Alasan Mikrotransaksi Jadi Awal Mula Keruntuhan Bisnis Video Game

Sistem mikrotransaksi banyak menuai kontroversi

Mikrotransaksi adalah transaksi elektronik yang terjadi di dalam video game menggunakan uang asli (bukan mata uang dalam game). Adanya digitalisasi memudahkan pengembang dan penerbit video game untuk memecah video game menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian ini kemudian dijual secara terpisah di dalam game.

Mikrotransaksi ini banyak sekali ragamnya, mulai dari aksesori untuk tampilan karakter atau yang lazim disebut skin, konten cerita dan mekanik permainan yang baru, dan barang dalam game yang eksklusif. Biasanya konten ekstra ini tidak bisa didapatkan apabila kita membeli game dasarnya saja. Tentunya, ini sangat memberatkan pemain yang ingin merasakan semua hal yang ditawarkan oleh game tersebut. Sudah harga game dasarnya mahal, eh, harus ditambah beli printilan-printilannya juga. Berikut alasan mikrotransaksi jadi awal mula keruntuhan bisnis video game.

1. Kenapa mikrotransaksi dalam game bisa marak terjadi?

Alasan Mikrotransaksi Jadi Awal Mula Keruntuhan Bisnis Video Gamegameplay Apex Legends (dok. Respawn Entertainment/Apex Legends)

Mengapa praktik ini marak dijumpai dan seolah-olah dimaklumi? Perusahaan dan developer sudah paham betul bahwa pemain sangat ingin memainkan game mereka. Tidak jarang, kita menemui orang-orang yang sangat fanatik dengan sebuah judul atau serial video game, mulai dari game sederhana, seperti Candy Crush, hingga game modern dengan tampilan realistis seperti, Grand Theft Auto V (GTA V) dan Assassin’s Creed Odyssey. Untuk orang-orang seperti ini, harga bukanlah masalah. Yang terpenting, mereka bisa bermain game kesayangan mereka dengan konten yang lengkap.

Bagi mereka yang cuma punya uang pas-pasan, tentunya hal ini sangat memberatkan dompet mereka yang sudah tipis seperti tisu. Bayangkan saja, game keluaran terbaru harganya sekitar Rp600ribu—Rp1 juta. Dengan model mikrotransaksi, game tersebut berarti belum lengkap karena masih ada konten tersembunyi di balik kata-kata ekstra konten. Gokil juga, ya!

Bagi gamer yang tidak terlalu memikirkan konten dalam game, hal ini bukan masalah besar. Namun, bagi gamer fanatik yang ingin merasakan seluruh konten yang ditawarkan, tentunya hal ini akan membuat frustrasi. Merasa relate?

Dari sinilah, perusahaan dan developer video game melihat adanya pasar untuk mengembangkan mikrotransaksi. Mereka melihat bahwa pemain (meski tidak semua) nyatanya mampu untuk membayar dan membeli mikrotransaksi yang ditawarkan. Namanya juga perusahaan yang nyari untung, kalau bisa diduitin, kenapa gak?

Baca Juga: 7 Game Terbaik yang Berlatar di Inggris Era Victoria

2. Biaya produksi game yang fantastis

Alasan Mikrotransaksi Jadi Awal Mula Keruntuhan Bisnis Video GameGTA V menjadi salah satu game dengan biaya produksi yang fantastis. (dok. Rockstar Games/GTA V)

Dilansir Game Rant, biaya produksi yang dibutuhkan untuk game GTA V mencapai 265 juta dolar Amerika atau sekitar Rp4,1 triliun. Kalau ditulis pakai angka, sekitar segini, nih: Rp4.145.315.500.000. Biaya itu sudah termasuk biaya produksi dan publikasi. Tetap saja itu hal yang di luar nalar untuk dibayangkan.

Melihat biaya yang fantastis itu, tentunya perusahaan video game perlu memutar otak untuk dapat meraup keuntungan secara maksimal. Pasalnya, uang hasil penjualan dari game tidak seutuhnya masuk ke kantong perusahaan. Pastinya mereka harus membaginya ke semua pihak yang ikut andil dalam pengembangan, penerbitan, dan publikasi game tersebut.

Perusahaan video game tidak bisa seenaknya membanderol harga game dengan tinggi begitu saja. Kalau harga game terlalu tinggi, tentunya hal itu membuat hanya sedikit orang yang mampu membeli. Itu sebabnya, dibuatlah skema mikrotransaksi agar uang dapat tetap masuk dari game yang sudah dibeli oleh pemain dengan cara transaksi yang ada di dalam video game. Karena itulah, zaman sekarang, video game itu mirip seperti sapi yang diperah (milking) terus-menerus untuk menghasilkan uang bagi pemiliknya.

3. Pemain beralih ke cara ilegal

Alasan Mikrotransaksi Jadi Awal Mula Keruntuhan Bisnis Video Gameilustrasi gamer frustrasi (pexels.com/RDNE Stock project)

Mahalnya game rilisan terbaru, ditambah maraknya mikrotransaksi pada hampir setiap game, membuat gamer kecewa. Banyak gamer yang meninggalkan cara legal untuk mendapatkan game—dengan membeli di platform atau toko resmi. Para gamer beralih ke cara ilegal atau biasa disebut dengan game bajakan untuk menyiasati hal ini.

Permasalahan utama skema mikrotransaksi ini adalah para pemain merasa memainkan game yang gak lengkap. Mereka harus mengeluarkan uang tambahan untuk mendapatkan konten yang tersembunyi. Hal ini membuat gamer skeptis tentang game baru yang akan rilis pada masa mendatang. Sebagian akan berpikir, “Ah, ngapain beli mahal-mahal? Paling itu gak lengkap. Harus beli ini itu lagi di dalam game.”

Memang benar, adanya skema mikrotransaksi ini membuat roda bisnis bagi perusahaan video game tetap berjalan. Namun, apabila hal ini terus terjadi, bahkan apabila uang yang harus dibayarkan semakin bertambah, bukan tidak mungkin ini akan menjadi awal mula keruntuhan bisnis video game. Banyak gamer yang mungkin tidak mampu membeli game yang mereka rilis.

Penulis berharap semoga ada sistem baru yang lebih masuk akal dibanding mikrotransaksi ini ke depannya. Penulis pun termasuk gamer yang kurang suka dengan skema ini alias duit segitu, mah, mending buat makan!

Baca Juga: 5 Karakter yang Bisa Jadi Kejutan di Final Fantasy VII Rebirth

Anjar Ilham Pambudi Photo Verified Writer Anjar Ilham Pambudi

...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya