Visit Rwanda dan Upaya Sportswashing melalui Klub Elite Eropa

Rwanda memanfaatkan dunia olahraga untuk membangun citra baru di mata publik internasional melalui kampanye “Visit Rwanda” yang terpampang di jersey klub-klub elite sepak bola Eropa. Pemerintah Rwanda menempatkan olahraga sebagai panggung strategis untuk memperluas jangkauan citra global yang sulit dicapai lewat metode promosi tradisional. Upaya ini beriringan dengan ambisi negara tersebut mengembangkan sektor pariwisata sekaligus mengukuhkan peran politiknya di Afrika.
Dalam waktu bersamaan, pensponsoran itu memicu perdebatan besar karena bertepatan dengan laporan pelanggaran HAM dan konflik di Republik Demokratik Kongo. Banyak kelompok suporter dan aktivis mempertanyakan integritas klub, seperti Arsenal, Atletico Madrid, Paris Saint-Germain (PSG), hingga Bayern Munich yang menerima dana dari rezim dengan rekam jejak kontroversial. Ketegangan ini menunjukkan setiap strategi citra membawa konsekuensi moral yang tidak bisa dihindari.
1. Rwanda berupaya membangun citra sebagai tujuan wisata yang aman dan stabil
Rwanda berinvestasi besar dalam sponsorship sejak 2018, dengan Arsenal sebagai mitra pertama dalam kesepakatan bernilai sekitar 10 juta pound sterling (Rp222,7 miliar) per tahun. Pemerintah Rwanda memanfaatkan pendekatan authoritarian image management untuk menampilkan negara tersebut sebagai destinasi aman, modern, dan stabil. Strategi itu tampak jelas dalam video promosi PSG yang menampilkan Keylor Navas hingga Lionel Messi dengan latar keindahan Rwanda.
Branding Visit Rwanda terpampang pada lengan jersei Arsenal serta berbagai properti komersial di Emirates Stadium. PSG juga menempatkan logo “Visit Rwanda” pada perlengkapan latihan dan seragam pertandingan tertentu, sementara Atletico Madrid dan Bayern Munich menambah daftar klub yang bekerja sama. Bayern bahkan mengembangkan akademi pemuda di Kigali, ibukota Rwanda, sebagai bagian dari perjanjian sponsor yang kemudian direstrukturisasi.
Rwanda mengarahkan kampanye ini untuk memperkuat strategi pariwisata yang menjadi sumber pendapatan tahunan terbesar. Menurut The Athletic, Rwandan Development Board mencatat pemasukan senilai 620 juta dolar AS atau setara Rp10,319 triliun dari sektor pariwisata pada 2023, angka yang menunjukkan pentingnya eksposur global dari klub-klub Eropa. Pemerintah menyebut langkah ini sebagai jalan untuk menembus ceruk pasar wisata internasional tanpa mengeluarkan biaya sebesar kampanye global konvensional.
Keuntungan bagi klub-klub besar juga signifikan, karena mereka menerima pemasukan komersial yang stabil dari negara yang ingin mempromosikan diri secara agresif. Dalam situasi persaingan finansial yang tinggi, sponsorship dari pemerintah asing menjadi solusi bisnis yang menguntungkan. Rwanda memanfaatkan situasi itu untuk memastikan mereknya muncul di panggung sepak bola terbesar.
Keterlibatan National Basketball Association (NBA) dan Basketball Africa League (BAL) turut memperkuat upaya Rwanda menjadi pusat kegiatan olahraga internasional. Rwanda membangun fasilitas senilai lebih dari 250 juta dolar AS (Rp4,161 triliun) dan menjadikan Kigali sebagai tuan rumah beberapa edisi BAL, yang memperluas narasi negara itu sebagai pusat olahraga Afrika. Kerja sama ini memperkuat presensi Rwanda dalam lanskap olahraga global dan menjadi pelengkap sponsorship klub Eropa.
Namun muncul perbedaan narasi yang mencolok. Pemerintah Rwanda menyebut semua langkah itu sebagai praktik sports diplomacy yang sah dan positif. Sebaliknya, tinjauan akademis dari Cambridge University berjudul Rwanda’s Sportswashing and Its Western Facilitators menilai praktik tersebut memenuhi kriteria sportswashing yang menyembunyikan isu-isu sensitif terkait politik dan konflik regional.
2. Berbagai kalangan mulai mengkritik sponsor Visit Rwanda sebagai upaya sportswashing
Sportswashing menurut Dubinsky dalam Rwanda’s Sportswashing and Its Western Facilitators, adalah penggunaan olahraga untuk legitimasi politik dan distraksi dari isu-isu sensitif seperti represi domestik dan konflik regional. Konsep ini menggambarkan bagaimana sebuah negara memanfaatkan popularitas olahraga untuk mengalihkan perhatian publik internasional dari tindakan yang dianggap bermasalah. Praktik ini tidak hanya menutupi persoalan internal, tetapi juga membantu membangun narasi baru yang lebih positif.
Tinjauan studi tersebut menyebut ada tiga tujuan utama sportswashing. Pertama adalah mengalihkan perhatian publik dari pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung. Kedua, menurunkan persepsi urgensi agar tindakan tersebut tampak kurang mendesak untuk ditangani. Ketiga, menormalisasi pemerintah melalui asosiasi dengan institusi olahraga yang memiliki reputasi global.
Keterkaitan ketiga tujuan itu tampak pada reaksi para pendukung klub-klub besar. Suporter Arsenal meluncurkan kampanye “Visit Tottenham” sebagai satir untuk menolak kerjasama dengan Rwanda. Penggemar PSG menginisiasi petisi “Stop Visit Rwanda” yang ditandatangani lebih dari 75.000 orang. Suporter Bayern Munich membentangkan spanduk yang menyatakan, kerja sama tersebut mengkhianati nilai klub.
Aktivis HAM dari Rwanda dan Republik Demokratik Kongo juga mengecam pensponsoran itu. Mereka menyebut dana Visit Rwanda datang dari pertumpahan darah, merujuk pada kekerasan dan dugaan keterlibatan Rwanda dalam konflik M23 serta represi terhadap tokoh oposisi. Kritik ini menunjukkan, masalah etis tidak terpisahkan dari hubungan komersial yang melibatkan pemerintah dengan rekam jejak sensitif.
Meski demikian, resistensi suporter tidak cukup kuat untuk menggoyang struktur ekonomi olahraga global. Klub-klub Eropa tetap menikmati pemasukan besar, sementara Rwanda memperoleh sorotan positif dari khalayak internasional. Fenomena ini disebut sebagai soft disempowerment, saat kritik moral kalah oleh keuntungan finansial dan kapital simbolik.
Sportswashing Rwanda berfungsi karena adanya kolaborasi erat dengan aktor-aktor Barat. Klub-klub sepak bola Eropa, NBA, perusahaan public relation, dan berbagai institusi olahraga menjadi bagian dari mekanisme yang memungkinkan pemerintah Rwanda memoles citranya tanpa hambatan berarti. Struktur kapitalisme olahraga yang tidak mempertanyakan asal dana turut mempermudah proses itu.
3. Rwanda diduga memberikan dukungan militer kepada pasukan pemberontak di Republik Demokratik Kongo
Konflik Rwanda–Republik Demokratik Kongo (RDK) menjadi latar belakang utama kontroversi Visit Rwanda. Laporan PBB sejak 2022 hingga 2025 menuduh Rwanda memberikan dukungan militer, logistik, dan finansial kepada kelompok bersenjata M23 yang beroperasi di wilayah timur RDK. Tuduhan ini diperkuat berbagai laporan yang menyebut Rwanda ikut mengendalikan pergerakan kelompok tersebut.
PBB mencatat, Rwanda berada dalam posisi de facto pengendali M23. Laporan lain menyebut setidaknya 319 warga sipil terbunuh per Juli 2025 dalam operasi M23 dengan dukungan pasukan Rwanda Defence Force. Selain itu, M23 dituduh melakukan pola eksekusi singkat, penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual sistematis.
Dimensi ekonomi juga memperumit konflik tersebut. The Athlethic melaporkan, aktor yang terkait Rwanda diduga menjarah mineral bernilai tinggi seperti emas dan kobalt di wilayah pertambangan yang dikuasai M23. Aktivitas ini mempertegas argumen bahwa konflik tidak hanya bermotif politik, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan ekonomi.
Respons internasional muncul dalam bentuk tekanan diplomatik dan tuntutan moral. PBB menyerukan Rwanda untuk menghentikan dukungan kepada M23 serta menarik pasukan dari wilayah RDK. Menteri Luar Negeri RDK, Therese Kayikwamba Wagner, mengirim surat kepada Arsenal, Bayern Munich, dan PSG untuk menghentikan kerja sama komersial dengan Rwanda yang disebut sebagai pendanaan penuh darah.
Meski Presiden Donald Trump memfasilitasi perjanjian damai antara Presiden Rwanda, Paul Kagame, dan Presiden RDK, Felix Tshisekedi, di Washington, Amerika Serikat laporan BBC menunjukkan bentrokan terus berlanjut selepas penandatanganan kesepakatan tersebut. Stabilitas kawasan tidak mengalami perbaikan signifikan, dan tuduhan terhadap Rwanda tetap mengemuka.
Namun kabar baiknya, Arsenal dan Bayern Munich telah menghentikan kerja sama dengan Visit Rwanda, langkah yang menandai peninjauan ulang peran klub dalam strategi pencitraan Rwanda. Keputusan ini mempersempit ruang pemerintah Rwanda memanfaatkan sepak bola sebagai pengalih isu dari situasi genting di RDK. Langkah tersebut juga menegaskan paradoks ketika Rwanda dipuji sebagai negara maju oleh Barat, tetapi tetap dikaitkan dengan salah satu krisis kemanusiaan paling serius di Afrika.
Strategi Visit Rwanda menunjukkan bagaimana olahraga dapat menjadi alat diplomasi sekaligus sarana menutupi persoalan politik yang rumit. Kontroversi di balik kampanye itu mengingatkan bahwa citra global sebuah negara tidak pernah terlepas dari realitas yang melatarinya.


















