajah mereka kala itu.
"Kalian telah membuat kami senang, menyemangati kami, membawa kegembiraan, dan pelukan kepada kami. Kalian telah menguatkan kami semua dan membuat kami merasa memiliki Italia," ujar Draghi.
Timnas Italia memang unik. Di tengah terpaan krisis, mereka selalu menemukan cara untuk membuat warganya berbahagia kembali. Tentu, cara itu ditempuh lewat olahraga universal yang bisa menyatukan semua pihak, yakni sepak bola.