Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Les Herbiers dan Piala Prancis, Turnamen yang Ramah Untuk Tim Liliput

Goal.com
Goal.com

Pada hari Rabu (9/5/2018) pekan kemarin, Paris Saint-Germain kembali menjadi juara Coupe de France atau Piala Prancis edisi 2017-2018. Gol Giovani Do Celso di menit ke-26 serta eksekusi penalti Edinson Cavani di menit ke-74, sudah cukup untuk menambah koleksi di lemari trofi PSG.

Tim asuhan Unai Emery itu kini sukses mencatatkan rekor sebagai satu-satunya tim yang berhasil menjadi jawara turnamen tersebut selama empat tahun berturut-turut.

Namun lampu sorot tidak hanya tertuju kepada Thiago Silva dan kawan-kawan. Melainkan untuk Les Herbiers VF yang tak lain adalah lawan mereka di partai pamungkas. Pernah dengar Les Herbiers VF?

Wajar kalau penikmat Ligue 1 tak familiar dengan klub tersebut. Sebab mereka datang dari Championnat National alias divisi 3!

Kisah sang liliput pun semakin tak lazim. Sebab klub yang berasal dari kota kecil Les Herbiers dengan jumlah populasi (Menurut sensus tahun 2006) hanya 15 ribu jiwa itu ternyata harus turun kasta di akhir musim ini. Mungkin fokus yang terpecah ke kompetisi Piala Prancis membuat mereka harus menepikan hingar bingar kompetisi liga secara terpaksa.

1. Perjalanan panjang Les Herbiers di Piala Prancis musim ini harus diakhiri oleh Paris Saint-Germain

beIN Sports
beIN Sports

Langkah Les Herbiers hingga mencapai final sungguh perjalanan yang panjang. Diawali dari babak penyisihan kelima, mereka berturut-turut menundukkan sesama tim amatir JS Coulaines, Voltigeurs de Châteaubriant dan SC Balma dari divisi lima, SO Romorantin (Divisi empat), Angoulême CFC kemudian Saint-Lô Manche (Keduanya juga klub divisi lima).

Di babak 16 besar dan perempatfinal, Les Herbiers melewati hadangan dua klub Ligue 2 yakni Auxerre dan Lens. Masing-masing laga mereka menangi dengan skor 3-0, serta menang adu penalti 4-2 saat bertemu Lens setelah waktu normal dan perpanjangan waktu berakhir imbang tanpa gol.

Di fase semifinal, Les Herbiers bertemu dengan tim dari sesama penghuni Championnat National yakni FC Chambly. Meski terpaut lumayan jauh di kompetisi liga, nyatanya klub asal wilayah Vendée yang dikenal karena pantainya tersebut, bisa menundukkan Chambly yang duduk di papan tengah klasemen. Mereka berhasil menang dengan dua gol tanpa balas.

2. Pemain PSG dan Les Herbiers saling berbincang di ruang ganti pasca laga final yang mempertemukan mereka

Twitter.com/VHFootOfficiel
Twitter.com/VHFootOfficiel

Meski pada akhirnya harus kalah 2-0 dari tim dengan segudang pemain bintang, perjuangan Les Herbiers hingga mencapai babak final pun patut diacungi jempol.

Thiago Silva, kapten PSG, bahkan mengundang sang kompatriot dari Les Herbiers, yakni Sebastien Flochon, untuk bersama-sama mengangkat trofi Charles Simon. Sebuah tanda respek yang amat tinggi.

Selain itu, ada cerita tersendiri yang mencuat pasca laga. Stephane Masala, pelatih Les Herbiers, menuturkan kepada The Guardian bahwa manajemen PSG memberi "hadiah" untuk klubnya berupa sejumlah peralatan latihan.

Sebuah pemberian yang terhitung mewah untuk tim kecil yang stadionnya hanya berkapasitas 5 ribu orang, atau sepertiga dari jumlah populasi penduduk kota.

Selain itu, pemain dari kedua tim saling bercengkerama dengan akrab setelah acara penyerahan trofi di ruang ganti PSG. Tidak ada rivalitas atau pun gestur meremehkan. Rasa hormat begitu kental terutama dari sang juara.

Menembus final sebuah turnamen jelas sebuah prestasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Malam itu di Stade de France, Paris menegaskan dirinya sebagai kota penuh cinta.

3. Di edisi 2012 lalu, klub dari divisi 3 lainnya yakni US Quevilly juga sukses melaju hingga babak final

eurosport.fr
eurosport.fr

Les Herbiers meneruskan kebiasaan Piala Prancis yang dicetus oleh Henri Delauney, sekjen Federasi Sepakbola Prancis, pada akhir Perang Dunia Pertama, itu sebagai gelaran yang amat ramah bagi klub-klub gurem dari divisi yang lebih rendah.

Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir, tercatat sudah dua kali nama-nama "asing" merangsek masuk ke babak final.

Pada tahun 2012 lalu, ada US Quevilly-Rouen. Tim gurem asal Normandia, wilayah di utara Prancis, itu berhasil melaju hingga babak final dengan status klub dari level National atau divisi ketiga. Mereka sukses menyingkirkan berturut-turut Olympique Marseille dan Stade Rennes, dua klub Ligue 1 di babak gugur.

Lawan mereka di final adalah Olympique Lyonnais yang waktu itu masih diperkuat nama-nama mentereng. Seperti Dejan Lovren, Kim Källström, Yoann Gourcuff, Batefimbi Gomis hingga Alexandre Lacazette.

Seperti perkiraan banyak orang, Lyon berhasil mendominasi jalannya pertandingan. Namun mereka hanya mampu menyarangkan sebiji gol dari sepakan gelandang serang Lisandro Lopez di menit ke-28.

Quevilly sendiri sebenarnya sudah mencuri perhatian pada gelaran dua tahun sebelumnya atau di musim 2009-2010 dengan mencapai babak semifinal. Namun Paris Saint-Germain memupus mimpi mereka ke Stade de France setelah kalah 0-1. PSG sendiri menjadi juara pada musim itu dengan menundukkan AS Monaco.

4. Kisah paling sensasional ditorehkan oleh klub divisi 4, Calais RUFC, di musim 1999-2000

Europe1
Europe1

Kisah dari musim 1999-2000 bahkan lebih sensasional. Kali ini pelakunya adalah Calais RUFC, klub amatir dari level Championnat National 2 alias divisi empat. Siapa sangka tim yang terdiri dari dokter, buruh pelabuhan hingga pegawai kantoran biasa itu berhasil mengalahkan tim-tim yang sudah punya "nama besar" macam Lille, Cannes, Strasbourg hingga Bordeaux.

Bertemu FC Nantes di final, Calais bisa mencetak gol lebih dulu dari kaki Jerome Dutitre, striker jebolan akademi klub papan atas Strasbourg yang harus rela turun ke divisi bawah demi mempertahankan karier sebagai pesepak bola.

Tapi Nantes berhasil membalikkan keadaan melalui dua gol Antoine Sibierski di menit ke-50 dan 90.

Ya, kisah keajaiban Calais di Piala Prancis terus akan dikenang oleh pecinta sepakbola negeri Eiffel tersebut. Namun jika ditilik lebih jauh, klub-klub dari tingkat Ligue 2 juga sudah beberapa kali melakukan hal serupa.

Seperti AJ Auxerre pada tiga tahun silam, CS Sedan (2005), LB Châteauroux (2004) dan Amiens SC (2001). Di tahun 2009, Guingamp yang waktu itu masih berkubang di divisi dua sukses tumbangkan Stade Rennais wakil Ligue 1.

5. Aturan "unik" Piala Prancis menjadi keuntungan tersendiri bagi tim-tim amatir yang ambil bagian

actu.fr
actu.fr

Apa penyebab Piala Prancis jadi turnamen yang sangat "ramah" untuk tim-tim dari kasta terbawah? Jawabannya sudah tersedia di dalam baris-baris kalimat peraturan turnamen yang sudah berusia 100 tahun tersebut.

Di antaranya, dan yang menjadi ciri khas, adalah penetapan tim dari kasta terbawah dalam sebuah pertandingan (Kecuali final yang diadakan di Stade de France) menjadi tuan rumah.

Secara lebih rinci, nama tim yang pertama kali keluar dalam masa pengundian berhak menjadi tuan rumah. Namun jika nama yang keluar selanjutnya ternyata adalah tim yang saat itu berkompetisi sekurang-kurangnya dua tingkat/divisi di bawah nama pertama, maka kewajiban menjamu tamu secara otomatis pindah ke nama kedua.

Bagi tim-tim papan atas yang harus bertamu, laga tersebut akan menjadi lawatan yang maha berat. Fasilitas latihan dan stadion yang kurang memadai hingga tidak terawat menjadi ujian tersendiri.

Sebagian mungkin menganggapnya tak masalah (Hitung-hitung pengalaman), namun banyak pula yang mengeluhkan hal tersebut hingga sekarang. Terlebih sistem single match yang masih berlaku membuat peluang menang-kalah jadi seimbang.

Berita tentang kekalahan tim-tim dari divisi atas di Piala Prancis akibat "kaget" dengan suasana kandang tim amatir seolah sudah menjadi hal yang biasa. Memang tetap mengejutkan, tapi rutin terulang dari tahun ke tahun.

Dengan keuntungan yang diberikan oleh pihak FFF selaku federasi, laju tim-tim amatir di ajang Piala Prancis paling banter bisa mencapai semifinal.

6. Meski kalah, ini jadi pengalaman yang unik bagi Les Herbiers maupun para suporternya

Europe1
Europe1

Kembali ke cerita Les Herbiers. Rasa senang, terkejut dan pesimis bercampur aduk begitu tahu bahwa lawan mereka di final nanti adalah tim raksasa nan kaya raya PSG.

Stephane Flochon, kapten Les Herbiers, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar harian Prancis jelang laga final, mengatakan bahwa persentase mereka mengalahkan PSG adalah 0,5% alias tidak mungkin terjadi.

Sang pelatih, Stephane Masala, bahkan lebih blak-blakan. "Aku akan jujur. Kami tidak punya kesempatan untuk menang. Pertanyaannya adalah berapa lama kita bisa bertahan? Hitungan detik? Tidak apa-apa. Hitungan menit? Tidak buruk. Satu jam? Untuk yang itu, kami tidak rencanakan. Kami hanya ingin menjalani laga ini dengan bahagia," tuturnya kepada harian Le Parisien.

Meski akhirnya harus mengakui keunggulan PSG, toh perjalanan ke kota Paris ini akan selalu dikenang. Apalagi seluruh populasi kota Les Herbiers ke stadion Stade de France untuk mendukung mereka.

Setidaknya ada pelipur lara setelah perjuangan mereka untuk lolos dari jerat degradasi liga harus pupus tepat di pekan terakhir atau beberapa hari pasca bersua PSG.

Satu hal yang pasti, kisah liliput yang mendobrak dominasi para gergasi sepakbola Prancis tidak akan berhenti sampai di sini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us