Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Smartphone Rp1 Jutaan Banyak Dijual, Tapi Laptop Tidak?

ilustrasi Samsung Chromebook (unsplash.com/Brooke Cagle)
Intinya sih...
  • Smartphone lebih melimpah karena pasar yang lebih besar dan permintaan tinggi dari berbagai kalangan.
  • Laptop membutuhkan material dan komponen yang lebih mahal, serta fokus produsen pada kelas menengah dan atas.
  • Persaingan ketat di kelas entry-level smartphone membuat harga murah, sementara laptop umumnya dibeli untuk penggunaan jangka panjang.

Di pasaran, menemukan smartphone dengan harga sekitar Rp1 jutaan sangat mudah. Beragam merek berlomba-lomba menawarkan pilihan dengan fitur yang cukup menarik. Namun, ketika berburu laptop di kisaran harga yang sama, kamu justru kesulitan menemukannya. Kalaupun ada, biasanya performanya sangat terbatas atau merupakan perangkat bekas.

Secara umum, harga laptop baru dijual mulai dari Rp2 jutaan. Hal ini disebabkan oleh faktor seperti ukuran layar dan desain bodi yang membutuhkan biaya produksi lebih tinggi, sehingga jarang ada laptop yang dijual di bawah harga tersebut. Bahkan, laptop Rp1 jutaan sangat langka dan jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan smartphone di kelas harga yang sama. Jika ada pun, biasanya merupakan model lama yang harganya turun karena pengaruh usia.

Lantas, mengapa perbedaan ini bisa begitu mencolok? Dalam artikel ini, penulis mencoba mengulas berbagai alasan mendasar smartphone Rp1 jutaan banyak dijual, sedangkan laptop murah dengan kisaran harga tersebut sangat jarang dijumpai. Simak penjelasan lengkapnya untuk tahu lebih dalam!

1. Segmentasi pasar yang sangat berbeda

ilustrasi tablet yang dilengkapi keyboard (unsplash.com/engin akyurt)

Smartphone menyasar seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari anak-anak hingga lansia, hampir semuanya memiliki smartphone karena digunakan untuk komunikasi, hiburan, hingga belajar. Sementara itu, laptop cenderung dibutuhkan oleh kalangan tertentu seperti pelajar, mahasiswa, atau pekerja kantoran. Imbasnya, pasar laptop tidak sebesar smartphone, apalagi di kelas harga terbawah.

Permintaan tinggi pada smartphone mendorong produsen untuk menciptakan banyak varian murah. Sebaliknya, karena target pengguna laptop lebih terbatas, produsen memilih fokus pada kelas menengah dan atas. Akibatnya, laptop harga 1 jutaan menjadi produk yang jarang diprioritaskan.

2. Komponen dan rancang bangun laptop lebih mahal

ilustrasi keyboard laptop (unsplash.com/Monika P.)

Laptop membutuhkan lebih banyak material seperti layar besar, keyboard fisik, trackpad, sistem pendingin, port konektivitas, hingga baterai berkapasitas tinggi. Komponen-komponen ini tidak hanya menambah biaya produksi, tetapi juga harus memenuhi standar daya tahan dan performa tinggi. Hal ini berbeda dari smartphone yang lebih ringkas dan dirancang untuk efisiensi.

Meskipun ukuran fisik smartphone lebih kecil, proses produksi komponen laptop lebih rumit. Bahkan prosesor dan RAM laptop biasanya lebih mahal karena tuntutan multitasking yang berat. Komponen untuk laptop membutuhkan performa tinggi dalam waktu lama dan tidak boleh mudah panas, sehingga standar kualitasnya lebih tinggi dan mahal. Semua ini membuat biaya pembuatan laptop sulit ditekan serendah smartphone murah.

3. Skala produksi dan persaingan di kelas bawah

itel A90 (itel-life.com)

Di industri smartphone, khususnya Android, persaingan di kelas entry-level sangat ketat. Merek seperti Xiaomi, realme, Infinix, hingga itel berlomba-lomba merebut hati pengguna di kelas bawah dengan spesifikasi yang memukau dengan harga murah. Persaingan ini menekan harga hingga muncul banyak varian smartphone di harga 1 jutaan.

Sementara itu, produsen laptop tidak terlalu agresif di kelas entry-level. Mereka lebih fokus pada kelas menengah dan atas, yang memiliki margin keuntungan lebih besar. Kalaupun ada laptop murah, biasanya dirancang untuk program bantuan pemerintah atau edukasi, dan tidak dijual bebas dalam jumlah besar.

4. Subsidi silang dan ekosistem bisnis smartphone

Antarmuka MIUI dari Xiaomi (mi.com)

Smartphone murah tidak selalu berarti untung besar bagi produsen. Banyak vendor mengandalkan model bisnis subsidi silang di mana mereka menjual perangkat dengan margin kecil tapi mendapatkan keuntungan dari ekosistem digital yang dibawakan. Contohnya, mereka memasang iklan di antarmuka, memonetisasi aplikasi bawaan, atau menawarkan langganan cloud secara berbayar. Model bisnis ini memungkinkan smartphone murah tetap menguntungkan.

Hal ini tidak berlaku di laptop. Sebagian besar laptop masih mengandalkan sistem operasi Windows atau Linux yang tidak mendukung monetisasi langsung seperti Android. Maka, produsen laptop tidak punya banyak cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari pengguna, sehingga harga perangkat harus mencakup seluruh biaya produksi dan keuntungan.

5. Perbedaan perilaku konsumen

ilustrasi pegawai toko smartphone (freepik.com/ASphotofamily)

Menurut Tom's Guide dan data dari Statista, kebanyakan orang biasanya mengganti smartphone dalam rentang waktu 2 sampai 3 tahun. Bahkan di kalangan pengguna kelas bawah, memiliki dua smartphone sekaligus sudah menjadi hal yang lumrah. Hal ini mendorong siklus pembelian yang lebih singkat dan menjaga permintaan di pasar tetap tinggi.

Sebaliknya, laptop umumnya dibeli untuk penggunaan jangka panjang, bahkan bisa digunakan selama 4 hingga 6 tahun. Tak mengherankan jika banyak orang menganggap pembelian laptop sebagai bentuk investasi jangka panjang. Karena daya tahan pakainya yang relatif lama dan frekuensi pembelian yang rendah, produsen pun cenderung tidak terlalu tertarik bermain di segmen laptop super murah.

6. Minimnya program subsidi laptop

ilustrasi seseorang menggunakan paket data internet (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Jika berkaca saat pandemi COVID-19 lalu, banyak bantuan pendidikan yang disalurkan dalam bentuk kuota internet atau smartphone murah agar pelajar bisa belajar dari rumah. Namun, sangat sedikit program pemerintah atau swasta yang secara masif mendistribusikan laptop murah. Ini menunjukkan adanya ketimpangan perhatian terhadap dua perangkat penting ini.

Meskipun ada inisiatif seperti Chromebook murah untuk pendidikan di beberapa negara, penerapannya di Indonesia masih terbatas. Akibatnya, pasar laptop murah tidak berkembang seperti smartphone murah, dan tidak ada tekanan pasar untuk menciptakan laptop Rp1 jutaan dalam jumlah besar. Sementara smartphone terus tumbuh karena adanya dorongan dari berbagai sektor.

7. Ada pilihan alternatif yang lebih praktis

ilustrasi aplikasi Zoom (unsplash.com/Iyus Sugiharto)

Kini, banyak orang memilih tablet atau smartphone berlayar besar ditambah keyboard Bluetooth sebagai pengganti laptop. Biaya totalnya bisa jauh lebih murah dan mencukupi untuk aktivitas dasar seperti mengetik, browsing, serta belajar online. Solusi ini sangat populer di kalangan pelajar yang memiliki dana terbatas.

Aplikasi seperti Google Docs, WPS Office, dan Zoom sudah tersedia di Android, sehingga kebutuhan produktivitas dasar tetap bisa terpenuhi. Hal ini membuat konsumen makin jarang mencari laptop murah karena smartphone bisa berperan layaknya laptop darurat yang cukup mumpuni untuk kebutuhan dasar. Alternatif ini juga lebih ringan serta praktis dibawa. Alhasil, permintaan untuk laptop super murah pun makin menyusut.

8. Laptop bekas sebagai solusi yang lebih masuk akal

ilustrasi laptop bekas yang kualitasnya masih bagus (unsplash.com/Alexey Demidov)

Jika benar-benar membutuhkan laptop di kisaran 1 jutaan, pasar barang bekas bisa menjadi solusi utama. Banyak laptop seperti Dell Chromebook, Axioo MyBook, atau HP Chromebook dijual murah di kisaran Rp1–2 juta. Meski bukan barang baru, performanya masih sanggup menangani kebutuhan tugas ringan.

Meski demikian, membeli laptop bekas tetap memiliki tantangan tersendiri. Mulai dari baterai yang sudah menurun performanya hingga kondisi layar yang mungkin tidak sempurna. Karena itu, pembeli harus lebih teliti dan siap menerima keterbatasan yang ada. Meskipun begitu, pilihan ini tetap lebih layak dibanding memaksakan diri mencari laptop baru di kisaran harga 1 jutaan yang nyaris tidak ada.

Sekarang kamu sudah paham, kan, mengapa smartphone Rp1 jutaan banyak dijual sedangkan laptop dengan kisaran harga yang sama jarang ada di pasaran? Bukan karena laptop tidak bisa dibuat semurah itu, melainkan karena adanya perbedaan signifikan dalam hal desain komponen, strategi bisnis, dan skala produksi. Smartphone dirancang untuk diproduksi secara massal dan didukung oleh ekosistem bisnis yang luas. Sementara laptop lebih berhati-hati dalam pengembangan dan penjualannya, karena sangat bergantung pada keuntungan dari penjualan perangkat itu sendiri

Jika kamu sedang berniat membeli laptop namun hanya memiliki anggaran sekitar Rp1 jutaan, tak perlu cemas. Solusi yang paling masuk akal adalah memilih laptop bekas dari penjual yang terpercaya, memastikan kondisi fisiknya masih layak, dan mengecek apakah perangkat tersebut masih mampu menjalankan aplikasi ringan seperti Microsoft Office, Zoom, atau browser dengan cukup baik. Memang, membeli laptop harga Rp1 jutaan terdengar mustahil. Kalau pintar mengakalinya, kamu tetap bisa menjalankan aktivitas produktif tanpa perlu merogoh kocek terlalu dalam. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us