Salah satu alasan utama mengapa cloud gaming belum mencapai potensinya adalah model bisnis yang belum matang. Beberapa perusahaan mencoba menerapkan sistem berlangganan, sementara yang lain menawarkan skema pay-per-use atau pay-as-you-go, bahkan kombinasi dari keduanya. Namun, belum ada satu pun model bisnis yang terbukti benar-benar sukses dalam skala besar. Banyak layanan cloud gaming terpaksa melakukan restrukturisasi atau bahkan menutup operasional karena gagal mencapai profitabilitas yang diharapkan.
Google Stadia menjadi contoh nyata dari perusahaan yang terlalu pongah dalam menyusun model bisnisnya. Mereka berkali-kali mengubah strategi demi mencapai profitabilitas sebelum akhirnya gulung tikar. Melansir Ars Technica, Google menerapkan berbagai skema pembagian pendapatan, termasuk hanya mengambil 15 persen dari pendapatan awal $3 juta untuk setiap game baru di Stadia. Dibandingkan potongan standar industri sebesar 30 persen, skema ini memberi penerbit tambahan hingga $450.000 (Rp7,4 miliar) per game sebelum potongan kembali ke standar setelah melewati ambang batas $3 juta (Rp49,4 miliar).
Seorang perwakilan Google mengatakan kepada Ars Technica pada 13 Juli 2021 bahwa Stadia menawarkan pembagian pendapatan yang kompetitif bagi mitra, sebanding dengan platform industri lainnya. Namun, kesepakatan ini hanya berlaku untuk "game yang baru dikontrak" mulai Oktober hingga akhir 2023, sehingga penerbit yang lebih dulu bergabung tidak mendapatkan keuntungan dari perubahan ini.
Selain itu, Stadia memperkenalkan program bagi hasil keanggotaan Stadia Pro, di mana 70 persen dari biaya langganan dibagikan kepada pengembang berdasarkan jumlah jam permainan pengguna. Mereka juga menerapkan skema pemasaran afiliasi untuk menarik pelanggan baru. Namun, berbagai upaya ini tetap tidak cukup untuk membuat Stadia bertahan. Hingga akhirnya, pada tahun 2023, Google memutuskan untuk menghentikan layanan Stadia sepenuhnya.
Selain kesulitan dalam menemukan model bisnis yang berkelanjutan, perusahaan cloud gaming juga menghadapi tantangan dalam membangun ekosistem yang stabil. Banyak pengembang game masih enggan bekerja sama karena khawatir kehilangan kendali atas distribusi dan keamanan data mereka. Ketidakjelasan mengenai hak kepemilikan game jika layanan cloud gaming tutup atau berganti kebijakan semakin memperumit masalah.
Nvidia GeForce Now juga menghadapi tantangan besar dalam model bisnis berbasis langganan dan pay-per-use. Banyak penerbit game menarik dukungan mereka karena kekhawatiran terhadap distribusi dan monetisasi. Kasus ini menunjukkan bahwa tanpa kesepakatan yang jelas antara penyedia layanan dan pengembang game, model bisnis cloud gaming akan terus berada dalam ketidakpastian. Secara umum, game sering kali dihapus dari GeForce Now akibat kebijakan lisensi dan keputusan penerbit. Beberapa alasan utamanya meliputi:
- Masalah Lisensi: Penerbit game memiliki perjanjian khusus dengan layanan cloud gaming. Jika mereka menarik diri, game tersebut otomatis tidak lagi tersedia.
- Preferensi Penerbit: Beberapa penerbit memilih mempromosikan platform cloud gaming mereka sendiri dan membatasi akses ke layanan pihak ketiga.
- Keterbatasan Teknis: Inkompatibilitas atau masalah teknis dapat menyebabkan game harus ditarik sementara hingga perbaikan selesai.
- Strategi Bisnis: Perubahan strategi perusahaan dapat memengaruhi ketersediaan game di platform cloud.
Perusahaan cloud gaming terlalu cepat mengklaim diri sebagai revolusi industri, tetapi kenyataannya masih jauh dari ekspektasi gamer. Mereka sering membandingkan kompetitornya, yaitu Netflix dalam industri streaming film. Padahal, tantangan teknis dalam gaming jauh lebih kompleks. Alih-alih menghadirkan pengalaman bermain yang stabil dan mudah diakses, mereka justru mengabaikan keterbatasan teknologi serta kebiasaan gamer yang masih bergantung pada perangkat fisik.
Daripada terus menjual mimpi, perusahaan cloud gaming perlu menawarkan layanan yang siap dan benar-benar bisa diandalkan. Tantangan teknis seperti latensi, stabilitas koneksi, dan keterbatasan pilihan game masih menjadi hambatan utama. Inilah mengapa gamer cenderung kecewa, ragu, dan enggan beralih sepenuhnya ke cloud gaming.
Kepongahan dalam janji revolusi seharusnya menjadi dorongan bagi pengembang untuk lebih realistis. Inovasi perlu diarahkan pada peningkatan infrastruktur, optimalisasi server, serta kerja sama dengan penyedia layanan internet. Daripada sekadar menciptakan hype, mereka harus memikirkan solusi nyata untuk menghadirkan pengalaman bermain yang lebih stabil, responsif, dan sesuai kebutuhan gamer.