TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Kekhawatiran Pakar terhadap Penggunaan Aplikasi Pelacak COVID-19

Penggunaan aplikasi tidak optimal tanpa tes masal

Unsplash/Patrick Tomasso

Pemerintahan di sejumlah negara terdampak COVID-19 menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan penyebaran virus corona. Salah satu yang paling kekinian adalah memanfaatkan aplikasi ponsel untuk melacak riwayat kontak penderita COVID-19. Bermula dari Tiongkok, Korea Selatan, dan Singapura, banyak negara kini mempertimbangkan penerapan cara itu kepada penduduknya.

Perusahaan teknologi raksasa Apple dan Google saja mulai mengembangkan secara bersama aplikasi ponsel pelacakan jejak kontak penderita COVID-19 berbasis bluetooth. Berbagai negara juga sudah meninggalkan pengembangan aplikasi berbasis GPS yang merekam data geolokasi. Bahkan kini sedang dpikirkan perangkat aplikasi dengan format yang terenkripsi sehingga data yang terekam akan sulit disalahgunakan.

Meski begitu, tidak sedikit pakar yang tetap merasa cemas akan penggunaan aplikasi pelacak COVID-19. Apa saja kekhawatiran mereka? Berikut ulasannya.

1. Pelanggaran privasi 

Unsplash/Matthew Henry

Meskipun di masa krisis, Pakar Hak Asasi Manusia asal Tiongkok, Maya Wang, menyebut pelacakan riwayat kontak manusia harus tetap memenuhi tiga kriteria. Ketiganya, asas legalitas, proporsionalitas, dan kemendesakan atau kebutuhan. Tanpa kriteria itu, penerapan aplikasi pelacakan kontak berpotensi melanggar privasi.

Adapun Ross Anderson, seorang Profesor Cambridge University untuk bidang security engineering tetap meragukan komitmen menjaga privasi dari aplikasi pelacakan kontak penderita COVID-19. Menurutnya, skandal Google DeepMind pada 2015 masih membekas dalam ingatan saat perusahaan teknologi raksasa tetap memanfaatkan data kesehatan yang diperoleh tanpa izin untuk pengembangan kecerdasan buatan.

2. Penyalahgunaan data

Unsplash/Nesa by Makers

Penulis Buku Sapiens dan Homo Deus, Yuval Noah Harari pernah menyinggung skandal Cambridge Analytica saat membahas tentang risiko penyalahgunaan data dalam penerapan aplikasi pelacakan kontak yang mengarah ke praktik pengintaian. Di tengah hiruk pikuk pilpres di Amerika Serikat, perusahaan konsultan politik ini memanfaatkan data puluhan juta pengguna Facebook untuk memengaruhi pandangan politik pemegang hak pilih.

Berdasarkan pengalaman itu, Yuval menyebut betapa penyalahgunaan data dari sistem pelacakan yang mengarah ke pengintaian dapat membaca kepribadian seseorang. Misalnya kebiasaan menonton Fox News ketimbang CNN dapat menunjukkan preferensi politik seseorang. Seperti kata Ross Anderson dari Cambridge University, diperlukan aturan yang ketat mengenai pihak yang berhak mengakses dan memanfaatkan data.

Baca Juga: 5 Aplikasi Meditasi yang Membantu Atasi Stres Saat PSBB 

3. Tidak akurat dan cenderung keliru deteksi

Unsplash/Nguyen Thu Hoai

Pengajar dari UCL di bidang hak digital, Michael Veale menyebut penerapan aplikasi pelacakan kontak penderita COVID-19 masih menyisakan banyak masalah. Perangkat itu tidak sepenuhnya berjalan maksimal bagi pengguna yang tinggal di gedung bertingkat. Ross Anderson dari Cambridge University menjelaskan secara detail persoalan dimaksud.

Penerapan bluetooth pada perangkat aplikasi memungkinkan terdeteksinya dua orang yang tampak berdekatan padahal mereka berada di ruangan yang berbeda. Sehingga, kendatipun terpisah partisi, dua orang itu tetap akan dianggap aplikasi telah melakukan kontak dekat dan melanggar kebijakan jaga jarak di masa pandemi COVID-19. Persoalan salah deteksi bisa juga muncul jika dua orang itu tinggal di lantai yang berbeda dengan langit-langit kamar yang rendah.

4. Pelacakan yang terus-menerus tak berbatas waktu

Unsplash/Etienne Girardet

Sejarawan dan penulis buku bestseller, Yuval Noah Harari pernah mengingatkan solusi teknologi yang hadir saat ini berpotensi menjadi kebijakan permanen di masa mendatang. Sebab situasi krisis seringkali memunculkan hal-hal yang dulu dikecualikan namun atas dasar kebutuhan, sesuatu itu kemudian bisa dan terus hadir.

Oleh karenanya, pegiat hak asasi manusia yang tergabung dalam Amnesty International mendesak pemerintah untuk menetapkan umur atau masa waktu yang jelas untuk penerapan aplikasi pelacakan kontak. Penggunaan perangkat aplikasi ponsel juga harus menetapkan secara detail lokasi operasinya. Dengan begitu, ada kepastian perekaman data pengguna tidak berlangsung selamanya.

5. Digunakan untuk aksi usilan

Unsplash/Sarah Wardlaw

Jika aplikasi pelacakan kontak menempel di ponsel dan hanya terjadi perekaman data antar ponsel, siapa bisa menjamin ponsel itu tidak ditempelkan pada anjing dan selalu dibawa oleh penggunanya? Pertanyaan itu disampaikan Profesor Cambridge University, Ross Anderson. Lalu siapa yang bisa menjamin aplikasi pelacakan kontak itu tidak digunakan oleh terduga infeksi COVID-19 yang usil untuk menyebar kepanikan dengan membawa ponselnya berkeliling.

Banyaknya pelaku trolling di dunia maya memperkuat kekhawatiran itu terjadi juga saat penerapan aplikasi pelacakan kontak penderita COVID-19. Apalagi jika penerapan itu sekadar sukarela dan tidak memiliki landasan serta konsekuensi hukum. Potensi penyimpangan dalam penggunaan perangkat itu akan semakin besar.

Baca Juga: PeduliLindungi Aplikasi dari Kominfo  Cegah Penyebaran COVID-19

Verified Writer

Asep Wijaya

Penikmat buku, film, perjalanan, dan olahraga yang sedang bermukim di Fujisawa, Kanagawa, Jepang

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya