[REVIEW] Back 4 Blood—Kisah Apokaliptik Zombi yang Berdarah-darah

Seru jika dimainkan bersama teman-teman

Back 4 Blood merupakan game online co-op yang dibuat dan dikembangkan oleh Turtle Rock Studios. Banyak gamer yang menyatakan bahwa game ini adalah kelanjutan dari serial Left 4 Dead 2 yang pernah fenomenal sekitar 12 tahun lalu. Namun, di mata penulis, game ini bukanlah lanjutan langsung dari Left 4 Dead 2 meskipun ia hadir dalam balutan genetik yang sama. Hal ini tak bisa dilepaskan dari sejarah pasang surut dan eksistensi sang developer di dunia game.

Mundur sedikit ke belakang, pada 2008, Turtle Rock Studios menjadi developer yang mengembangkan Left 4 Dead bagian pertama. Setelah kesuksesannya, di tahun yang sama, mereka diakuisisi oleh Valve. Sejak itu, proyek pengembangan permainan video jatuh ke tangan Valve secara mayoritas. Nah, karena satu dan lain hal, pada 2011 Turtle Rock Studios berpisah dari Valve untuk menjadi perusahaan yang betul-betul mandiri.

Oke, kita singkirkan sejenak ruwetnya hubungan antara Turtle Rock Studios dan Valve. Sekarang, kita hanya fokus pada Back 4 Blood yang akan diulas secara ringkas berikut ini. Yuk, disimak review Back 4 Blood berikut ini!

1. Menjadi penyintas di tengah wabah zombi yang sangat ganas

[REVIEW] Back 4 Blood—Kisah Apokaliptik Zombi yang Berdarah-darahBack 4 Blood punya plot yang tergolong simpel. (dok. Turtle Rock Studios/Back 4 Blood)

Jika pernah memainkan Left 4 Dead dan Left 4 Dead 2 sebelumnya, kamu akan langsung paham tentang plot atau latar belakang cerita yang dihadirkan dalam Back 4 Blood. Ya, ia dihadirkan dengan jalan cerita yang simpel, menarik, dan tentu mudah dipahami, bahkan oleh gamer baru. Dalam game ini, kita ditugaskan untuk menjadi penyintas di tengah wabah zombi atau zombie yang brutal dan ganas.

Mirip seperti Left 4 Dead, terdapat empat karakter yang akan aktif untuk menjadi penyintas secara in-game. Kali ini, kalian yang selamat dan kebal dari parasit zombi dinamakan sebagai Cleaners. Sementara, musuh-musuh kalian yang terdiri dari zombi dan monster bermutasi dinamakan Ridden. Bisa ditebak bahwa dua kubu ini juga akan aktif dalam pertempuran PvP (player vs. player) yang bagi penulis terasa sangat membosankan.

Jujur saja, plot cerita yang terkesan sederhana macam ini tidak memberikan kesan mendalam bagi penulis. Bahkan, premis yang ada dihadirkan begitu repetitif jika dibandingkan dengan Left 4 Dead dan Left 4 Dead 2. Memang, sih, terlalu halu juga bagi penulis jika mengharapkan Back 4 Blood memiliki cerita mendalam layaknya serial Resident Evil. Namun, gak ada salahnya juga, kan, jika developer menyuntikkan plot yang agak dalam lagi?

Untungnya masih ada tulisan dan coretan-coretan di dinding yang bisa merepresentasikan latar belakang cerita secara keseluruhan. Jelas bahwa Turtle Rock Studios tidak berencana menjadikan game ini sebagai sebuah permainan yang memiliki premis kompleks dan dalam. Namun, sebagai penggemar dari Left 4 Dead, sebetulnya tak ada alasan bagi kamu untuk tidak memainkan Back 4 Blood.

2. Gameplay lebih kompleks dan tak berpotensi membuat jenuh

[REVIEW] Back 4 Blood—Kisah Apokaliptik Zombi yang Berdarah-darahMenghadapi monster yang bermutasi akan sering terjadi dalam Back 4 Blood. (dok. Turtle Rock Studios/Back 4 Blood)

Bergerak dari satu titik ke titik lainnya masih menjadi inti dari gameplay pada Back 4 Blood. Namun, bedanya dengan Left 4 Dead, tak ada lagi jalinan kejadian yang berpotensi membuat jenuh. Penulis masih ingat saat memainkan Left 4 Dead dan Left 4 Dead 2, penyintas hanya akan bergerak secara linear menuju safe room. Ini dinilai cukup membosankan dan berpotensi untuk ditinggalkan begitu saja.

Kala itu, halangan yang akan kita hadapi hanyalah segerombolan zombi dan beberapa mini bos yang kesulitannya tak seberapa. Namun, dalam Back 4 Blood, kita akan menjalankan sebuah misi dan perjalanan yang lebih berwarna. Bukan hanya zombi dan monster aneh dengan kesulitan tinggi, beberapa hal macam ranjau dan kejutan lainnya sering didapatkan untuk menuju ke zona lainnya.

Oh, ya, ada sembilan orang Cleaner yang bisa kita pilih sebagai karakter utama untuk kita mainkan. Mereka adalah Holly, Walker, Hoffman, Evangelo, Karlee, Doc, Jim, Mom, dan Jack Cutter (versi DLC). Tampilan Ridden juga dihadirkan cukup beragam, detail, dan memiliki kesulitannya masing-masing. Satu hal yang pasti, memainkan game ini bersama teman-teman akan membawa kenikmatan dan keseruan tersendiri.

Ada sistem baru yang disertakan dalam game ini, yakni kartu. Fitur unik ini akan membuat pemain lebih intens dan serius untuk menyelesaikan tiap-tiap misinya. Pasalnya, kartu-kartu ini bisa didapatkan setelah kita mencapai sebuah level tertentu. Kartu-kartu ini berpengaruh pada permainan karena karakter kita akan menjadi lebih kuat jika menggunakan kartu yang ada.

Yup, dalam tiap-tiap kartu yang didapatkan, terdapat spesialisasi unik seperti health bar; kemampuan menggunakan senjata; stamina; dan lain sebagainya. Jadi, untuk bisa selamat dan sukses menuju ke stage berikutnya, strategi juga wajib diterapkan dalam tiap-tiap misi yang dijalankan.

3. Persaingan ketat antarpemain di seluruh dunia

[REVIEW] Back 4 Blood—Kisah Apokaliptik Zombi yang Berdarah-darahMonster dalam Back 4 Blood punya kesulitannya masing-masing. (dok. Turtle Rock Studios/Back 4 Blood)

Jangan menjadi pemain noob dalam Back 4 Blood. Tak masalah jika kamu memainkan Left 4 Dead dengan cara konyol yang menyebabkan kematian berulang kali. Namun, dalam Back 4 Blood, kita akan memainkan semuanya secara online. Itu sebabnya, kemampuan kita akan diuji oleh pemain-pemain lainnya di seluruh dunia. Jika bermain dengan buruk, tanpa tedeng aling-aling, kita akan dikeluarkan dari grup yang ada.

Di satu sisi, sistem online ini dianggap sebagai poin minus terbesar. Bahkan, memainkan game ini secara single-player dan solo (menggunakan AI komputer), Back 4 Blood tetap menuntut permainan secara online. Bagi developer, cara ini menjadi satu-satunya jalan untuk menghindari pembajakan. Di sisi lainnya, bermain online bersama pemain-pemain di seluruh dunia tentu akan membawa keseruan tersendiri.

Satu lagi, terdapat sistem Easy Anti-Cheat (EAC) dalam game ini. Mekanisme ini jelas tidak akan mengizinkan siapa pun untuk memodifikasi dan mencurangi Back 4 Blood. Jadi, sepertinya memang bakalan tidak ada mod yang akan dihadirkan oleh pihak ketiga di masa depan. Hal tersebut sangat berbeda dengan Left 4 Dead dan Left 4 Dead 2 yang masih bisa dicurangi dengan cara yang simpel.

Baca Juga: [REVIEW] Subnautica: Below Zero—Masih Memikat dengan Tampilan Indah

4. Grafis tampil apik meskipun tidak pada taraf memesona

[REVIEW] Back 4 Blood—Kisah Apokaliptik Zombi yang Berdarah-darahVisual pada Back 4 Blood yang sudah tampil apik. (dok. Turtle Rock Studios/Back 4 Blood)

Kendati tidak termasuk ke dalam grafis yang sangat memesona, Black 4 Blood sudah mampu tampil apik dan detail. Beberapa glitch dan bug mungkin akan ditemukan, tapi sangat jarang dan tidak sampai mengganggu jalannya permainan. Hal yang paling dominan ditampilkan dalam game ini tentu saja pemandangan yang berdarah-darah.

