protes Mahsa Amini di Swedia. (unsplash.com/Artin Bakhan)
Gerakan Mahsa Amini, yang dimulai pada September 2022, menandai tonggak penting dalam perjuangan hak-hak perempuan di Iran. Dipicu oleh kematian Mahsa Amini setelah ditahan oleh polisi moral Iran, gerakan ini memanfaatkan Instagram, Twitter, dan TikTok untuk menyuarakan protes terhadap aturan wajib hijab dan penindasan terhadap perempuan. Hashtag #MahsaAmini dan #WomanLifeFreedom menyebar dengan cepat sekaligus menciptakan solidaritas internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk perjuangan perempuan Iran.
Penggunaan media sosial dalam gerakan ini sangat kreatif. Video viral perempuan memotong rambut menjadi simbol perlawanan yang kuat. Ia berhasil menarik perhatian global dan memicu aksi solidaritas di berbagai negara. Meski pemerintah Iran merespons dengan represi keras, termasuk pemblokiran akun media sosial dan pembatasan akses internet, gerakan ini telah memicu beberapa perubahan sosial yang signifikan. Banyak perempuan Iran kini lebih berani menentang aturan berpakaian di tempat umum jadi dampak nyata dari perlawanan ini.
Kelima protes ini membuktikan kekuatan media sosial dalam mendorong perubahan. Dari penggunaan tagar viral hingga video yang mengguncang dunia, aktivisme digital telah mengubah lanskap perjuangan sosial dan politik global. Meski tantangan tetap ada, potensi media sosial untuk menyuarakan aspirasi dan menantang ketidakadilan tetap besar. Mampukah kekuatan media sosial yang serupa bakal terjadi untuk mengatasi situasi politik Indonesia dewasa ini?