Selain dikenang karena prestasinya di lapangan, Suleiman Al-Obeid juga dikenal karena jiwa kepemimpinannya yang teguh dan semangat membela tanah airnya. Hingga usia 39 tahun, ia masih bermain aktif dan bahkan memimpin klubnya, Khadamat Al-Shati, untuk promosi kembali ke divisi utama setelah sempat terdegradasi. Konsistensinya membuktikan dedikasi luar biasa dan cinta mendalam terhadap sepak bola.
Kematian Suleiman Al-Obeid menjadi pukulan besar bagi dunia olahraga Palestina yang kehilangan sosok penting dan inspiratif. Ungkapan duka datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk legenda Manchester United, Eric Cantona, yang melalui akun Instagramnya mengecam genosida di Gaza dan mempertanyakan sampai kapan kekejaman ini akan terus terjadi. Tindakan brutal terhadap atlet Palestina ini mendorong semakin banyak suara yang mendesak langkah nyata dari komunitas olahraga internasional untuk menghentikan kekerasan tersebut.
Desakan makin kuat ditujukan kepada FIFA agar menangguhkan keanggotaan Asosiasi Sepak Bola Israel. Banyak pihak menyatakan, keberadaan klub-klub Israel di pemukiman ilegal dan keterlibatan militer mereka dalam membunuh atlet Palestina melanggar prinsip-prinsip dasar olahraga dan kemanusiaan. Al-Obeid kini menjadi katalis perjuangan, tidak hanya bagi Palestina, tetapi juga bagi dunia yang masih percaya sepak bola seharusnya menjadi sarana untuk membangun perdamaian, bukan dijadikan alat demi ambisi kelompok tertentu.
Suleiman Al-Obeid memang telah tiada. Namun, warisannya akan terus hidup di hati rakyat Palestina. Ia adalah bukti semangat dan keberanian dalam bertahan di tengah kecamuk perang.