ilustrasi pengisian daya smartphone (unsplash.com/Amanz)
Masih menyambung soal aturan yang sempat disinggung pada pembahasan sebelumnya, batas maksimum 20Wh mungkin terdengar besar, tetapi angka ini berkaitan langsung pada tegangan baterai. Untuk sel lithium-ion standar bertegangan nominal sekitar 3,8V, kapasitas tersebut setara sekitar 5.300mAh per sel. Inilah yang menjadi batas atas bagi sebagian besar baterai smartphone modern di Eropa dan Amerika Serikat. Maka dari itu, kapasitas baterai di pasar-pasar tersebut cenderung sedikit lebih kecil dibanding model yang dijual di negara beraturan pengiriman lebih longgar seperti India dan China.
Meski aturan ini terasa menyulitkan dari sudut pandang konsumen, keberadaannya punya alasan kuat. Baterai lithium-ion menyimpan energi besar dalam ruang kecil dan efisien untuk smartphone dan laptop, tapi juga berisiko tinggi. Jika rusak, korselet, atau terkena panas berlebih, baterai ini bisa memicu kebakaran.
Mungkin kamu sudah tak asing dengan kasus smartphone meledak akibat thermal runaway. Untuk meminimalisir risiko tersebut, regulasi pengiriman diterapkan guna membatasi ukuran baterai yang boleh dikirim lewat jalur logistik biasa. Baterai lithium-ion juga wajib lolos uji keselamatan seperti UN38.3, meliputi pengujian terhadap ketinggian, getaran, dan suhu ekstrem.
Melalui pembatasan energi maksimum per sel sebesar 20Wh untuk proses pengiriman, pihak transportasi berusaha menekan potensi kebakaran besar di truk, kapal, atau ruang kargo pesawat. Kebijakan ini juga membantu menurunkan biaya asuransi. Artinya, baterai berkapasitas lebih besar tidak dilarang. Namun, jika melebihi ambang batas (sekitar 5.300mAh per sel), pengirimannya perlu kemasan tambahan, dokumen khusus, dan penanganan kargo terpisah demi menjaga keselamatan manusia serta lingkungan.