Selain Windows (PC), Black 4 Blood juga dirilis untuk konsol PS4, PS5, Xbox One, dan Xbox Series X. Jika dimainkan pada layar 4K, grafis yang dihadirkan jelas sudah bisa disejajarkan dengan banyak game apokaliptik kekinian meski kualitasnya masih di bawah Resident Evil Village, Gears 5, dan Doom Eternal.

Satu hal yang penulis suka adalah gambaran mengenai dunia apokaliptik yang bisa diterjemahkan oleh developer dengan sangat baik. Suramnya wabah zombi dan ganasnya mutasi dari parasit mengerikan bisa disuguhkan dengan cara epik yang brutal. Untuk PC sendiri, spesifikasi menengah, seperti RAM 12 GB, GPU setara GTX 970, kapasitas ruang simpan 45 GB, dan prosesor Intel Core i5, sudah mampu menjalankan game ini dengan mulus.

5. Kualitas audio biasa-biasa saja

[REVIEW] Back 4 Blood—Kisah Apokaliptik Zombi yang Berdarah-darahBack 4 Blood hanya menampilkan audio yang biasa saja. (dok. Turtle Rock Studios/Back 4 Blood)

Setelah memainkannya selama hampir setengah hari, tak ada kesan apa-apa bagi penulis terhadap kualitas audio dalam game ini. Meskipun tidak buruk, kualitas audio yang dihadirkan dalam game ini justru terkesan sama saja dengan Left 4 Dead dan Left 4 Dead 2, tentunya dengan sedikit upgrade. Raungan monster memang sangat beragam, tapi tidak cukup menakutkan.

Mungkin hal terbaik yang bisa didengar dalam audionya adalah kualitas dari pengisi suara. Back 4 Blood memang diisi oleh pengisi suara yang cukup bertalenta di bidangnya. Secara umum, jika mendengarkannya melalui headset pun, audio tetap akan tampil kurang dominan. Kabar baiknya, kamu bakal melupakan itu semua karena perhatianmu akan terfokus pada sisi gameplay yang cukup atraktif.

6. Tampil segar, tapi masih ada banyak kekurangan

[REVIEW] Back 4 Blood—Kisah Apokaliptik Zombi yang Berdarah-darahBack 4 Blood masih memiliki banyak kekurangan. (dok. Turtle Rock Studios/Back 4 Blood)

Back 4 Blood sudah mampu tampil apik dan segar untuk mengobati kerinduan penggemar kisah apokaliptik macam Left 4 Dead. Namun, harus penulis akui bahwa ada banyak kekurangan yang muncul dalam game ini. Sistem yang mewajibkan selalu online juga dianggap banyak orang sebagai salah satu kekecewaan terbesar bagi penggemar Left 4 Dead.

Selain itu, harga yang ditawarkan juga cukup mahal. Di Steam, Back 4 Blood dijual dengan harga Rp749 ribu untuk versi yang paling standar. Adapun, versi deluxe dan ultimate-nya dijual seharga di atas Rp1 juta. Bagi banyak gamer, rentang harga ini dirasa sangat mahal karena game ini sejatinya masih memiliki DNA yang sama seperti pendahulunya.

Game ini mungkin akan sangat digandrungi bagi mereka yang sama sekali belum memainkan seri Left 4 Dead. Sebaliknya, bagi gamer yang sudah pakem dengan serial legendaris tersebut, mungkin justru tidak akan mendapatkan apa-apa selama memainkannya. Kendati demikian, tampilan grafis dan sistem gameplay yang segar bisa menjadi salah satu kelebihan tersendiri bagi karya arahan Phil Robb ini.

Skor 3,5/5 menjadi penilaian akhir bagi penulis untuk Back 4 Blood. Memainkannya selama berjam-jam di PC membawa nostalgia tersendiri bagi penulis. Namun, tetap saja plot yang dihadirkan terlalu dangkal. Kualitas audio pun terkesan hambar. So, semoga ulasan kali ini bisa menjadi referensi buat kamu, ya.

Baca Juga: [REVIEW] Alan Wake Remastered—Tebar Pesona lewat Visual dan Audio

https://www.youtube.com/embed/8fpkwFpPyjA
Dahli Anggara Photo Verified Writer Dahli Anggara

Age quod agis...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya