Kenapa Perusahaan Cloud Gaming Pongah dalam Revolusi Gaming?

Intinya sih...
- Cloud gaming menawarkan aksesibilitas, efektivitas biaya, dan fleksibilitas yang luas.
- Perusahaan cloud gaming sering mengumbar janji revolusi besar-besaran namun berhadapan dengan kenyataan infrastruktur internet, harga langganan, dan minimnya dukungan pengembang game.
- Model bisnis cloud gaming belum matang dan perusahaan terlalu cepat mengklaim diri sebagai revolusi industri tanpa mempertimbangkan kebutuhan gamer hardcore.
Cloud gaming hadir membawa angin segar dalam industri game yang mengubah cara para gamer bermain. Teknologi ini menawarkan aksesibilitas, efektivitas biaya, dan fleksibilitas yang semakin luas. Berkat cloud gaming, pemain tidak perlu lagi berinvestasi pada perangkat keras mahal atau membeli cakram game fisik. Sebaliknya, mereka dapat melakukan streaming game langsung ke perangkat mereka, baik itu PC, laptop, smartphone, maupun smart TV. Aksesibilitas yang lebih luas ini membuat game lebih inklusif dan membuka peluang baru bagi para gamer di seluruh dunia.
Namun, kehadiran cloud gaming ini ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, perusahaan penyedia layanan ini menjanjikan pengalaman bermain game berkualitas tinggi tanpa perlu membeli perangkat mahal. Namun, di sisi lain, kepongahan perusahaan cloud gaming dalam menjanjikan revolusi industri kerap berbenturan dengan realitas yang ada. Keterbatasan infrastruktur internet, harga langganan yang belum kompetitif, serta minimnya dukungan pengembang game besar membuat cloud gaming sulit menggantikan metode gaming konvensional. Lantas, mengapa perusahaan cloud gaming tetap pongah dalam menjanjikan revolusi gaming? Ini dia alasannya.
1. Perusahaan cloud gaming sering mengumbar janji revolusi besar-besaran
Perusahaan cloud gaming sering mengumbar janji revolusi besar-besaran dalam dunia game. Mereka berusaha meyakinkan gamer bahwa era membeli konsol mahal atau merakit PC gaming kelas atas sudah berakhir. Cloud gaming memungkinkan kamu hanya butuh koneksi internet stabil untuk memainkan game AAA berkualitas terbaik di perangkat apa pun, bahkan di smartphone atau smart TV. Klaim ini terdengar menggiurkan, terutama bagi gamer yang tidak ingin mengeluarkan uang besar untuk membeli perangkat keras atau konsol game. Mereka memasarkan layanan ini seolah-olah gaming tradisional akan segera ditinggalkan, lalu cloud gaming adalah masa depan yang tak terelakkan.
Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu sesuai janji tersebut. Banyak layanan cloud gaming masih berjuang menghadapi masalah teknis, seperti latensi tinggi, kompresi grafis, dan ketergantungan penuh pada stabilitas jaringan. Alih-alih menjadi pengalaman bermain yang mulus, banyak gamer justru menghadapi kendala lag yang mengganggu gameplay atau kualitas gambar yang turun drastis saat koneksi internet melemah. Janji revolusi besar-besaran ini akhirnya terasa lebih seperti strategi pemasaran berlebihan dibanding kenyataan yang bisa dinikmati semua pemain.
Google Stadia adalah salah satu contoh paling nyata bagaimana janji besar cloud gaming sering kali tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Saat pertama kali diumumkan pada 2019, Stadia digadang-gadang sebagai revolusi gaming yang akan menghilangkan kebutuhan perangkat keras mahal. Google menjanjikan pengalaman bermain game berkualitas tinggi, resolusi hingga 4K pada 60fps, tanpa perlu mengunduh atau menginstal apa pun. Hanya mengandalkan browser Chrome dan koneksi internet stabil, Stadia diklaim mampu menghadirkan pengalaman gaming layaknya menggunakan konsol atau PC kelas atas.
Namun, sejak peluncurannya, Stadia menghadapi berbagai kendala yang membuat banyak gamer kecewa. Masalah latensi menjadi keluhan utama, terutama bagi game yang membutuhkan respons cepat seperti FPS atau game balap. Selain itu, tidak semua gamer memiliki akses ke internet berkecepatan tinggi yang stabil sehingga banyak yang mengalami penurunan kualitas grafis atau bahkan disconnect di tengah permainan. Google juga gagal membangun ekosistem game yang kuat. Banyak developer enggan merilis game eksklusif di platform tersebut. Pada akhirnya, kurangnya dukungan komunitas dan model bisnis yang tidak menarik bagi gamer membuat Google menutup layanan Stadia pada Januari 2023. Ini termasuk bukti nyata bahwa revolusi yang dijanjikan tidak selalu bisa diwujudkan dengan mudah.
2. Asumsi perusahaan cloud gaming bahwa semua pemain punya akses internet berkecepatan tinggi
Sebagian besar perusahaan cloud gaming terkesan pongah sehingga menganggap bahwa semua pemain memiliki akses internet cepat dan stabil. Mereka terlalu optimistis bahwa jaringan 5G atau fiber optik sudah tersebar luas dan mudah dijangkau. Padahal, kenyataannya banyak wilayah di negara maju masih belum memiliki infrastruktur internet yang mendukung cloud gaming secara optimal. Latensi tinggi dan kecepatan yang tidak stabil menjadi kendala utama yang mengganggu pengalaman bermain.
Di negara berkembang seperti Indonesia, masalah ini tentu lebih terasa. Akses internet cepat belum merata dan biaya langganan masih tergolong mahal bagi sebagian besar orang. Bahkan, di kota besar saja jaringan internet masih sering mengalami gangguan atau fluktuasi kecepatan. Akibatnya, cloud gaming hanya bisa diakses oleh pengguna dengan internet premium, bukan solusi massal seperti yang dijanjikan. Jika perusahaan terus mengabaikan fakta ini, mereka akan kehilangan kepercayaan gamer yang merasa dikecewakan oleh ekspektasi yang tidak realistis.
Kegagalan Google Stadia menjadi bukti nyata dari permasalahan ini. Layanan ini bergantung pada internet cepat yang merata, tetapi Google gagal memperhitungkan ketimpangan infrastruktur global. Banyak wilayah tidak memiliki bandwidth yang cukup untuk streaming game 4K secara stabil sehingga performa Stadia tidak konsisten di berbagai pasar. Google merekomendasikan koneksi 35 Mbps untuk pengalaman optimal. Nah, bahkan di negara maju saja kemacetan jaringan dan keterbatasan Wi-Fi sering menurunkan kualitas bermain. Bagi gamer di daerah pedesaan atau negara berkembang, Stadia hampir tidak bisa dimainkan yang akhirnya mempersempit basis pelanggan potensialnya.
3. Biaya berlangganan yang tidak selalu sebanding
Salah satu daya tarik utama cloud gaming terletak pada kemampuannya menghapus kebutuhan perangkat keras mahal. Namun, perusahaan penyedia layanan ini kerap terlalu percaya diri bahwa model bisnis mereka akan menggantikan konsol dan PC gaming meski realitas di lapangan tidak selalu mendukung klaim tersebut. Banyak layanan cloud gaming menetapkan biaya berlangganan tinggi, bahkan melebihi layanan game berbasis konsol atau PC. Misalnya, Google Stadia Pro mematok harga 9,99 dolar AS per bulan (sekitar Rp142.000) untuk akses ke game berkualitas hingga 4K/60fps/HDR dan suara surround 5.1 serta beberapa game gratis dan diskon eksklusif. Namun, sebagian besar game tetap harus dibeli terpisah yang membuat biaya keseluruhan membengkak. Ini tergolong kebijakan yang menunjukkan keyakinan berlebihan bahwa gamer akan tetap membayar lebih demi pengalaman cloud gaming.
Sebagai perbandingan, Xbox Game Pass Ultimate menawarkan akses ke ratusan game berkualitas tinggi dengan biaya Rp14.999 untuk 14 hari pertama, lalu Rp64.999 per bulan. Layanan ini mencakup game yang rilis sejak hari pertama, diskon eksklusif, keanggotaan EA Play, dan manfaat dari Riot Games. Meski lebih terjangkau, biaya berlangganan bisa terus bertambah jika pengguna ingin mengakses katalog game dari lebih dari satu layanan. Ironisnya, cloud gaming yang diklaim sebagai solusi ekonomis justru bisa menjadi pengeluaran yang lebih besar dibandingkan membeli game secara langsung atau berinvestasi dalam perangkat gaming tradisional.
Banyak gamer mulai mempertanyakan apakah cloud gaming benar-benar lebih praktis dan ekonomis. Dibanderol harga yang hampir setara pembelian game fisik atau digital, layanan ini masih menghadapi kendala performa, potensi lag, dan ketergantungan pada internet stabil yang sering kali diremehkan oleh perusahaan cloud gaming. Sementara itu, memiliki konsol atau PC gaming memberikan kendali penuh atas game yang dibeli tanpa risiko kehilangan akses jika layanan cloud gaming tutup atau mengubah kebijakan. Kesombongan perusahaan cloud gaming dalam mengklaim diri sebagai masa depan industri game justru bisa menjadi bumerang. Alih-alih merevolusi gaming, mereka bisa kehilangan kepercayaan gamer jika tidak segera menyesuaikan model bisnis dengan realitas pasar dan kebutuhan pengguna.
4. Cloud gaming gagal menggaet gamer hardcore
Melansir Steam Community, gamer hardcore umumnya memiliki pengetahuan luas tentang industri dan komunitas game secara komprehensif. Mereka cenderung menghabiskan hampir seluruh waktu luang mereka untuk bermain dan berpindah dari satu game ke game lainnya. Selain itu, mereka sering kali bangga atas skor penyelesaian game tinggi, terutama untuk permainan berdurasi panjang (sekitar 40 jam atau lebih). Tak berlebihan jika dikatakan bahwa mereka juga menghabiskan banyak uang untuk membeli game atau perlengkapan terkait gaming.
Sayangnya, salah satu kesalahan terbesar perusahaan cloud gaming adalah kepercayaan diri berlebihan bahwa layanan mereka akan diterima oleh semua gamer. Mereka menganggap inovasi berbasis streaming akan menggeser dominasi PC dan konsol tanpa mempertimbangkan kebutuhan gamer hardcore. Kenyataannya, gamer hardcore yang notabene membawa pengaruh besar dalam industri game masih lebih memilih bermain di perangkat tradisional. Survei Consumer Technology Association (CTA) menunjukkan bahwa 91 persen gamer hardcore merupakan pemain multiplatform yang lebih sering bermain di konsol atau PC.
Perusahaan cloud gaming juga meremehkan tuntutan gamer hardcore terhadap performa. Mereka memang lebih terbuka terhadap teknologi baru seperti VR atau layanan berbasis langganan, tetapi tetap menjadikan kecepatan respons, stabilitas, dan fleksibilitas sebagai prioritas utama. Latensi sekecil apa pun dapat merusak pengalaman bermain, terutama dalam game kompetitif seperti FPS atau MOBA.
Lebih jauh, gamer hardcore menginginkan kontrol penuh atas perangkat dan pengaturan grafis mereka. Mereka ingin bebas mengutak-atik resolusi, frame rate, hingga sistem pendinginan demi pengalaman terbaik. Sebaliknya, cloud gaming yang menawarkan solusi serba otomatis justru membatasi fleksibilitas ini. Alih-alih merevolusi industri, layanan ini malah lebih menarik bagi gamer kasual yang tidak terlalu peduli pada performa tinggi.
Namun, pasar gamer kasual saja tidak cukup menopang industri cloud gaming dalam jangka panjang. Kasus kegagalan Google Stadia menjadi bukti bahwa optimisme berlebihan tanpa memahami kebutuhan pasar dapat berujung pada kemerosotan. Jika perusahaan cloud gaming terus pongah dan mengabaikan kebutuhan gamer hardcore, revolusi yang mereka janjikan tak lebih dari sekadar ilusi.
5. Model bisnis yang belum matang
Salah satu alasan utama mengapa cloud gaming belum mencapai potensinya adalah model bisnis yang belum matang. Beberapa perusahaan mencoba menerapkan sistem berlangganan, sementara yang lain menawarkan skema pay-per-use atau pay-as-you-go, bahkan kombinasi dari keduanya. Namun, belum ada satu pun model bisnis yang terbukti benar-benar sukses dalam skala besar. Banyak layanan cloud gaming terpaksa melakukan restrukturisasi atau bahkan menutup operasional karena gagal mencapai profitabilitas yang diharapkan.
Google Stadia menjadi contoh nyata dari perusahaan yang terlalu pongah dalam menyusun model bisnisnya. Mereka berkali-kali mengubah strategi demi mencapai profitabilitas sebelum akhirnya gulung tikar. Melansir Ars Technica, Google menerapkan berbagai skema pembagian pendapatan, termasuk hanya mengambil 15 persen dari pendapatan awal $3 juta untuk setiap game baru di Stadia. Dibandingkan potongan standar industri sebesar 30 persen, skema ini memberi penerbit tambahan hingga $450.000 (Rp7,4 miliar) per game sebelum potongan kembali ke standar setelah melewati ambang batas $3 juta (Rp49,4 miliar).
Seorang perwakilan Google mengatakan kepada Ars Technica pada 13 Juli 2021 bahwa Stadia menawarkan pembagian pendapatan yang kompetitif bagi mitra, sebanding dengan platform industri lainnya. Namun, kesepakatan ini hanya berlaku untuk "game yang baru dikontrak" mulai Oktober hingga akhir 2023, sehingga penerbit yang lebih dulu bergabung tidak mendapatkan keuntungan dari perubahan ini.
Selain itu, Stadia memperkenalkan program bagi hasil keanggotaan Stadia Pro, di mana 70 persen dari biaya langganan dibagikan kepada pengembang berdasarkan jumlah jam permainan pengguna. Mereka juga menerapkan skema pemasaran afiliasi untuk menarik pelanggan baru. Namun, berbagai upaya ini tetap tidak cukup untuk membuat Stadia bertahan. Hingga akhirnya, pada tahun 2023, Google memutuskan untuk menghentikan layanan Stadia sepenuhnya.
Selain kesulitan dalam menemukan model bisnis yang berkelanjutan, perusahaan cloud gaming juga menghadapi tantangan dalam membangun ekosistem yang stabil. Banyak pengembang game masih enggan bekerja sama karena khawatir kehilangan kendali atas distribusi dan keamanan data mereka. Ketidakjelasan mengenai hak kepemilikan game jika layanan cloud gaming tutup atau berganti kebijakan semakin memperumit masalah.
Nvidia GeForce Now juga menghadapi tantangan besar dalam model bisnis berbasis langganan dan pay-per-use. Banyak penerbit game menarik dukungan mereka karena kekhawatiran terhadap distribusi dan monetisasi. Kasus ini menunjukkan bahwa tanpa kesepakatan yang jelas antara penyedia layanan dan pengembang game, model bisnis cloud gaming akan terus berada dalam ketidakpastian. Secara umum, game sering kali dihapus dari GeForce Now akibat kebijakan lisensi dan keputusan penerbit. Beberapa alasan utamanya meliputi:
- Masalah Lisensi: Penerbit game memiliki perjanjian khusus dengan layanan cloud gaming. Jika mereka menarik diri, game tersebut otomatis tidak lagi tersedia.
- Preferensi Penerbit: Beberapa penerbit memilih mempromosikan platform cloud gaming mereka sendiri dan membatasi akses ke layanan pihak ketiga.
- Keterbatasan Teknis: Inkompatibilitas atau masalah teknis dapat menyebabkan game harus ditarik sementara hingga perbaikan selesai.
- Strategi Bisnis: Perubahan strategi perusahaan dapat memengaruhi ketersediaan game di platform cloud.
Perusahaan cloud gaming terlalu cepat mengklaim diri sebagai revolusi industri, tetapi kenyataannya masih jauh dari ekspektasi gamer. Mereka sering membandingkan kompetitornya, yaitu Netflix dalam industri streaming film. Padahal, tantangan teknis dalam gaming jauh lebih kompleks. Alih-alih menghadirkan pengalaman bermain yang stabil dan mudah diakses, mereka justru mengabaikan keterbatasan teknologi serta kebiasaan gamer yang masih bergantung pada perangkat fisik.
Daripada terus menjual mimpi, perusahaan cloud gaming perlu menawarkan layanan yang siap dan benar-benar bisa diandalkan. Tantangan teknis seperti latensi, stabilitas koneksi, dan keterbatasan pilihan game masih menjadi hambatan utama. Inilah mengapa gamer cenderung kecewa, ragu, dan enggan beralih sepenuhnya ke cloud gaming.
Kepongahan dalam janji revolusi seharusnya menjadi dorongan bagi pengembang untuk lebih realistis. Inovasi perlu diarahkan pada peningkatan infrastruktur, optimalisasi server, serta kerja sama dengan penyedia layanan internet. Daripada sekadar menciptakan hype, mereka harus memikirkan solusi nyata untuk menghadirkan pengalaman bermain yang lebih stabil, responsif, dan sesuai kebutuhan gamer.