[REVIEW] Sea of Stars—Game Bertema Jadul dengan Sentuhan Canggih

Cocok untuk penggemar pixel game

Sabotage Studio merilis Sea of Stars secara serentak di seluruh dunia pada 29 Agustus 2023. Game ini hadir di berbagai platform, termasuk Windows, Nintendo Switch, PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox One, dan Xbox Series X/S. Kehadirannya di banyak platform memungkinkan gamer memainkannya di mana pun.

Sudah begitu, Sea of Stars juga gratis di beberapa platform, seperti di Xbox dengan Xbox Game Pass. Jadi, gamer dengan Xbox Series S seperti penulis bisa langsung memainkan game pada hari pertama rilis. Mengunduhnya juga tidak terlalu lama karena ia membutuhkan sekitar 3,7 GB saja.

Meski tersedia cuma-cuma, ternyata banyak juga gamer yang membeli game ini. Sea of Stars bahkan laku hingga 100 ribu kopi saat rilis di seluruh dunia. Total pembelian pada minggu pertamanya bisa melebihi 250 ribu kopi.

Seperti apa, sih, game terbaru Sabotage Studio ini? Kok ia bisa laku ratusan ribu pada hari pertama rilis? Simak review Sea of Stars berikut!

1. Pixel game yang terinspirasi banyak game legendaris

https://www.youtube.com/embed/D3NNRkR1fSw

Sea of Stars (2023) merupakan role-playing video game (RPG) rekaan Sabotage Studio yang terinspirasi dari banyak game legendaris, seperti Breath of Fire (1993) dan Chrono Trigger (1995). Tidak heran jika game ini terasa jadul. Ia mengadopsi pixel art yang menjadi ciri khas game 1990-an tadi.

Sea of Stars sendiri merupakan prekuel game Sabotage Studio lainnya. Developer yang sekaligus penerbit game itu menciptakan pixel game ini dari dunia yang sama dengan The Messenger (2018). Latar waktu kedua game terpaut ratusan tahun. Cerita Sea of Stars terjadi sebelum The Messenger.

Sea of Stars menceritakan dua orang hero bernama Valere dan Zale. Masing-masing karakter punya kekuatannya sendiri. Valere mengadopsi kekuatan Bulan, sementara Zale mengadopsi kekuatan Matahari. Keduanya disebut sebagai Solstice Warriors.

Valere dan Zale bertualang ke berbagai belahan dunia untuk mengalahkan seorang alkemis jahat. Mereka bertemu dengan berbagai orang yang kemudian tergabung dalam kelompok protagonis. Gamer bisa memainkan hingga enam karakter dalam perjalanan penuh teka-teki yang menantang.

2. Gameplay ciamik dengan kombat menarik

[REVIEW] Sea of Stars—Game Bertema Jadul dengan Sentuhan CanggihSea of Stars (dok. Sabotage Studio/Sea of Stars)

Gameplay Sea of Stars mirip dengan beragam game legendaris tadi. Pengulangannya memang terasa dominan daripada inovasinya. Namun, sentuhan modern terasa dari berbagai sisi, terutama sensibilitas gerakan. Tidak heran sejumlah review aggregator dan game reviewer memberinya nilai mendekati sempurna, bahkan sempurna. The Guardian, misalnya, memberikan bintang 5/5.

Sistem kombat boleh jadi salah satu yang menarik perhatian. Sea of stars mengadopsi turn-based combat. Gamer bisa mengendalikan sebanyak-banyaknya 6 karakter, termasuk 2 karakter utama dengan intuitif. Pertarungan melawan antagonis tidak sekadar memilih opsi. Gamer dituntut untuk cekatan dalam memencet tombol untuk mendapatkan bonus saat menyerang dan bertahan.

Teka-tekinya juga tidak kalah menantang. Ada banyak rintangan yang mesti dilalui. Sejumlah rintangan mesti dihadapi dengan kemampuan khusus. Kemampuan itu akan didapat sepanjang game. Gamer dibuat penasaran dengan kemampuan khusus apa lagi yang bisa didapat selama petualangan.

Baca Juga: 5 Game Seru di PC Game Pass yang Wajib Kamu Mainkan Sekarang!

