fans timnas Yordania membentangkan bendera di tribun penonton (instagram.com/jordan.fa)
Yordania memang bukan debutan macam Tajikistan di Piala Asia 2023. Namun, keikutsertaan mereka dalam turnamen tersebut tak bisa dibilang sukses. Yordania baru tampil lima kali dalam putaran final Piala Asia sejak debut pada 2004. Prestasi terbaik mereka sebelum edisi 2023 adalah perempat final. Jelas, kelolosan mereka ke final jadi sejarah baru yang bakal dikenang publik sampai bertahun-tahun kemudian.
Banyak yang menyandingkan momen ini dengan sejarah yang dicetak Maroko pada Piala Dunia 2022. Namun, final pertama Yordania ini lebih mirip dengan yang pernah dialami Irak pada Piala Asia 2007. Itu adalah momen pertama mereka mencapai final yang kemudian disempurnakan dengan gelar juara pertama. Padahal, kala itu Irak sedang dihantam perang berkepanjangan akibat invasi Amerika Serikat sejak 2003.
Tak seperti Irak dan beberapa negara tetangganya, Yordania tidak mengalami gejolak politik berarti. Sebaliknya, mereka salah satu negara paling stabil di kawasan Timur Tengah. Secara situasi politik, Yordania lebih mirip dengan Maroko. Mereka termasuk sebuah negara dengan sistem monarki yang relatif tak terganggu, bahkan oleh gelombang Arab Spring sekalipun. Namun, di sisi lain menyisakan isu kebebasan berpendapat dan ketimpangan ekonomi.
Ketidakstabilan regional di kawasan Timur Tengah sebenarnya menguntungkan monarki Yordania. Kondisi itu menyakinkan penduduk Yordania bahwa kestabilan keamanan dan politik lebih penting dari kedua isu tersebut. Penduduk Yordania sudah cukup melihat negara-negara tetangga mereka porak poranda akibat Arab Spring (yang berujung pada vakumnya kekuasaan, ketidakstabilan politik, bahkan perang sipil). Kejayaan timnas mereka di Piala Asia 2023 secara tak langsung bakal memperkuat kedudukan pemerintah monarki Yordania. Setidaknya prestasi ini bisa jadi distraksi atas kekhawatiran dan masalah hidup para warga.