3. Pixel art papan atas dengan detail yang memanjakan mata

[REVIEW] Sea of Stars—Game Bertema Jadul dengan Sentuhan CanggihSea of Stars (dok. Sabotage Studio/Sea of Stars)

Sabotage Studio merupakan studio indie game. Mereka beroperasi secara mandiri. Pada 2018, Sabotage Studio menelurkan The Messenger. Game ini mendapatkan gelar Best Debut Indie Game pada The Game Award tahun itu. 

Dengan gelar sebergengsi itu, Sabotage Studio makin mengeksplorasi game bertema jadul. Bahkan, mereka kini berani mendaku sebagai retro-inspired indie developer. Sebab, Sabotage Studio kerap fokus menggunakan pixel art sebagai tumpuan.

Sea of Stars juga dibangun dengan grafik retro. Namun, berbeda dengan pixel game pada 1990-an, seperti Breath of Fire dan Chrono Trigger yang menjadi inspirasi, detail game ini jauh lebih menakjubkan. Bahkan, perbedaannya dengan The Messenger juga terasa. Ini tampak dari bangunan dunia dan karakter yang dibentuk Sabotage Studio.

Dengan bantuan teknologi yang lebih canggih, tiap gambar dibuat memanjakan mata. Developer cermat dalam memvisualisasikan apa yang mereka inginkan. Sekadar bayangan saja bisa tampak nyata. Ketika gamer menggerakkan karakter utama, bayangan mereka akan mengikuti arah cahaya. Bahkan, binar di sekitar Valere (Bulan) dan Zale (Matahari) dibuat berbeda warna. Valere biru seperti cahaya pada malam hari, sedangkan Zale kuning seperti cahaya pada siang hari.

Lanskap selama perjalanan tentu tidak kalah menarik. Lihat saja kontur bebatuan di pegunungan atau kontur kayu di jembatan yang menghubungkan satu titik dengan titik lain. Detailnya membuat Sea of Stars menjadi pixel game dengan level fantastis.

4. Soundtrack yang pas untuk menemani petualangan

https://www.youtube.com/embed/3P7fZHofRNE

Suara menjadi faktor yang tidak bisa dilepaskan dari game. Ini termasuk soundtrack yang kerap menjadi ciri khas sebuah permainan. Tidak jarang musik dalam game membuat game itu makin ikonis.

Sea of Stars tentu tidak mau hadir dengan soundtrack yang biasa saja. Sabotage Studio lantas menggandeng kembali komposer The Messenger, Eric Brown. Mereka bahkan menggandeng komposer Chrono Trigger, Yasunori Mitsuda, untuk berkontribusi.

Hasilnya ternyata memuaskan. Suara-suara dalam game, termasuk soundtrack tadi, cukup bisa dinikmati. Para komposer rupanya berusaha membawa nostalgia ke dalam game terbaru. Soundtrack ciptaan mereka mampu menemani petualangan gamer bersama Valere, Zale, dan kawan-kawan seperti petualangan pada banyak game legendaris yang menginspirasinya.

5. Game yang layak dimainkan penggemar pixel

[REVIEW] Sea of Stars—Game Bertema Jadul dengan Sentuhan CanggihSea of Stars (dok. Sabotage Studio/Sea of Stars)

Premis Sea of Stars terbilang sederhana. Ini seperti cerita-cerita kepahlawanan pada umumnya. Dua orang hero bersama protagonis lainnya melakukan perjalanan untuk memecahkan teka-teki melawan alkemis jahat.

Perjalanan ini dibuat semenantang mungkin. Valere dan Zale sebagai Solstice Warriors diharapkan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ditemukan dalam petualangan mereka. Sabotage Studio juga berani memainkan alur, terutama pada awal cerita, sehingga benang yang karut-marut itu terajut pelan-pelan.

Sayangnya, secara naratif, game ini terasa kurang menggugah. Premisnya yang terbilang sederhana seakan menjadi bumerang. Apalagi, formula ceritanya tidak berbeda dengan banyak game yang menginspirasinya.

Secara keseluruhan, Sea of Stars layak akan nilai 4/5. Gameplay, grafik, dan soundtrack menyelamatkan plot yang kurang menggugah tadi. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan kebanyakan review aggregator dan game reviewer di seluruh dunia. Ini sekaligus menjawab pertanyaan di muka tentang mengapa Sea of Stars bisa laku ratusan ribu pada hari pertama rilis. Worth to play!

Baca Juga: 7 Game Paling Diantisipasi pada September 2023, Bisa Jadi Koleksi

Andari Rizki Photo Writer Andari Rizki

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya